Sudah cukup lama banyak orang mendukung penghapusan sistem ranking di sekolah. Namun di saat yang sama, yang tua-tua gini malah terus di-ranking-ranking-kan, diurut-urutkan, dalam deretan peringkat-peringkatan. Sialnya, kita kok ya mau saja terus mendengarkan orang-orang yang main peringkat-peringkatan itu.
Sistem ranking di sekolah itu kurang sehat. Setidaknya, begitulah kata para ahli pedagogi. Alih-alih memacu murid untuk mengejar prestasi, yang terjadi malah munculnya labeling bagi anak-anak yang langganan ranking bontot. Belum lagi betapa sistem tersebut mengabaikan latar setiap anak yang berbeda-beda, misalnya strata ekonomi dan pendidikan orangtua mereka masing-masing.
Ketika belakangan saya berkesempatan menjadi semacam "Pak Guru" karena rutin bikin kelas menulis, saya semakin sadar betapa rapuhnya sistem ranking-ranking-an itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para peserta kelas saya latarnya macam-macam. Ada yang mahasiswa, ibu rumah tangga, pedagang online, buruh pabrik, guru SD, ASN kabupaten, pegawai kementerian, juga tentara. Selain itu ada pula kiai, pendeta, dokter, mantan anggota legislatif, petinggi parpol, bahkan mahasiswa-mahasiswa PhD yang sedang mengambil studi di luar negeri.
Tenang, Mas, Mbak. Saya tidak sedang pasang iklan advertorial. Saya cuma mau cerita, dengan aneka jenis manusia seperti itu di kelas saya, tidak mungkin saya membuat ranking-ranking-an untuk mereka. Lha wong titik keberangkatan masing-masing saja tidak sama, kemampuan dasar dalam menulis juga berbeda-beda. Belum lagi terkait tingkat pendidikan, kualitas bacaan selama bertahun-tahun, dan sebagainya.
Anda setuju sama saya, kan? Awas kalau tidak setuju. Nah, kalau setuju, seiring persetujuan kita kepada dihapuskannya sistem ranking di sekolah-sekolah, sudah sewajarnya kita juga meragukan pula model peringkat-peringkatan dalam banyak perkara lainnya.
***
Salah satu hasil pemeringkatan yang pernah dengan sangat ramai kita bicarakan dan kita ratapi adalah kerjaan Central Connecticut State University, lima tahun silam. Dalam laporan mereka, Indonesia nyungsep di posisi nyaris terbawah dalam bidang literasi. Dengan kata lain, literasi Indonesia itu parah banget sampai level sulit tertolong lagi.
Akhirnya, konstruksi wacana yang berkembang tak terkendali adalah Indonesia merupakan salah satu negara terbodoh di dunia. Ya kasarnya begitu, meski sedikit saya lebay-lebay-kan.
Itu tentu saja labeling ngawur. Yang kemudian jadi sering diabaikan dari pemeringkatan produk CCSU Amerika itu adalah bahwa Indonesia bukan ranking kedua dari bawah, melainkan ranking 60 dari 61 negara. Baca baik-baik: "dari 61 negara". Kalau Anda pernah baca kitab RPUL atau Buku Pintar Senior Iwan Gayo, atau setidaknya kreatif sedikit dengan mencet-mencet Google, Anda akan langsung tahu bahwa 61 negara itu cuma kurang dari sepertiga jumlah negara di dunia.
Saya tidak hapal berapa total jumlah negara di zaman Iwan Gayo (karena pada masa itu Yugoslavia belum pecah dan Uni Sovyet masih jaya). Tapi dari Google barusan, langsung terbaca bahwa ada 193 negara yang saat ini diakui PBB, dan jumlah itu pulalah yang dihadapi CCSU pada tahun 2016. Lalu kenapa yang diambil cuma 61, bukan 193? Ya tanya saja sendiri ke mereka. Mungkin anggarannya kurang buat bikin survei ke semua negara.
Tapi apa pun itu, ada hal-hal lain yang jarang kita sadari. Tanpa menyangkal sepenuhnya bahwa literasi Indonesia masih rendah, ketika predikat bontot itu tersebar luas, bukan energi positif dan semangat membaca yang kemudian menggeliat. Yang bangkit justru perasaan sebagai pecundang, sembari seolah mengabaikan fakta bahwa banyak sekali pegiat literasi yang terus berjuang sampai ke pelosok-pelosok desa, penulis-penulis baru yang bermunculan dan buku-buku bagus yang terus diterbitkan, juga semangat belajar pada anak-anak muda yang tak lagi gampang dipadamkan.
Terdengar heroik sekali kan saya ini? Ya memang, sini tuh anak positif, je. Itu belum lagi kalau mau bercerita tentang betapa ganjilnya meletakkan beberapa negara tetangga pada peringkat jauh di atas Indonesia, padahal bisa kita buktikan di lapangan bahwa bacaan-bacaan kita jauh lebih variatif dan jauh lebih merdeka daripada negara-negara yang penuh kekangan dalam demokrasi abal-abal itu.
Itu baru satu kasus. Dan kemarin muncul kasus yang lebih gres lagi, yaitu Microsoft yang meletakkan Indonesia pada posisi buncit dalam peringkat kesopanan berinternet di lingkup Asia Tenggara.
***
Saya tahu, bobroknya perilaku kita dalam menggunakan internet tidak perlu disangkal secara total, khususnya saat bermedia sosial. Tapi coba kita lihat sekian aspek yang melatarbelakanginya.
Pertama, Indonesia memang rakus dalam menggunakan media sosial. Ada 160 juta pengguna aktif medsos di Indonesia, menurut data We Are Social dan Hootsuite per Januari 2020. Itu hampir 9 kali populasi Belanda (negara yang konon tersopan sedunia dalam berinternet) dan 28 kali populasi Singapura (negara yang katanya tersopan di Asia Tenggara). Gampang dibayangkan, betapa keriuhan kita itu berlipat-lipat dibanding mereka. Dan jelas, semakin riuh interaksi antarmanusia, semakin banyak peluang celetukan-celetukan ngawurnya.
Kedua, latar sejarah kita memang berbeda. Meskipun pemeringkatan CCSU 2016 sangat bisa kita kritik, kita tahu bahwa masyarakat Indonesia berada dalam strata literasi yang belum mapan. Lalu tiba-tiba internet datang. Ibaratnya, ada puluhan juta orang yang seumur-umur belum pernah pegang buku dan nggak pintar-pintar amat, tiba-tiba mulut mereka dijejali ponsel yang katanya pintar. Apa yang mereka lakukan? Ya, kegagapan. Kedodoran dalam berperilaku di dunia yang sama sekali baru.
Bukan cuma terkait pengetahuan, kegagapan tersebut juga membawa mereka kepada kegagalan dalam membedakan antara ruang publik dan ruang privat. Ruang-ruang digital tanpa sadar mereka posisikan semata sebagai teras tempat mengobrol dengan tetangga, sehingga curhat dan gibah diecer sembarangan, umpatan juga diobral di segala kesempatan. Kita bisa menyimak wajah-wajah mereka yang tiba-tiba tersambar UU ITE, yang meski memang menyebalkan tapi tetap saja sepaket dengan kepolosan yang mengibakan.
Ketiga, latar budaya dan latar budaya-politik yang sungguh berbeda. Anda tahu Thailand yang bertradisi monarki-feodal, juga Vietnam yang berlatar komunis, lalu bandingkan dengan berkah (atau musibah?) jebolnya keran demokrasi yang kita nikmati hari ini. Singapura? Anda yakin mereka demokratis? Kalau Anda berpikir demikian, coba tanya bagaimana tradisi kebebasan berpendapat di sana, kemudian pikirkan sekali lagi.
Masih ada sekian hal lain yang bila kita kuliti akan membawa kita kepada kesimpulan bahwa ketidaksopanan yang melekat kepada kita hari-hari ini bukan semata karena kita sungguh-sungguh tidak sopan. Ada sebab-sebab yang kompleks, sehingga mungkin layak sekali kalau kita menyebutnya sebagai "ketidaksopanan struktural". Kita ini bukan tidak sopan, tetapi "dikondisikan oleh sistem dan struktur sehingga tumbuh menjadi serigala-serigala yang tidak lekat dengan kesopanan"! Hahaha!
Saya paham, sestruktural apa pun realitas ketidaksopanan itu, kita mesti menata semuanya pelan-pelan. Tapi bukan itu poinnya. Yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah betapa amplifikasi atas peringkat sebagai negara tidak sopan tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa, selain labeling macam-macam lagi.
Coba bandingkan dengan beberapa pemeringkatan yang sudah-sudah. Indonesia pernah nongkrong di 10 Negara Paling Kotor Sedunia, 20 Negara Paling Tidak Aman Sedunia, dan entah apa lagi. Jika itu yang terus didengungkan dan diamplifikasi, yang akan terjadi adalah menurunnya jumlah pengunjung, misalnya, karena takut ketika turun di Bandara Ngurah Rai langsung diare atau turun di Soetta langsung kena jambret.
Lebih jauh lagi, sampai-sampai saya membayangkan bahwa peringkat-peringkatan itu semacam orientalisme. Mereka yang konon otoritatif itu meletakkan kita sesuai ukuran-ukuran mereka, menggeser-nggeser posisi kita setiap tahunnya, lalu dari situ "temuan" tersebut diamplifikasi seluas-luasnya. Dan, muncullah efek rupa-rupa. Mulai efek ekonomi, politik, sampai entah apa pula yang lainnya.
***
Lalu, setelah Microsoft menobatkan kita sebagai Netizen Paling Tidak Sopan se-Asia Tenggara itu, saya bayangkan akan ada dialog di sebuah tempat penting. Di Markas Besar PBB, misalnya.
"Wah, ini ada suara keren dari para netijen cerdas ini, Bos. Posisi mereka di Indonesia. Menarik sekali ini, Bos."
"Oh, negara paling urakan se-Asia Tenggara itu ya? Halaaah, cuekin aja. Next!"
Hahaha. Saya memang terlalu penuh imajinasi dan rasa curiga. Tapi nggak apa-apa. Mungkin tak lama lagi kita bakalan tampil sebagai peraih tiga besar di "10 Negara dengan Netizen Paling Curigaan se-Dunia".
Iqbal Aji Daryono warganet sopan, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)