Pandemi Covid-19 ini rupanya telah mematahkan tren penurunan kemiskinan di Indonesia, mengingat setidaknya dalam 24 tahun terakhir, baru pada periode 2018-2019 angka kemiskinan bisa ditekan sampai satu digit. Bahkan pada September 2019 angka kemiskinan sempat menyentuh angka terendah dalam sejarah penghitungan kemiskinan di Indonesia, yaitu sebesar 9,22 persen --meskipun masih menyisakan persoalan disparitas kemiskinan perkotaan dan perdesaan yang cukup signifikan.
BPS sebagai instansi pemerintah yang diberi tugas melakukan penghitungan angka kemiskinan menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (basic need approach) dalam menghitung angka kemiskinan. Melalui pendekatan ini, seseorang dikatakan miskin apabila tidak mampu memenuhi minimum kebutuhan dasarnya baik berupa makanan maupun non-makanan. Minimum kebutuhan dasar tersebut lalu dikonversi dalam bentuk rupiah yang dikenal dengan Garis Kemiskinan (GK).
Secara Nasional, Garis Kemiskinan tercatat sebesar Rp 458.947 per per kepala per bulan (kondisi September 2020) atau jika dikonversi per rumah tangga miskin per bulan menjadi rata-rata sebesar Rp 2.216.714. BPS mencatat setiap rumah tangga di Indonesia memiliki 4 sampai 5 atau secara rata-rata 4,83 orang anggota rumah tangga.
Angka Garis Kemiskinan ini tentunya sangat bervariasi antardaerah mengikuti pola konsumsi masyarakat di wilayah tersebut maupun disparitas harga antarwilayah.
Dinamis
Garis Kemiskinan (GK) bersifat dinamis, bergerak seiring pergerakan harga komoditas-komoditas penyusunnya. Komoditas penyusun GK umumnya adalah kebutuhan pokok masyarakat baik makanan maupun non-makanan seperti beras, daging ayam ras, minyak goreng, rokok, cabai merah, cabai rawit, biaya perumahan, biaya pendidikan, tarif listrik, bensin, dan sebagainya.
Kenaikan tingkat harga secara agregat komoditas-komoditas ini akan secara otomatis meningkatkan angka GK yang berdampak pada sulitnya masyarakat miskin keluar dari jebakan kemiskinan bahkan berpeluang memunculkan orang-orang miskin baru. Dengan demikian faktor harga barang/jasa terutama yang terkait dengan kebutuhan pokok masyarakat miskin ini harus tetap dijaga agar fluktuasinya tetap terkendali.
Hal ini juga berimplikasi bahwa mau tidak mau pengendalian tingkat harga (yang tercermin dari indikator inflasi) merupakan salah satu upaya makro guna mendukung pengentasan kemiskinan.
Berdasarkan catatan BPS, laju inflasi selama 2020 sangat rendah, bahkan terendah dalam sejarah penghitungan inflasi yang dilakukan BPS dalam 34 tahun terakhir yaitu setinggi 1,68 persen. Meskipun menjadi sebuah anomali ketika catatan inflasi secara umum rendah namun angka kemiskinan naik, patut dicermati lebih dalam lagi komponen inflasi mana yang memberikan andil terhadap kenaikan GK.
Berdasarkan hasil rilis angka inflasi BPS, sepanjang 2020 inflasi komponen volatil (harga bergejolak) masih menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu 3,62 persen. Komoditas pada kelompok volatil umumnya adalah komoditas makanan sehingga sering disebut volatile food dan di dalamnya juga terdapat kebutuhan pokok masyarakat miskin seperti beras, cabai merah, minyak goreng, daging ayam ras, telur ayam ras, mie instan, ikan segar, dan sebagainya.
Inflasi pada komponen volatil ini sejalan dengan persentase kenaikan GK secara nasional pada September 2020 sebesar 4,18 persen jika dibandingkan GK pada September 2019.
Pengendalian Inflasi
Upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan pemerintah baik secara mikro maupun makro. Secara mikro, pemerintah menyasar langsung individu masyarakat miskin (by name and by address) dengan serangkaian kebijakan yang umumnya berupa bantuan sosial (bansos). Kebijakan secara makro, meskipun tidak secara langsung menyentuh individu masyarakat miskin, namun dampaknya diharapkan akan dirasakan oleh masyarakat miskin, salah satunya adalah kebijakan pengendalian harga.
Dalam rangka efektivitas kebijakan pengendalian harga ini, pemerintah yang dimotori Bank Indonesia membentuk tim pengendalian inflasi baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah (TPID). Optimalisasi peran TPID ini perlu dilakukan mengingat peran strategisnya dalam rangka upaya koordinasi antar-stakeholder terkait pengendalian harga. Terlebih lagi, TIPD memiliki jajaran sampai pada level kabupaten/kota yang tentunya memudahkan memantau pergerakan harga khususnya pada komponen volatil sehingga dapat lebih awal meredam gejolak harganya.
TPID bekerja sama dengan dinas terkait,dapat melakukan langkah pengendalian harga komoditas terutama yang bersifat bergejolak dengan pemetaan produsen dan distributor (terutama yang pangsa pasarnya besar) serta memastikan jalur distribusi barang berjalan lancar. Hal ini untuk mempermudah intervensi jika gejolak harga sudah mulai tak terkendali.
Pemantauan stok barang secara berkala di produsen maupun distributor dapat dilakukan sebagai alarm awal akan naiknya harga di tingkat konsumen nantinya. Intervensi di tingkat pedagang akhir seperti yang dilakukan melalui operasi pasar maupun pasar murah hanya dapat meredam gejolak harga secara sementara, karena persoalannya tetap pada supply atau stok yang ada di produsen maupun di distributor.
Sinergi Pusat-Daerah
Terakhir, sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun harus dijalankan terkait upaya stabilisasi harga dalam framework pengentasan kemiskinan. Meskipun umumnya gejolak harga yang tinggi terjadi pada komponen volatil, namun jangan lupa bahwa beberapa komoditas yang pembentukan harganya diatur oleh pemerintah (administered price) khususnya pemerintah pusat juga merupakan komponen yang signifikan mempengaruhi dinamika GK.
Komoditas-komoditas itu seperti tarif dasar listrik (TDL), bensin, gas elpiji, maupun rokok (dalam bentuk cukai rokok). Jika upaya pengendalian harga untuk komponen volatil diporsikan untuk diatasi oleh pemerintah daerah, maka untuk komponen administered ini pemerintah pusatlah yang lebih banyak mengambil peran.
Berdasarkan data yang dirilis BPS, inflasi komponen harga yang diatur pemerintah pada 2020 relatif rendah yaitu tercatat hanya sebesar 0,25 persen. Namun demikian, peluang tekanan inflasi komponen ini pada 2021 tergolong cukup tinggi. Keputusan pemerintah pusat untuk menaikkan cukai rokok per Februari 2021 ini misalnya, mau tidak mau akan berdampak pada kenaikan harga rokok yang "miris"-nya merupakan salah satu komoditas penentu dinamika GK.
Potensi-potensi tekanan harga ini seharusnya dapat diantisipasi agar dampak yang ditimbulkan utamanya pada masyarakat miskin dapat diminimalisasi.
Ni Made Inna Dariwardani statistisi pada Badan Pusat Statistik Provinsi Bali
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini