Pandemi Covid-19 telah memberikan tekanan yang sangat besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam dua tahun terakhir ini. Bahkan pada tahun 2020, pemerintah sampai harus menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang (UU) No.2 Tahun 2020 sebagai respon terhadap gelombang pandemi yang datang tidak terduga. Terbitnya UU tersebut seolah-olah semakin menegaskan bahwa pemerintah mengalami kekagetan yang luar biasa sehingga harus mengeluarkan anggaran yang juga "terkaget-kaget" (panic budget)
Tidak tanggung-tanggung, pemerintah mengajukan kelonggoran defisit APBN sampai angka tak terhingga selama masa pandemi Covid-19 atau paling tidak sampai tahun 2023. Pemerintah mencoba membuka ruang fiskal yang lebih besar untuk membiayai program penanggulangan pandemi Covid-19 serta dampak sistemiknya mulai dari program 3T (testing, tracing, dan traetment) sampai program pemulihan ekonomi nasional.
Program penanggulangan efek pandemi Covid-19 ini mengakibatkan pos belanja negara membengkak jauh di luar dugaan. Defisit APBN yang pada tahun 2019 hanya mencapai Rp 348,7 triliun atau setara dengan 2,20 persen Produk Domestik Bruto (PDB), pada tahun 2020 melambung menjadi Rp1.039,2 triliun atau sama dengan 6,34 persen dari PDB.
Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2021. Walaupun tidak setinggi defisit pada tahun 2020, pada tahun 2021 defisit APBN masih sangat tinggi yaitu mencapai 5,70 persen terhadap PDB atau mencapai angka Rp 1.006,4 triliun.
Padahal dalam waktu bersamaan, akibat pandemi Covid-19 ini sumber-sumber pendapatan negara mengalami tekanan yang tidak kalah beratnya. Negara kehilangan berbagai sumber pendapatan utamanya seperti pendapatan pajak dan pendapatan negara bukan pajak dari usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pada tahun 2020 diperkirakan rasio pajak terhadap PDB kembali turun drastis dari 9,76 persen menjadi hanya 7,90 persen. Hal yang sama juga terjadi dari penerimaan hasil usaha BUMN di mana diperkirakan pada tahun 2020 turun sekitar 15 persen dan pada tahun 2021 diperkirakan kembali turun sebanyak 40 persen.
Oleh karena itu hal yang sangat dapat dipahami jika pemerintah mengambil opsi penambahan utang untuk menutupi defisit APBN tersebut. Di tengah pandemi Covid-19, menggenjot penerimaan dari pajak dan hasil usaha BUMN merupakan hal yang mustahil. Utang menjadi satu-satunya opsi yang paling realistis menurut pendekatan dan mazhab ekonomi yang selama ini dianut oleh pemerintah dan mayoritas pelaku ekonomi di Indonesia.
Namun opsi yang realistis tersebut memiliki efek negatif yang sangat besar dalam jangka panjang. Pembiayaan utang ibarat menanam bom waktu yang diwariskan kepada generasi muda Indonesia di masa yang akan datang. Pemerintah saat ini akan mewariskan APBN yang tidak sehat untuk pemerintahan Indonesia berikutnya.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, saat ini jumlah utang pemerintah sudah menembus angka Rp 6.072,56 triliun. Walaupun jumlahnya sudah sangat besar, Kementerian Keuangan masih memiliki keyakinan bahwa utang pemerintah masih berada di zona aman. Hal ini disebabkan karena komposisi utang pemerintah sebagian besarnya (66,4%) terdiri dari utang dalam bentuk mata uang rupiah seperti Surat Utang Negara (SUN) domestik dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Walaupun masih relatif aman, utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) ini masih memiliki risiko yang cukup besar. Risiko pertama terkait dengan volatilitas suku bunga obligasi di pasar uang baik pasar uang domestik maupun pasar uang global. Hal ini menjadikan SBN pemerintah memiliki tingkat suku bunga yang tinggi bahkan lebih tinggi dibanding negara-negara tetangga seperti Philippines dan Thailand.
Risiko kedua terkait dengan produktivitas utang yang terus mengalami penurunan. Jika dilihat berdasarkan tingkat rasio utang pemerintah terhadap PDB, jumlah utang pemerintah saat ini masih bisa dikatakan relatif kecil yaitu sekitar 36,68 persen. Namun kemampuan keuangan pemerintah dalam membayar utang tersebut semakin menurun. Hal ini tergambar dari terus menurunnya rasio pajak terhadap PDB.
Rasio pajak Indonesia terhadap PDB pernah mencapai angka 11,38 persen yaitu pada tahun 2011, namun setelah itu rasio pajak Indonesia terus mengalami penurunan sampai menyentuh angka single digit pada tahun 2020 kemarin. Hal ini menjadi indikasi kuat bahwa utang pemerintah semakin tidak produktif dan tidak menutup kemungkinan Indonesia masuk ke dalam debt trap di mana untuk menutup utang yang lalu harus dengan menerbitkan utang yang baru.
Tiga Kekhawatiran
Sampai titik ini nampaknya utang bukanlah pilihan ideal untuk menutupi defisit pembelanjaan negara yang terjadi saat ini. Diperlukan langkah out of the box untuk mencari sumber pembiayaan lain yang jauh lebih fleksibel.
Jika meminjam teori modern public finance dan modern monetary theory, sebenarnya masih terdapat satu cara yang bisa dijadikan pilihan alternatif pemerintah untuk menutupi defisit anggaran yang sangat besar ini yaitu dengan mencetak uang baru. Ide pencetakan uang ini sebenarnya pernah muncul di pertengahan tahun 2020 kemarin namun kemudian meredup seiring dengan maraknya penolakan publik terutama yang berasal dari sebagian akademisi dan pelaku ekonomi.
Penolakan terhadap ide pencetakan uang ini muncul karena adanya tiga kekhawatiran besar. Kekhawatiran pertama terkait dengan ketakutan teoritis dimana penciptaan uang yang dilakukan dalam jumlah besar, secara teori ekonomi Keynesian klasik, akan menciptakan inflasi yang sangat tinggi dan cenderung tidak terkendali (hyperinflation). Ketakutan ini terkonfirmasi oleh sejarah Indonesia di masa lalu yaitu pada rezim pemerintahan Orde Lama. Ketakutan ini telah mendorong dan memunculkan kekhawatiran yang kedua.
Kekhawatiran kedua sangat erat kaitannya dengan kekhawatiran pertama. Kekhawatiran kedua yang muncul dari sebagian para pelaku ekonomi dan akademisi adalah ketakutan yang sangat besar (phobia) terhadap sejarah kelam di masa lalu. Pada jaman Orde Lama, pemerintah melalui bank sentralnya pada waktu itu (Bank Negara Indonesia Unit 1) mencetak uang secara besar-besaran yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan monumen-monumen prestisius untuk meningkatkan citra positif Indonesia di mata dunia internasional.
Secara teori ekonomi klasik, pencetakan uang untuk pembangunan monumen-monumen tersebut jelas kurang tepat. Uang yang dicetak tersebut banyak beredar di masyarakat tanpa menciptakan efek pengganda (multiplier effect) ekonomi yang signifikan. Uang-uang tersebut hampir tidak menggerakkan aktivitas ekonomi di sektor riil yang menyebabkan nilai uang turun tajam sampai menyentuh 600 persen. Uang pada saat itu menjadi sangat tidak berharga dan seluruh aktivitas perekonomian menjadi sangat tidak efisien.
Selain dua kekhawatiran tadi, penciptaan uang ini juga dikhawatirkan dapat mengancam independensi Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral Indonesia. Penciptaan uang atas permintaan pemerintah akan menghilangkan otoritas BI sebagai penjaga gawang utama kebijakan moneter dan makro-prudensial. Jika hal ini terjadi maka BI akan mengalami kesulitan untuk menjalankan peran dan fungsinya secara independen.
Alternatif Pencetakan Uang
Tiga kekhawatiran terhadap risiko dari penciptaan uang tersebut bisa diminimalisir dengan berbagai kebijakan yang tepat dan ketat. Uang yang saat ini menjadi salah satu komoditas perdagangan internasional memiliki dua dimensi utama yaitu dimensi input sebagai pencipta nilai intrinsik uang dan dimensi permintaan uang sebagai pembentuk nilai nominal uang yang berlaku di pasar.
Kedua dimensi ini menjadi sandaran utama dalam penciptaan uang. Pada jaman dahulu penciptaan uang kertas selalu dijamin dengan cadangan emas. Hal ini dilakukan untuk menjamin nilai uang ketika uang tersebut "tidak laku" di pasar sehingga nilainya tetap konstan tidak terkena inflasi. Namun saat ini tidak banyak negara yang mempraktikkan hal ini secara formal. Mungkin hanya Swiss yang masih mempraktikkannya dengan selalu mencadangkan emas dalam setiap pencetakan uang. Walaupun demikian, negara-negara besar seperti Amerika dan China masih tetap menimbun emas secara besar-besaran guna memupuk cadangan devisa mereka sehingga nilai mata uang mereka tetap kuat.
Dimensi yang kedua terkait dengan sisi permintaan uang. Amerika Serikat seringkali menciptakan uang untuk mengatasi berbagai krisis yang menimpa perekonomiannya. Namun tingkat inflasi di Amerika Serikat masih tetap rendah dan stabil. Hal ini terjadi karena permintaan pasar terhadap dolar Amerika Serikat sangat tinggi. Uang-uang baru yang dicetak selalu terserap pasar sehingga nilainya tetap stabil.
Dengan berkaca pada dua dimensi tersebut maka sebenarnya pemerintah Indonesia bisa mengambil opsi pencetakan uang untuk membiayai defisit anggaran yang saat ini sangat besar jumlahnya. Jaminan emas sebagai jaminan nilai intrinsik uang bisa diganti dengan komoditas berharga lainnya yang dimiliki Indonesia saat ini walaupun belum berwujud namun sudah terbukti keberadaannya (proven) seperti cadangan emas, nikel, dan perak. Berdasarkan cadangan kekayaan tersebut, pemerintah bisa membuat kontrak serah (forward contract) sampai beberapa tahun ke depan. Kontrak ini bisa dijadikan jaminan sebagai pembentuk nilai intrinsik uang baru yang akan dicetak sehingga tidak terkena risiko inflasi.
Dimensi kedua terkait dengan permintaan pasar. Dalam dimensi ini, penciptaan uang harus selalu dibarengi oleh aktivitas kegiatan ekonomi di sektor riil untuk mencegah penurunan nilai uang. Dengan demikian pemerintah harus menciptakan regulasi yang sangat ketat dalam penggunaan uang baru ini. Uang baru yang dicetak ini harus benar-benar diarahkan untuk program-program pembiayaan di sektor riil yang dapat secara langsung mendorong aktivitas perekonomian secara keseluruhan.
Program pembangunan irigasi, penyediaan bibit unggul, dan pupuk berkualitas untuk sektor pertanian, dan bantuan keuangan untuk UMKM menjadi contoh nyata dari program-program yang akan menggerakkan aktivitas perekonomian terutama sektor riil. Dengan bergeraknya sektor riil maka pencetakan uang baru tidak akan menimbulkan inflasi dalam jumlah besar.
Sedangkan untuk kekhawatiran terkikisnya independensi BI, pemerintah bisa menerbitkan regulasi yang membatasi pemberlakuan pencetakan uang ini sebagaimana pemerintah telah mengeluarkan Perpu No.1 Tahun 2020 untuk membatasi kelonggaran defisit. Bahkan sebenarnya pengurangan terbatas independensi BI ini telah terjadi sejak pemberlakuan burden sharing antara pemerintah dan BI untuk secara bersama-sama menanggung beban dalam menghadapi resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Dengan demikian, pencetakan uang bisa menjadi solusi alternatif yang efektif selain utang yang bisa digunakan pemerintah untuk membiaya defisit APBN yang masih besar ini. Namun demikian, pemerintah harus membuat regulasi yang sangat ketat terkait pencetakan uang ini mulai dari jaminan nilai, penggunaan, sampai dengan batasan waktu berlakunya pencetakan uang ini. Dengan langkah-langkah tersebut maka berbagai risiko yang dikhawatirkan tadi dapat diminimalisir secara maksimal dan pada akhirnya tidak diperlukan lagi penerbitan utang baru yang akan menjadi bom waktu di masa yang akan datang.
Agus Herta Sumarto dosen FEB UMB dan Ekonom INDEF
Simak juga 'Sri Mulyani: APBN Defisit Rp 764,9 Triliun':