Tepat setahun yang lalu pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Pandemi Covid-19 telah melahirkan krisis kesehatan yang memberi dampak turunan serius khususnya di sektor ekonomi. Salah satu sektor yang terdampak yakni di industri musik, yang pada 9 Maret ini diperingati sebagai Hari Musik Nasional.
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan protokol kesehatan yang di antaranya mensyaratkan jaga jarak fisik (physical distancing) menjadikan seni pertunjukan terhenti total. Situasi ini memberi dampak serius terhadap pelaku seni pertunjukan dan sistem pendukung (supporting system) di industri ini.
Kabar baiknya, hingga setahun Covid-19 mewabah di Tanah Air, tak ada kasus pelanggaran kebijakan protokol kesehatan yang dilakukan oleh para pelaku industri musik. Komitmen pelaku industri musik di Indonesia dalam menjalankan protokol kesehatan patut diapresiasi setinggi-tingginya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, sepanjang setahun terakhir ini pula, aktivitas kreatif para pelaku industri musik tetap berlangsung dengan segala keterbatasannya. Di titik ini, pelaku industri musik menunjukkan sikap resiliensi yang cukup tangguh.
Pemanfaatan platform digital menjadi satu-satunya medium untuk tetap berkreasi. Baik sebagai wadah untuk memproduksi lagu baru maupun medium pertunjukan melalui layanan live streaming. Sebagai medium alternatif, upaya tersebut dapat menjadi jalan keluar sementara di saat pandemi.
Kebijakan pemberian vaksin oleh pemerintah yang dimulai sejak Januari lalu kepada masyarakat menjadi angin segar dalam penanganan Covid-19 ini. Diharapkan dari upaya ini akan melahirkan herd immunity bagi masyarakat Indonesia sembari tetap menegakkan protokol kesehatan dengan ketat dan disiplin.
Pascaprogram vaksin bagi masyarakat Indonesia, diharapkan dapat memulihkan situasi di semua sektor, tak terkecuali di sektor industri musik. Dalam konteks tersebut dibutuhkan perencanaan kebijakan industri musik pasca-Covid.
Kebijakan di Industri Musik
Menyebut Indonesia pasca-Covid rasanya cukup berlebihan. Lantaran, hingga saat ini belum ada satu pun otoritas yang bisa memastikan Indonesia-benar-benar terbebas dari Covid-19. Apalagi, awal Maret ini, terdapat warga Indonesia terkonfirmasi Covid-19 varian baru B-1.1.7. Ilmuwan menyebut, penularan varian baru ini lebih cepat dibanding varian sebelumnya.
Kendati demikian, penyebutan Indonesia pasca-Covid dengan asumsi tercapainya target program vaksinasi di Indonesia serta penerapan protokol kesehatan secara ketat menjadi pilihan moderat untuk memastikan kenormalan baru setelah setahun Covid-19 mewabah di Indonesia.
Atas dasar tersebut, pemerintah sepatutnya membuat perencanaan kebijakan terhadap industri musik pasca-Covid ini. Perencanaan kebijakan semestinya dibuat untuk memastikan industri ini tetap berjalan dan turut serta memberi kontribusi bagi penerimaan negara.
Bila merujuk data terakhir yang dirilis Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pada 2016, kontribusi industri musik di Indonesia tak mencapai 1 persen, hanya di angka 0,46%. Padahal, tidak sedikit sektor yang memanfaatkan musik seperti restoran, hotel, tempat pariwisata dan ruang publik lainnya. Artinya, terdapat masalah dalam tata kelola industri musik di Indonesia.
Sejumlah instrumen yuridis yang dapat dipakai sebagai landasan untuk pengelolaan industri musik di Indonesia juga belum berjalan maksimal. Mulai UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang secara eksplisit tentang amanat pendataan di aspek kebudayaan yang di dalamnya terdapat sektor musik. Derivasi dari ini tak lain adalah tuntutan keberadaan big data di sektor musik.
Di samping itu keberadaan UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta juga masih memiliki persoalan dari sisi pemahaman, implementasi, hingga aturan turunannya. Belum lagi bila hal tersebut disandingkan dengan pemanfaatan digital bagi industri musik yang belakangan cukup masif.
Ragam persoalan tersebut harus dapat dipotret oleh pemerintah dengan perspektif besar dalam rangka upaya solutif atas persoalan yang dihadapi industri ini terlebih setelah setahun Indonesia diterpa Covid-19 yang memberi dampak signifikan bagi industri ini. Di sini urgensi perencanaan industri musik pasca-Covid.
Namun, sejak pandemi Covid-19 menerpa, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif belum menerbitkan kebijakan yang memberi dampak penataan di industri ini. Hasil kerja Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) di era pemerintahan Presiden Jokowi periode 2014-2019 mestinya menjadi milestone bagi Kemenparekraf untuk menata industri ini.
Sinergi Pemangku Kepentingan
Pelbagai persoalan di industri musik di Indonesia, ditambah carut marut indutri ini sejak Covid-19 menerpa di Indonesia, harus diletakkan di atas meja besar para pemangku kepentingan (stakeholders).
Potensi yang dihasilkan dari industri ini harus dibaca sebagai bagian dari upaya kontributif dalam pembangunan Indonesia. Pemahaman ini penting dimiliki agar tidak menjadikan industri ini hanya menjadi komplementer yang penyelesaiannya superfisial.
Tak berlebihan juga jika menjadikan industri musik ini sebagai tulang punggung baru bagi perekonomian di Indonesia. Pemetaan yang telah dilakukan oleh Bekraf terhadap 16 subsektor industri ekonomi kreatif di Indonesia yang di dalamnya terdapat sektor musik dapat menjadi pedoman bagi pemerintah dalam memetakan persoalan di industri musik.
Sayangnya, setahun lebih pemerintahan Jokowi di periode keduanya ini, dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif belum menunjukkan tanda-tanda lahirnya kebijakan yang memiliki semangat keberlangsungan kebijakan yang pernah dilakukan Bekraf era Triawan Munaf.
Seperti data terakhir yang dihasilkan Bekraf, dari 16 subsektor industri ekonomi kreatif, sebanyak tujuh sektor memiliki kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di atas satu persen serta terdapat sembilan sektor yang hanya berkontribusi terhadap PDB di bawah satu persen. Ironinya, sektor musik satu di antara tujuh sektor tersebut.
Menyatunya nomenklatur antara pariwisata dan ekonomi kreatif dalam struktur Kabinet Presiden Jokowi periode kedua ini, dengan segala polemik yang muncul, sebenarnya dapat dilihat dari sudut pandang positif. Salah satunya, penyatuan dua nomenklatur ini dapat memudahkan konektivitas antara sektor pariwisata dengan industri kreatif lainnya.
Konektivitas ini tidak sekadar menyatunya dua frasa antara pariwisata dan ekonomi kretif, namun jauh lebih dari itu, menyatunya koordinasi antar stakeholder di industri kreatif dan pariwisata yang hakikatnya memiliki irisan yang dekat satu dengan lainnya.
Konkretnya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif agar dapat melanjutkan dan menindaklanjuti pemetaan yang telah dilakukan Bekraf era Triawan Munaf. Lebih dari itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengidentifikasi persoalan yang saat ini dihadapi oleh industri musik dengan menindaklanjuti berupa penerbitan kebijakan yang kondusif bagi keberlangsungan industri ini lebih baik.
Penataan ini dimaksudkan agar lahir industri musik yang kondusif berupa kesejahteraan para pelaku dan ekosistem industri musik, bisnis yang lebih transparan hingga peningkatan penerimaan negara melalui pajak.
Pemerintah sebagai pihak regulator sekaligus dirigen dalam orkestra pembenahan industri ini dapat mengajak duduk bersama seluruh pemangku kepentingan baik di internal pemerintahan seperti Kementerian Hukum dan HAM di sisi hak cipta, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), serta pemerintah daerah.
Di sisi yang lain, pelaku industri musik dapat memberi masukan konstruktif kepada pemerintah dalam kebijakan penataan industri ini khususnya pasca-pandemi ini. Upaya ini dilakukan secara simultan, komprehensif, dan berkelanjutan. Selamat Hari Musik Nasional 2021.
Anang Hermansyah musikus, Anggota DPR 2014-2019
Tonton juga Video: Saran Imel 'Ten2Five' Buat yang Ingin Masuk Industri Musik