"Start-up" dan Transformasi Ekonomi Daerah

ADVERTISEMENT

Kolom

"Start-up" dan Transformasi Ekonomi Daerah

Badri Munir Sukoco - detikNews
Kamis, 25 Mar 2021 10:40 WIB
GSER 2020
Jakarta -

Pertumbuhan ekonomi dunia tahun lalu minus 5,2%, dan prediksi ekonom Cambridge GDP ekonomi dunia akan turun sebesar 5,3% hingga tahun 2026. Tentu kondisi ini menjadi tantangan visi Kabinet Indonesia Maju untuk lepas dari middle income trap. Dibutuhkan katalisator agar transformasi ekonomi Indonesia tercapai, dengan daerah-daerah yang potensial menjadi lokomotifnya.

Sejak awal 1990-an, high tech industry dominan dalam menempatkan orang terkaya dunia. Start-up berbasis teknologi memimpin transformasi ekonomi Amerika Serikat dan mempertahankan dominasinya di dunia tiga dekade terakhir. Start-up erat dengan perguruan tinggi (PT), karena anak muda yang inovatif dan ambisius akan di-groom oleh kebebasan akademis yang ada.

Start-up domestik Indonesia perlu dijadikan katalisator transformasi ekonomi, yang mana Menteri BUMN minggu lalu menyampaikan terbanyak ke-5 dunia. PT dapat dimanfaatkan menjadi inkubator knowledge-based start-up yang bernilai tambah tinggi.

Asia Pasifik

Berdasarkan Global Start-up Ecosystem Report (GSER) 2020 (Start-up Genome), Silicon Valley tidak tergoyahkan posisinya sebagai ekosistem paling kondusif di dunia untuk mengembangkan start-up. Posisi selanjutnya diikuti oleh New York dan London pada posisi kedua, kemudian Beijing dan Boston. Terdapat 6 indikator GSER, yakni performance, funding, connectedness, market reach, knowledge dan talent.

Asia Pasifik menyumbangkan sepertiga kota yang masuk dalam Top 30 dunia, melegitimasi bahwa Asia akan menjadi lokomotif pertumbuhan pada abad ini. Fakta yang cukup menarik adalah masuknya dua kota dari India yang hadir dalam daftar tersebut, yakni Bangalore (#26) dan New Delhi (#36). Sama dengan China yang menyumbangkan empat kotanya (Beijing #4, Shanghai #8, Shenzhen #22, dan Hangzhou #28).

Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat komitmen pemerintah India yang cukup besar. PM India Narendra Modi awal 2016 meluncurkan start-up India yang menitikberatkan pada inovasi baru berbagai bidang (tidak hanya digital) yang bernilai tambah tinggi. Fasilitas yang diberikan antara lain tiga tahun bebas pajak, pendanaan hingga Rs 2,500 crore (Rp 5,4 triliun), dan garansi kredit Rs 500 crore (Rp 1,08 triliun).

Belajar dari India

Pada QS World University Ranking (WUR) 2021, Indian Institute of Science berperingkat 185 dunia. Hal yang sama juga dicapai pada QS WUR by Subject (diumumkan 4 Maret 2021), yakni pada bidang Mechanical Engineering (#113), Electrical Engineering (#135), Computer Science (#151-200). Untuk bidang Business, Indian Institute of Management-Bangalore berperingkat 76 dunia. Kondisi ini menunjang posisi Bangalore sebagai ekosistem start-up ke-26 dunia, khususnya terkait dengan indikator pasokan talenta (bidang teknologi dan STEM) dan pengetahuan (riset dan paten yang dihasilkan).

Pada Global Fintech Start-uo Ecosystem Report (GFSER) 2020, Mumbai menempati posisi ke-13 dunia. Hal ini tidaklah mengherankan, karena terdapat PT terbaik di India (Indian Institute of Technology Bombay - IITB, #172 dunia). IITB memiliki peringkat tertinggi pada bidang Electrical Engineering (#61), Computer Science (#67), Chemical Engineering (#70), Mechanical Engineering (#82), Materials Science (#101-150), dan Business (#140).

Selain akan menyuplai paten di masa depan, keberadaan trained human capital yang siap dipekerjakan adalah keniscayaan agar catching-up strategy yang dijalankan berhasil. India pernah gagal dalam melakukan catching-up di industri telekomunikasi, namun sangat berhasil dalam industri farmasi. Program Start-up India berhasil menarik talenta yang selama ini berkiprah di Silicon Valley dan dapat dipastikan mereka akan menjadi katalisator transformasi ekonominya.

Belajar dari Hangzhou

Hangzhou dikenal sebagai kota pariwisata, mampu menarik wisatawan sebesar 184 juta orang pada 2018, senilai CNY358,9 miliar (+Rp 758,68 triliun). Hal ini ditunjang oleh peran PT dalam menghasilkan knowledge dan talent pada industri pariwisata. Zhejiang University (ZU) memiliki peringkat tertinggi bidang Hospitality and Leisure Management di China (#47 dunia). Pada bidang Business memiliki peringkat #96 dunia.

Kota ini juga menjadi home-base dari Alibaba, raksasa e-commerce China, sehingga memperkuat positioning Hangzhou sebagai kota teknologi informasi. ZU berperingkat 47 dunia pada bidang Computer Science, adapun Electrical Engineering ke-39 dunia. Tentu tidaklah mengherankan saat ini Hangzhou menjadi kota pengembang start-up #28 dunia.

Rekomendasi

Jakarta menduduki posisi kedua setelah Mumbai pada Top 100 Emerging Ecosystem Ranking 2020, di atas Guangzhou (#5) dan Kuala Lumpur (#11). Dari nilai ekosistem start-up yang ada, Jakarta terbesar (US$ 26,3 miliar) diikuti oleh Guangzhou (US$ 19,2 miliar) dan Kuala Lumpur (US$ 15,3 miliar). Jakarta juga menjadi ekosistem yang memiliki jumlah pendanaan awal terbesar (US$ 845,9 juta) di atas Barcelona (US$ 472,7 juta) dan Guangzhou (US$ 413,8 juta).

Fakta ini melegakan, apalagi market size Indonesia #7 dunia menurut World Economic Forum. Dari ke-6 indikator GSER, knowledge dan talent yang disediakan oleh PT Indonesia yang berkelas dunia akan mampu menarik talenta terbaik dari seluruh dunia.

Meskipun terkesan elitis, namun fasilitasi dan pendanaan yang mencukupi sangatlah dibutuhkan oleh PT teratas di Indonesia yang tersebar di berbagai daerah agar mampu bersaing sekaligus mengembangkan knowledge-based start-up hasil dari riset yang dilakukan. Hal ini yang akan mengkatalis transformasi ekonomi daerah di Indonesia, sebagaimana yang terjadi pada Bangalore dan Mumbai di India atau Beijing, Shanghai, Shenzhen, dan Hangzhou di China.

Badri Munir Sukoco Guru Besar Manajemen Strategi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Simak juga 'Jokowi: Pelatihan Teknologi Digital Untuk UMKM Harus Diperbanyak':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT