Bandar udara atau bandara bagi sebuah bangsa dapat menjadi salah satu cerminan keberadaban. Bandara juga merupakan salah satu pintu masuk utama negara. Semakin baik kualitas bandara (tidak harus mewah), maka dapat dipastikan bahwa rakyat negara tersebut maju ekonominya dan sejahtera rakyatnya. Namun pembangunan bandara harus menggunakan strategi dan analisis yang andal, tidak asal bangun.
Pembangunan bandara di Indonesia sebagian besar berasal dari APBN dan penugasan melalui KPBU dengan BUMN, seperti PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II. Melihat sebaran pembangunan dan perluasan bandara saat ini, patut diduga tidak dilakukan berdasarkan kajian yang baik, misalnya bagaimana ketersediaan ruang udara yang menjamin keselamatan penerbangan sipil, bagaimana jarak antarbandara, bagaimana populasi di sekitar bandara dengan radius tertentu, dan sebagainya.
Pada awalnya tatanan kebandarudaraan nasional diatur oleh PM Perhubungan No. 69 Tahun 2013, namun ketika beberapa daerah mengajukan usul ke pemerintah pusat untuk dibangunkan bandara, Kemenhub mengubah PM No. 69 Tahun 2013 menjadi PM No. 39 Tahun 2019 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional. PM No. 39 Tahun 2019 dibuat untuk menjawab keinginan banyak daerah untuk punya bandara tetapi secara jarak tidak menyalahi peraturan yang ada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Syahwat daerah dapat membangun atau memperbesar kapasitas terminal dan memperpanjang landasan tidak dibarengi dengan kajian potensi pengguna (pax) dan angkutan kargo di daerah tersebut yang diharapkan mampu menciptakan pendapatan bagi pengelola bandara dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Bangun atau perluas bandara bukan hanya soal kebanggaan daerah, tetapi yang terpenting apakah bisnis di bandara dapat membiayai operasi dan perawatan bandara.
Lalu apa alasan pemerintah membangun banyak bandara yang pada akhirnya kesulitan membiayai operasi dan perawatan karena minimnya penumpang dan kargo di bandara tersebut?
Pertarungan di Tengah Infrastruktur
Alasan utama pengambil kebijakan di sektor pembangunan infrastruktur di negara ini lebih terfokus pada "proyek" dan latar belakang politis, bukan berdasarkan potensi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Akibatnya banyak proyek pembangunan bandara, khususnya di Pulau Jawa yang dibangun atau diperluas tidak berdasarkan kajian sosial ekonomi, lingkungan hidup, serta keamanan dan keselamatan penerbangan yang ketat. Sehingga sepi penerbangan, baik penumpang maupun kargo. Sehingga maskapai menutup rute tersebut dan biaya operasi bandara melambung.
Kedua, bandara sering dibangun tanpa melihat master plan, ketersediaan infrastruktur, dan potensi daerah untuk beberapa puluh tahun ke depan, sehingga keberadaannya secara akses sulit dicapai oleh penumpang maupun kargo. Untuk menuju ke bandara, apalagi yang berstatus internasional, tanpa akses yang khusus atau dedicated (seperti jalan tol dan/atau kereta api khusus) tidak akan ada penumpang dan kargo yang datang. Dampaknya tidak ada maskapai penerbangan yang berminat menerbangi rute tersebut. Seperti yang terjadi pada Bandara Internasional Kertajati di Kabupaten Majalengka.
Berdasarkan PM No. 39 Tahun 2019 jarak terdekat antarbandara satu dengan lainnya di Jawa harus lebih dari 100 km atau waktu tempuh dengan moda transportasi lain maksimum 4 jam dengan potensi penumpang minimal 500.000 orang dan potensi kargo sebesar 2.000 ton/tahun. Jika dalam kajian teknis-sosial-ekonomi tidak memenuhi ini, maka pembangunan atau perluasan bandara tidak perlu dilanjutkan. Kenyataannya tidak demikian. Bandara demi bandara terus dibangun dan dioperasikan, meski melanggar PM No. 39 Tahun 2019 dari sisi jarak, contohnya Bandara Tunggul Wulung Cilacap dengan Bandara Wirasaba Purbalingga jaraknya hanya 65 km, dan Bandara Abdulrachman Saleh Malang dengan Bandara Juanda Surabaya hanya berjarak 98 km (Google Map).
Bandara di Jawa terus dibangun, tetapi moda transportasi lain seperti jalan tol juga dibangun dengan penuh semangat. Akibatnya kedua moda transportasi ini harus bersaing dan pada akhirnya salah satu atau bahkan dua-duanya akan sekarat atau bahkan mati karena tidak dapat menutup biaya operasi dan perawatan --apalagi di tengah pandemi saat ini.
Coba perhatikan okupansi jalan tol Trans Jawa saat ini yang sunyi, terutama ruas Jawa tengah - Jawa Timur, sehingga kita bisa leluasa menginjak pedal gas hingga 150 km/jam atau lebih. Di ruas Jawa Barat hanya ramai dari Jakarta ke Cikarang, setelah itu lengang sampai Jawa Tengah dan terus ke Jawa Timur. Dari sisi infrastruktur jalan tol saja, Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) masih berdarah-darah karena besarnya biaya perawatan dan operasi.
Selain bandara harus bersaing dengan jalan tol Trans Jawa, juga harus bersaing dengan angkutan kereta api dan kapal laut sepanjang Pulau Jawa. Pertanyaannya, mengapa pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan membiarkan pertarungan bebas di tengah infrastruktur yang dibangun oleh APBN? Bagaimana Pelabuhan Patimban harus berebut kargo dan penumpang dengan Bandara Internasional Kertajati, Jalan Tol Trans Jawa dan Kereta Api kelas Argo? Hanya Menteri Perhubungan yang dapat menjawab.
Lalu siapa penumpang dari dan ke Bandara Ngloram-Cepu, Bandara Wirasaba-Purbalingga, Bandara Tunggul Wulung-Cilacap, Bandara Wiridinata-Tasikmalaya, dan sebagainya? Selain itu apakah di wilayah itu ada kawasan industri yang ramai atau kemampuan daya beli masyarakat sekitar radius tertentu dari bandara cukup tinggi? Kedua faktor itu sangat berpengaruh terhadap frekuensi pergerakan pesawat di bandara. Tanpa pergerakan, maka nilai keekonomian bandara rendah dan tidak menarik maskapai untuk mampir, kecuali dengan penugasan pemerintah. Itu pun tidak efektif dan gagal dilakukan di Bandara Kertajati.
Intinya masa depan bandara baru atau bandara perluasan dalam lima tahun ke depan suram jika proses pembangunannya tidak berdasarkan kebutuhan, tetapi berdasarkan keputusan politik, seperti Bandara Kertajati, Ngloram, Wirasaba ,dan lain-lain. Belum lagi kalau kita bicara bandara yang dibangun pada lokasi yang kurang tepat karena di daerah pusat bencana alam, seperti tsunami. Lalu apa kabar pembangunan infrastruktur berlandaskan Nawacita?
Langkah ke Depan
Pembangunan atau perluasan bandara harus berdasarkan kebutuhan dan pertumbuhan strategis wilayah, sehingga nilai komersialnya masuk dan dapat meningkatkan pendapatan daerah atau negara. Jangan bangun atau perluas bandara berdasarkan keputusan politis karena ada tokoh politik atau pejabat negara berasal dari daerah itu lalu dibangunlah bandara. Model ini pasti akan merugikan daerah.
Kedua, perhatikan jarak antarbandara sesuai dengan peraturan yang ada, jangan bangun bandara di setiap kota kecamatan. Persaingan antarmoda, khususnya di Jawa harus dihindari karena akan sangat merugikan kita semua. Jika akses jalan tol, jalur kereta api, pelabuhan sudah ada di wilayah itu, jangan bangun bandara, apalagi sebagai bandara internasional. Biaya sangat tinggi, tetapi pendapatan "jongkok".
Agus Pambagio pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen
(mmu/mmu)