"Biar kapok mungkin, Bu. Jadi kelulusan ujian nasional ditambah penilaian perilaku anak-anak." Putri bungsuku yang sebentar lagi menghadapi ujian nasional SMK-nya memberi alasan mengapa kelulusan tak hanya nilai rata-rata rapor, tapi ditambah penilaian guru terhadap cara siswa merespon proses belajar daring
"Aneh juga..." Tangan saya terhenti sejenak dari aktivitas mengocok telur dan gula yang sedianya menjadi bolu sederhana peneman minum teh sore.
Anak-anak sekolah, para karyawan, eh, termasuk emak-emak sok rempong seperti saya mungkin sudah bosan menghadapi kecemasan demi kecemasan yang jika dinalar lebih bahaya dari virus Covid-19 itu. Virus cemas yang tak pernah ada vaksinnya. Padahal jika dibiarkan perlahan menggerogoti kesehatan mental.
Vaksin untuk melawan virus cemas itu tidak akan diproduksi di belahan dunia mana pun. Karena dianggap bukan wabah pandemi. Lebih bersifat personal, yang kehadirannya malah tak selalu diakui. Ah, semua juga cemas, stres berjamaah menghadapi pandemi. Mau apa lagi, ya disabar-sabarin aja!
Saat pemberlakuan belajar daring, setiap sekolah memiliki standar sendiri-sendiri, bagaimana penerapan proses belajar mengajar. Pendek kata yang penting materi tersampaikan ke siswa. Saya membayangkan jikalau ada guru yang kemampuan teknologinya kurang mumpuni, entah karena kemampuan teknis, atau keadaan geografis, ekonomis dan sebagainya, apa patokan penilaian proses belajar mengajar itu?
Belajar normal saja, menurut pengalaman saya sih, kadang sudah jenuh, apalagi sekarang harus mantengin layar kaca bening menjelma pekerjaan rumah yang kadang jadi pekerjaan tambahan orangtua. Ah, jenuhnya berlipat-lipat.
Siswa suka usil di kelas, ada yang membolos bahkan, atau kelasnya pindah 'mandiri' ke kantin sekolah merupakan distraksi rasa bosan dan ekspresi ingin diakui keberadaannya. Sekarang belajar daring, maka anak-anak mengekspresikan rasa jenuh dan butuh diperhatikan lebih dalam tanda kutip dengan tidak mengerjakan PR, atau sering ngilang saat kelas zoom, kadang mematikan mode video dengan alasan ke kamar mandi sekian menit.
Guru sebagai pengajar juga sebenarnya bingung, sama seperti muridnya. Cuma kewajiban sebagai pendidik mengharuskan mereka menggerus rasa cemas tak mampu menyelesaikan kurikulum yang diwajibkan, kurukulum belajar yang dibuat saat sebelum pandemi, saat keadaan normal, dan kini kurikulum itu wajib dipenuhi dengan kondisi si virus Covid-19 ikut berbaur di udara bebas.
Orangtua seperti saya juga kadang harus sering-sering istighfar, manakala pekerjaan rumah anak menumpuk, yang penyelesaiannya memerlukan kontrol. Tentu orangtua harus sisihkan me time-nya agar ancaman remedial tidak menjadi kecemasan baru bagi anak. Cemas, cemas, dan cemas lagi.
Tombol power di hand mixer pun kembali saya tekan, bisa gagal bolu ini, karena proses pengembangan telur harus kontinu, jika terhenti, proses pemasukan udara ke dalam adonan terhenti, bolu tidak akan mengembang sempurna, alias bantat.
Sama, bukan, jika pekerjaan apapun terhenti di tengah jalan, atau tidak mengikuti prosedur seharusnya akan menemui kegagalan? Gagal karena perencanaan kurang matang atau perencanaan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, hingga tujuan otomatis melenceng dari yang dicanangkan di awal kegiatan.
Faktor penyebab tidak berjalannya tahapan perencanaan tentu memerlukan pemahaman mendalam, ditelaah sebab akibatnya. Dalam belajar daring ini misalnya, sangat tidak nyaman mendengar kata kapok, untuk anak-anak yang tidak mengerjakan PR, atau sering ngilang dari kewajiban-kewajiban belajar online lainnya. Mereka, anak-anak ini, perlu ruang untuk mengekspresikan perasaannya. Mereka perlu dipahami, bukan justru dengan memberi ancaman baru atas sikap membangkang selama belajar daring.
Saya membalik sudut pandang pertanyaan, bukan membela anak-anak badung itu sih, tapi menjadi pemikiran bersama. Sebagai orangtua, kadang saya merasa memiliki kuasa, memiliki hak prerogatif, peraturan apa dan bagaimana yang berlaku di rumah. Mungkin ini cara berpikir warisan turun temurun, orangtua itu lebih pengalaman. Kan duluan lahirnya.
Jika menerapkan suatu aturan tak tertulis atau kesepakatan, agar anak mematuhi, cara termudah adalah contoh nyata. Orangtua melakukan apa yang disepakati. Misal saya suka memasak dan mencoba aneka resep baru, karena selain ekonomis, kebersihan lebih terjaga. Media belajar bersama di dapur menjadi arena, anak melihat apa yang saya contohkan, lalu anak mengikuti, meniru dengan cara yang sama.
Saya tidak bisa seenak jidat mengubah proses memasak dari langkah satu ke langkah empat misalnya. Harus berurutan per tahap dengan tertib. Juga takaran tiap bahan masakan harus sesuai resep. Hasil masakan entah kue atau aneka lauk dan sayur, dijamin akan sesuai dengan yang diinginkan, karena saya dan anak-anak mematuhi bersama tahap demi tahap. Ada kepatuhan bersama dalam setiap proses memasak. Tidak bisa karena jadi orangtua saya menyusun ulang tahap-tahap memasak, atau komposisi bahan masakan disusun sesuai selera saya.
Ketika suatu tujuan telah disepakati bersama, dalam kondisi yang perlu penyesuaian di sana sini, karena di luar kontrol manusia, bukankah lebih nyaman dilakukan adaptasi bersama, mengevaluasi rencana dan implementasinya. Sama-sama baru membangun kebiasaan baru dalam situasi penuh tekanan psikis. Jangan sampai virus cemas itu merupakan kontribusi kita yang sebenarnya bisa diredam atau tidak perlu ada.
Sasi Indudewi penari aksara di Depok
Simak video 'Kuota Belajar 2021 Dibagi Mulai 11 Maret':
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini