Bahaya Bergerak Cepat
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Sentilan IAD

Bahaya Bergerak Cepat

Selasa, 09 Mar 2021 19:04 WIB
Iqbal Aji Daryono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
iqbal aji daryono
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Fihril Kamal/istimewa)
Jakarta -

Ada dua misteri kehidupan yang sampai sekarang belum berhasil saya pecahkan. Pertama, kenapa kalau kita mencuci kendaraan, bayar 40 ribu pula, biasanya tak lama kemudian langsung turun hujan. Kedua, kenapa kalau kita sedang melaju di jalan dalam kondisi ngebut dan terburu-buru, selalu saja di depan kita ada kendaraan-kendaraan lelet bin letoy yang menghalangi kita, padahal jalan di depan mereka longgar selonggar-longgarnya.

Yang kedua itu baru saya alami dua jam lalu. Ceritanya, saya harus ambil tes swab untuk keperluan yang tak dapat ditunda, dan informasinya baru saya buka di Whatsapp 15 menit sebelum tempat layanan swab tutup. Keruan saja saya panik, dan dengan gedabikan segera menggenjot gerobak saya.

Celakanya, jalan menuju TKP di sudut Bantul itu sempit banget, per lajur cuma cukup untuk satu mobil. Sementara, berkali-kali saya terjebak di belakang barisan dua-tiga mobil yang berjalan santai, terlalu santai, sehingga potensi keterlambatan saya semakin besar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kalau cuma satu mobil, pencetan klakson panjang sebenarnya bisa saja menjadi alternatif solusi. Tapi meminta tiga mobil menyingkir untuk membuka jalan bagi kita itu kok rasanya terlalu uncivilized. Akhirnya, saya cuma bisa pasrah menanti nasib. Saya menginjak pedal gas dengan irit, sambil merayap lambat di belakang mobil-mobil yang tak sadar bahwa roda Zaman Empat Kosong ini berputar seribu kali lebih cepat dibanding roda-roda mereka.

Sialnya, sambil menggelinding tanpa daya itu, otak saya diserbu imajinasi tentang apa yang sedang dilakukan para pengemudi mobil yang menghambat gerak saya. Mungkin mereka menyetir sambil main HP. Mungkin mereka menyetir sambil mengobrol penuh canda tawa tiada guna dengan kawan di sebelahnya. Mungkin juga mereka menyetir sambil rengeng-rengeng menikmati lagu campursari dari radio, dan kadangkala kepala mereka tengok kiri-kanan menikmati pemandangan.

ADVERTISEMENT

Walhasil, emosi yang semula sudah saya setel kendor itu jadi kenceng kembali. Saya mengumpat-umpat, sembari terus melirik ke arah angka jam yang semakin mepet dengan jadwal tutupnya kantor tempat layanan swab. Sementara, mengumpat-umpat sambil merayap lambat itu rasanya amat menyiksa. Itu dua gesture yang sungguh enggak matching. Marah-marah itu ya cocoknya sambil ngebut, memukul-mukul, menabrak-nabrak. Bukan kok merangkak pelan-pelan dalam gerakan kontemplatif seperti ini.

Dalam suasana hati yang grusa-grusu dan uring-uringan itulah, saya menemukan satu hal. Bahwa sebenarnya, dalam hidup kita, acap kali kita ini punya kemampuan yang sangat bisa diandalkan. Kita punya potensi, kita punya energi. Tapi potensi kita itu sering terhambat oleh satu-dua orang super-lambat yang menghalang-halangi langkah kita.

Bukankah itu persis dengan situasi yang sedang saya hadapi? Saya ini jago ngebut, suka ngebut, dan punya portfolio bertahun-tahun di jalanan sebagai sopir profesional yang sering sekali harus ngebut. Tapi kemampuan ngebut saya yang pilih tanding itu jadi tak berguna, hanya karena tiga biji sopir sialan itu.

Sungguh sebuah renungan yang sangat profesional, sekaligus sangat industrial. Tapi saya merasa puas telah menemukan pencerahan satu itu. Hingga kemudian muncul ingatan yang lain lagi. Ini tentang jalanan Jogja.

Dua hari yang lalu, saya lewat di sebuah lajur jalan di Jogja kota. Lajur jalan itu dulunya lajur biasa, untuk dua arah arus kendaraan. Tapi sejak tahun lalu, ia disulap menjadi searah.

Bagi saya, dan bagi semua kendaraan lainnya, tentu perubahan tersebut menyenangkan. Kami tak lagi terjebak macet sebagaimana biasanya. Sebelumnya, bis-bis besar dari luar kota selalu berjejal di situ, berjalan pelan, kadang berhenti, berjalan lagi, dan ratusan kendaraan lain mengikuti ritme demikian. Bertahun-tahun pemandangannya seperti itu. Maka ketika sulapan satu arah diterapkan, kami menemukan jalur lapang yang menyenangkan. Kami melesat cepat, belasan menit dapat dihemat.

Lalu tiba-tiba tulisan di spanduk pinggir jalan itu tertangkap mata saya. "Tolak Jalan Satu Arah! Kembalikan Jalan Ini Seperti Semula Menjadi Dua Arah!"

Awalnya saya bingung kenapa warga setempat malah menginginkan kembali jalan dua arah. Bukankah suasana kemacetan bertahun-tahun menyiksa mereka, menjadikan kampung mereka pengap oleh polusi dan bisingnya mesin-mesin dan klakson-klakson? Hingga kemudian tampak berderet-deret toko yang tutup, atau buka tapi sepi, berselang-seling dengan spanduk dan poster dengan tuntutan yang sama.

Saya tertegun. Obsesi kecepatan ternyata membawa korban-korban berjatuhan.

Ya, benar. Sekilas, kecepatan dan kelancaran itu kebahagiaan. Tapi nyatanya, dengan akses yang lancar, tak ada orang yang sudi berjalan santai, lalu menyempatkan diri mampir ke warung-warung minuman atau mie ayam, ke toko-toko kelontong, ke gerai-gerai pulsa eceran. Kecepatan mungkin bermakna produktivitas bagi sekian orang, tapi kematian bagi sekian orang lainnya.

"Dulu warga kami hidup dari jualan telur asin, Mas. Ini kan memang komoditas khas Brebes. Tapi sejak tol dibangun, siapa yang mau mampir belanja telur? Tidak ada. Orang jalan di tol nggak bisa mampir-mampir. Banyak pedagang telur asin yang gulung tikar. Yang masih bertahan ya kami saja yang beruntung bisa dapat tempat di sini."

Itu tadi bukan kata-kata pemilik warung kelontong di lajur searah Jogja kota, tapi cerita seorang pemilik stan yang pernah saya ajak mengobrol saat saya mampir di rest area tol, di bekas Pabrik Gula Banjaratma Brebes.

Pelan-pelan, saya mulai menata gambar-gambar ini. Obsesi atas kecepatan adalah ruh kita zaman ini. Semua produk teknologi selalu terkait dengan kecepatan. Kita memencet layanan pemesanan makanan, itu mendukung hobi mager tapi juga menghemat waktu sekali jalan. Kita memakai layanan pembayaran ini-itu, artinya kita bisa mengirim uang dalam hitungan detik. Kita membuka portal berita online, artinya kita mengasup kabar jauh lebih cepat dan lebih hangat daripada kabar-kabar zaman cetak.

Dan, kecepatan pun menjadi nilai mutlak yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Malangnya, bersama nafsu adu cepat itu, akan segera terjungkal pula jutaan periuk nasi.

Lamunan saya terhenti di depan tempat layanan swab. Saya terlambat delapan menit, dan badan saya lunglai seketika. Saya gagal. Tapi kemudian seorang satpam memberitahu saya bahwa petugas swab masih menunggu. Para petugas itu ternyata memaklumi banyak orang yang juga terlambat. Saya lega. Kecepatan tidak selalu berarti kunci di zaman ini.

Ketika tes swab sudah selesai, saya bertekad untuk pulang sambil menyetir dengan santai. Siapa tahu nanti saya bisa mampir di pedagang jajanan pinggir jalan, dan membuktikan diri bahwa saya bukan orang yang bernafsu habis-habisan dengan kecepatan.

Lalu saya menyalakan mesin gerobak saya, meluncur pelan, terus pelan, sampai kemudian saya ingat: ada deadline tulisan yang harus saya kejar! Terus terang saya masih bingung apakah saya yang harus mengejar deadline ataukah deadline yang sedang mengejar saya. Satu-satunya yang saya tahu adalah akhirnya cita-cita untuk melambat dan mencampakkan mimpi atas kecepatan itu berakhir sebagai cita-cita belaka.

Saya harus bergerak cepat!

Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads