Saat ini sektor pertanian kembali dihadapkan pada diskursus seputar impor, tata niaga, dan harga pangan. Diskursus impor pangan didorong oleh rencana impor beras sebanyak sekitar 1 juta ton pada awal tahun ini. Sementara diskursus tata niaga dan harga pangan kembali hangat setelah terjadi kenaikan harga cabai di beberapa daerah.
Terlepas dari faktor alam, diskursus impor, tata niaga, dan harga pangan merupakan tiga isu utama yang harus disikapi karena menyangkut urusan pangan dan pertanian yang merupakan kebutuhan dasar dan salah satu penopang perekonomian nasional.
Diskursus impor pangan kerap dikaitkan dengan konsep dasar ketahanan pangan. Ketahanan pangan dalam definisi yang berlaku secara global adalah terpenuhinya kebutuhan pangan suatu negara dalam jumlah dan mutu yang cukup, merata, dan terjangkau oleh seluruh masyarakat hingga perseorangan. Pengertian ini bersifat netral tanpa menyebut asal sumber pangan (Suryana & Khalil, 2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara tata niaga pangan dan harga pangan sering dikaitkan dengan sistem distribusi dan keberadaan pedagang perantara (middleman). Lebih luas lagi, masalah tata niaga berhubungan dengan kapabilitas korporasi, infrastruktur, regulasi hulu dan hilir, dan kelembagaan pangan (Saragih, 2016).
Hukum Pertanian
Tiga isu utama di atas perlu dicermati dalam perspektif hukum pertanian yang memuat kebijakan atau politik hukum di sektor pertanian. Hukum pertanian tidak terbatas mengatur aspek perlindungan hukum dalam usaha tani, namun juga menjangkau aspek kedaulatan petani (Moeliono & Soetoprawiro, 2020).
Hukum sebagai sarana pembangunan memiliki tiga fungsi: hukum sebagai alat penertib (ordering), hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing), dan hukum sebagai katalisator (Rozi, 2018). Dalam konteks hukum sebagai alat penjaga keseimbangan, hukum pertanian merupakan instrumen untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara kepentingan negara/kepentingan umum dan kepentingan perorangan.
Berdasarkan pemikiran tersebut, berbagai kebijakan yang berkaitan atau berdampak pada sektor pertanian sudah semestinya diselaraskan dengan kebijakan atau politik hukum di sektor pertanian. Politik hukum pertanian memberikan arah kebijakan dalam melindungi dan memberdayakan sektor pertanian (Setiawati, Mardjo, & Paksi, 2019).
Dalam konteks kebijakan atau politik hukum di bidang pangan, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) telah menggariskan bahwa penyelenggaraan pangan harus dilakukan berdasarkan asas kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan (Pasal 2 dan Pasal 3). Penyelenggaraan pangan juga harus diperuntukkan salah satunya untuk meningkatkan kesejahteraan bagi petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan (Pasal 4 huruf g).
Dalam konteks kebijakan atau politik hukum di bidang tata niaga komoditas pertanian, UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan) juga telah menggariskan kebijakan perlindungan petani dari fluktuasi harga dan praktik ekonomi biaya tinggi (Pasal 3 huruf d). Selain itu, UU Perlintan mengatur penciptaan kondisi yang membuat harga komoditas pertanian menjadi menguntungkan petani.
Bahkan undang-undang ini juga menetapkan bentuk kebijakan, antara lain penetapan struktur pasar produk pertanian yang berimbang dan stabilisasi harga pangan (Pasal 25 ayat 2). Kebijakan dan politik hukum dalam UU Pangan dan UU Perlintan memiliki benang merah, yakni mengutamakan kesejahteraan petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian.
Omnibus Law dan Perlindungan Petani
Berlakunya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU Pangan dan UU Perlintan, tidak mendegradasi kebijakan dan politik hukum yang mengutamakan kesejahteraan petani.
Berkaitan dengan penyediaan pangan, termasuk pangan pokok yang berasal dari impor, UU Ciptaker telah mengatur bahwa pelaksanaan impor tersebut tetap harus memperhatikan kepentingan petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan mikro dan kecil (Pasal 14 ayat (2)), Pasal 36 ayat (3)). Kebijakan dan peraturan impor pangan juga harus diarahkan untuk keberlanjutan usaha tani, peningkatan kesejahteraan petani, nelayan, pembudi daya ikan, serta pelaku usaha pangan mikro dan kecil (Pasal 39).
UU Ciptaker tidak mendegradasi kebijakan dan politik hukum yang mengutamakan perlindungan petani seperti diatur dalam UU Perlintan. UU Ciptaker telah menggariskan bahwa baik produksi dalam negeri maupun impor harus tetap melindungi kepentingan petani (Pasal 30 ayat 1).
Norma "memperhatikan kepentingan petani" dan "tetap melindungi kepentingan petani" dalam pengaturan impor pangan merupakan unsur norma yang tidak dapat dipisahkan dari unsur norma lainnya dalam pasal tersebut. Sehingga harus dimaknai sebagai kesatuan norma. Norma tersebut harus dibaca dan dimaknai secara utuh serta menjadi norma yang hidup (law in action) dengan menerjemahkannya dalam kebijakan dan pengaturan impor pangan.
Upaya ini sejalan dengan ketentuan dalam UU Ciptaker yang menyatakan perlunya penetapan kebijakan dan peraturan impor pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani, peningkatan kesejahteraan petani, nelayan, pembudi daya ikan, serta pelaku usaha pangan mikro dan kecil (Pasal 39).
Ketentuan ini perlu diterjemahkan lebih lanjut dengan instrumen kebijakan yang lebih operasional. Misalnya, pengaturan impor pangan yang mempersyaratkan kemitraan dengan petani dalam negeri, tentunya dengan tetap memperhatikan ketentuan perdagangan internasional.
Di luar ketentuan yang diubah dengan UU Ciptaker, ketentuan lain dalam berbagai undang-undang di sektor pertanian yang mengutamakan perlindungan petani masih berlaku, sehingga harus terus menjadi landasan kebijakan. Termasuk kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan yang merupakan asas penyelenggaraan pangan dan menjadi ratio legis/tujuan pembentukan UU Pangan.
Aji Kurnia Dermawan, S.H, M.H perancang peraturan perundang-undangan Kementerian Pertanian, mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Unpad
Simak juga Video: Prabowo Singgung Impor Beras, Jokowi Santai