Konflik Internal Parpol

Kolom

Konflik Internal Parpol

Jamaludin Ghafur - detikNews
Selasa, 09 Mar 2021 10:47 WIB
Yudhoyono tiba di kantor Kemenkumham, Jakarta. AHY tampak didampingi sejumlah kader Demokrat saat sambangi Kemenkum HAM.
Foto: Ari Saputra
Jakarta -

Perseteruan para elite Partai Demokrat (PD) mencapai puncaknya. Beberapa tokoh pendiri dan pengurus partai yang dikenai sanksi pemecatan secara tidak terhormat karena dianggap tidak lagi setia dan loyal pada partai benar-benar merealisasikan ancamannya, yaitu melengserkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari tampuk kepemimpinan partai melalui penyelenggaraan Kongres Luar Biasa (KLB). Para peserta KLB secara aklamasi telah menetapkan Moeldoko, Kepala Staf Kepresiden, sebagai Ketua Umum PD periode 2021/2025.

Konflik internal partai politik (parpol) sebenarnya merupakan sesuatu yang lumrah dan natural di negara-negara dengan sistem demokrasi yang telah mapan maupun demokrasi baru. Hanya pada negara-negara yang tidak demokratis atau semi-demokratis, serta di negara dengan sistem satu partai saja faksionalisasi dan konflik mungkin jarang atau bahkan tidak ditemukan.

Pentingnya faksionalisme dan konflik internal diberi ruang menurut Yudi Latif (2004), sebab hal ini dapat berfungsi sebagai sarana artikulasi ragam kepentingan dan alternatif kebijakan dalam partai, serta dapat beroperasi sebagai mekanisme kontrol horizontal dalam menegakkan prinsip-prinsip akuntabilitas partai. Itulah sebabnya pada banyak kasus di negara maju seperti Jepang dan Italia, alih-alih dibunuh, eksistensi faksi ini malah dijamin oleh anggaran dasar dan rumah tangga partai.

Ringkasnya, dalam sebuah rezim demokratis, benturan kepentingan dan nilai politik merupakan sesuatu yang lumrah sebagai akibat dari dihormati dan dijaminnya perbedaan pendapat. Sepanjang konflik tersebut tidak menghancurkan tatanan sistem dan kelembagaan demokrasi, maka ia harus dianggap sebagai sesuatu yang wajar adanya.

Sayangnya, yang terjadi di hampir setiap konflik internal yang dialami oleh parpol Indonesia adalah pertikaian yang bersifat destruktif karena seringkali menyebabkan ambruknya tatanan sistem. Hal ini bisa diamati dari hampir semua parpol yang mengalami perpecahan internal, berakibat pada terganggunya kinerja parpol yang ditandai dengan merosotnya perolehan suara dalam pemilu secara signifikan, dan bahkan bisa mengakibatkan partai yang bersangkutan tidak mampu lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebagaimana yang dialami oleh Partai Hanura pada Pemilu 2019 kemarin.

Sumber Konflik


Parpol memang merupakan sebuah keniscayaan bagi sebuah negara demokrasi. Namun, tidak semua parpol berkontribusi positif bagi perbaikan demokrasi. Sebagian yang lain, keberadaannya justru merusak dan menghancurkan tatanan demokrasi itu sendiri melalui perilaku-perilaku koruptif dan penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam konteks ini, barangkali kebutuhan akan hadirnya parpol dalam rangka konsolidasi demokrasi yang paling utama bukan pada soal kuantitas, tetapi pada kualitas. Oleh karena itu, memodernkan parpol merupakan agenda yang sangat mendesak untuk segera dilakukan. Sebab hanya partai-partai yang kuat dan terinstitusionalisasi yang menjanjikan terbangunnya demokrasi yang baik. Parpol harus dikelola secara profesional dan demokratis, bukan sebaliknya yaitu dikendalikan secara oligarkis di mana para individu yang kebetulan menjadi pengurus, hanya menjadikan parpol sebagai kendaraan guna menggapai dan memuaskan ambisi pribadi.

Diakui atau tidak, setelah dua dekade lebih Reformasi bergulir, eksistensi partai sebagai penopang utama tegaknya demokrasi, justru semakin dikelola secara oligarkis dan bahkan personalistik. Kepentingan pribadi dalam banyak hal seringkali mengalahkan kepentingan parpol sebagai sebuah institusi. Implikasinya, pengorganisasian parpol kemudian tidak berjalan berdasarkan sistem tetapi bersandar pada selera individu elit sehingga ukuran benar tidaknya perilaku anggota dan kader parpol, bukan didasarkan pada aturan dan AD/ART, tetapi pada subjektivitas ketua umum.

Seorang kader atau anggota akan dengan mudah dijauhi sanksi jika ia terlalu kritis dan dianggap tidak lagi loyal pada pemimpinnya sekalipun secara aturan tindakan tersebut adalah benar. Sebaliknya, kader atau anggota yang jelas-jelas menyimpang dari aturan organisasi akan tetap dibela, dipertahankan, dan dilindungi jika ia merupakan orang kepercayaan dari sang pemimpin partai. Sikap seperti ini pasti akan menimbulkan banyak kekecewaan sehingga pada akhirnya menjadi sumber utama munculnya banyak konflik di internal parpol.

Kinerja Mahkamah Partai


Sejak awal, pemerintah telah menyadari akan tingginya potensi konflik dalam parpol sehingga melalui instrumen undang-undang, setiap parpol telah diwajibkan untuk membentuk Mahkamah Partai (MP) atau sebutan lainnya guna menyelesaikan setiap timbul sengketa internal. Pasal 32 UU Nomor 2 Tahun 2011 menyatakan: Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART yang dilakukan oleh suatu mahkamah partai politik atau sebutan lain.

Sayangnya, kinerja lembaga ini belum begitu efektif dan solutif dalam menyelesaikan setiap konflik yang muncul agar tidak semakin membesar dan berdampak negatif bagi institusi parpol. Buktinya, hampir semua permasalahan internal parpol yang telah diputus oleh MP, tidak memuaskan para pihak sehingga persoalan tersebut masih digugat di pengadilan. Padahal UU Parpol sudah secara tegas menyatakan bahwa perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan, putusan MP bersifat final dan mengikat secara internal.

Ada banyak sebab mengapa MP tidak bisa menjadi lembaga penyelesai sengketa yang efektif. Salah satu di antaranya adalah karena pengurus yang duduk dalam lembaga ini hampir semuanya merupakan orang-orang yang dipilih oleh ketua umum partai. Akibatnya, lembaga ini sulit bersikap independen dan imparsial sebagai syarat utama agar putusannya memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak, terutama jika konflik yang muncul tersebut terjadi antara anggota atau kader parpol melawan ketua umum partai. Dalam kondisi seperti ini, seringkali putusan MP lebih condong membela dan mengamankan kepentingan sang ketua umum.

Oleh sebab itu, ke depan lembaga MP ini perlu diisi oleh orang-orang netral yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan para elite partai di DPP. Caranya adalah dengan merekrut kalangan profesional di luar partai dan/atau pengisian jabatan lembaga ini harus dipilih langsung oleh anggota partai dalam forum pengambilan keputusan tertinggi partai seperti Munas/Kongres/Muktamar. Jika ide ini diterima, maka selain memilih ketua umum, forum kongres juga harus diberi kewenangan untuk memilih ketua dan anggota MP agar lembaga ini memiliki legitimasi yang sama kuat dengan DPP Partai sehingga tidak mudah diintervensi.

Jamaludin Ghafur dosen Hukum Tata Negara, anggota Dewan Pakar Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Simak video 'Polemik Demokrat, Tudingan Ilegal hingga Klaim Paling Sah!':

ADVERTISEMENT

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads