Kegiatan bersepeda saya kemarin sungguh menyenangkan walau lumayan menguras tenaga. Saya minta teman saya untuk menunjukkan rute baru yang agak jauh dari yang biasanya saya lalui ketika bersepeda sendirian. Dalam perjalanan pulang, air mineral saya habis di perjalanan jadi saya membelokkan sepeda ke minimarket dekat tempat kos saya. Saya duduk di kursi yang disediakan untuk orang-orang yang ingin merehatkan badan barang sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
Setengah isi botol air mineral itu sudah berpindah ke perut saya. Sambil mengistirahatkan kaki, saya membuka pesan-pesan masuk yang belum saya buka karena saya sibuk menggowes. Salah satu pesan yang masuk membuat kepala saya nyut-nyutan seketika. Saya memasukkan telepon pintar saya ke tas dan menenggak air mineral lagi. Saya buang pandangan mata saya ke arah jalan raya tempat kendaraan berseliweran.
"Mbak, nuwun sewu, njenengan asli orang sini?" saya dikagetkan oleh seseorang yang tiba-tiba menyapa. Melamun membuat saya tidak sadar kalau bukan saya saja yang duduk di emperan minimarket ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Oh nggih, kalau saya pendatang sih, Mas cuma sudah sebelas tahun tinggal di sini," jawab saya. Ia ber-oh dan mengangguk mengerti. Sebenarnya saya tidak mau melanjutkan percakapan, tapi kok rasanya ngganjel kalau tidak ditanya, mungkin ia butuh bantuan.
"Kenapa, Mas? Ada yang bisa saya bantu?"
Laki-laki muda yang saya taksir usianya sebaya saya atau lebih sedikit itu menunjukkan layar telepon pintarnya sambil bertanya "Mbak tahu tempat ini?" Ia memperlihatkan sebagian percakapan dengan temannya di WhatsApp. Bukan bagian pribadi tentunya, tapi petunjuk dari temannya tentang sebuah tempat. Ia menunjukkan pada saya agar tidak salah mengeja tempat tersebut.
Itu adalah sebuah punden yang tidak asing namanya bagi saya. Saya pertama mendengar nama punden itu dari teman akrab saya, seorang sastrawan Jawa dan mantan wartawan di sebuah tabloid misteri. Dulu ia sering meliput tempat-tempat wingit dan tak jarang diceritakan ke saya. Ingatan kedua saya adalah sebuah cerita misteri di rubrik Alaming Lelembut di Majalah Panjebar Semangat. Meski nama pundennya disamarkan, tapi deskripsinya mirip dengan yang diceritakan teman saya.
"Wah jauh kalau dari sini, Mas. Itu arah lereng Lawu sana. Ada perlu apa memangnya ke sana? Bukan mau ngambil pesugihan kan?" sungguh saya ingin menapuk bibir saya sendiri. Apa urusannya saya bertanya begitu. Sudah sok tahu, tidak sopan lagi.
Baru saja saya mau minta maaf, si Mas itu menjawab pertanyaan saya dengan cepat. "Loh, Mbak tahu soal pesugihan di sana?" ia terkejut, diam sebentar lalu meneruskan bicara, "Memang rencananya saya mau ambil pesugihan. Mbak boleh tertawakan saya, tapi saya sudah pusing mau bagaimana lagi."
Ia bercerita bahwa sedang terlilit utang dengan nominal yang tidak sedikit. Keadaan semakin sulit sebab ia di-PHK dari tempat bekerja karena efek pandemi. Ia terancam kehilangan tempat tinggal kalau tidak segera melunasi utangnya. Ia curhat ke temannya bermaksud meminjam sejumlah uang, tapi temannya juga sama sulitnya. Temannya malah menyarankan ia untuk mengambil pesugihan. Tanpa diduga ia menanggapi dengan serius.
Saya bisa merasakan kekalutannya ketika bercerita. Sepertinya kondisinya memang judheg sampai ia butuh orang asing untuk berbagi. Ya, saya paham, banyak orang kesusahan akhir-akhir ini. Sejujurnya saya paham dengan pesugihan yang ia ceritakan itu meski saya tidak yakin apakah jenis pesugihan itu benar-benar ada dan berasal dari sana. Namanya pesugihannya kandhang bubrah. Pesugihan yang membuat pelakunya kaya dan mempunyai rumah besar dan mewah. Tiap bulan Sura ia harus memperbaiki rumahnya walaupun tidak rusak. Tapi sebagai balasannya ketika pengambil pesugihan ini hamil (jika ia perempuan) ia akan selalu keguguran.
Tidak ada pesugihan gratis. Pasti ada tumbalnya. Belum nanti konsekuensi ketika meninggal. Meski sudah zaman digital, saya masih bisa diajak cerita bab klenik semacam itu. Saya dibesarkan di daerah yang unik, tempat banyak santri dan kiai, tapi juga banyak dukunnya. Melihat kiriman sesajen seperti beras kuning, kembang-kembang aneka rupa sudah menjadi makanan saya sehari-hari. Saya sering ditanya apakah rumah saya dengan Mbah Anu ketika saya menyebutkan desa saya. Ternyata Mbah Anu ini terkenal sampai luar daerah.
Maka ketika ada kasus yang viral di Twitter tentang ditemukannya tujuh pocongan yang berisi bangkai ayam dan berbagai sajen serta foto orang yang dikirimi tidak lupa dengan mantranya, saya bisa menebak itu teluh dari orang yang sakit hati. Jenis kiriman memang beda-beda tergantung tujuan orang yang mengirimi. Saya pun merasa terkoneksi ketika baru saja menyelesaikan membaca sebuah novel berjudul Damar Kambang karya Muna Masyari yang bercerita tentang pernikahan anak, tapi malah saya fokus di bagian yang bercerita tentang praktik perdukunan di Madura.
"Saya ingin ambil pesugihan biar tidak usah bayar utang, Mbak," kata Mas tadi.
Saya buru-buru mengoreksi "Loh, jangan, Mas. Kalau ambil pesugihan ya njenengan harus kaya raya tapi tetep bayar utang, jangan malah biar nggak bayar utang. Utangnya sama orang itu dilunasi. Pokoknya hubungan sama orang harus diperbaiki meski tidak selalu akan kembali utuh. Selain soal harga diri, urusan sama orang lain itu lebih sulit. Mending urusan sama Gusti Allah, lebih gampang melobinya."
Dahi Mas itu berkerut sambil manggut-manggut, mencerna omongan saya. Oh, jangan salah paham, saya tidak mendukung atau melarang ia mengambil pesugihan. Saya hanya menggarisbawahi bagian hubungan dengan manusia soal utang piutang. Soal uang memang sensitif, bisa membuat pertemanan dan hubungan keluarga bubrah. Saya suka miris sendiri tentang budaya spall-spill di Twitter, salah satunya tentang utang ini.
Saya pernah melihat tweet sebuah akun yang memperlihatkan tangkapan layar percakapan pribadi dengan seseorang yang nembung utang dan dijawab dengan kasar. Saya tidak tahu persis latar belakang akun itu dan orang yang nembung utang padanya. Yang jelas narasi tweet itu membuat orang-orang menghujat orang yang ingin berutang. Apapun yang dibawa ke media sosial akan menjadi konsumsi dan hujatan publik.
Bagi saya pribadi, orang yang berutang memang hina rasanya, harus menurunkan gengsi dan rasa malu ketika melakukannya. Saya tidak membahas orang yang suka utang karena habit; yang saya bahas adalah orang yang berutang karena kepepet dan memang butuh. Saya hanya tidak sepakat orang menggeneralisasi semua orang yang berutang adalah orang yang hina. Tidak semua dikaruniai keberuntungan untuk tidak berutang. Kita tidak tahu kapan kita kepepet.
Memang banyak hubungan pertemanan dan keluarga jadi bubrah karena urusan utang, tapi ada juga pertemanan yang justru tambah awet karena budaya saling meminjami. Tentu saja dengan catatan orang yang berutang ini selalu menjaga kepercayaan dan yang diutangi juga santai saja.
Saya sendiri juga kadang masih meminjam dan memberi pinjaman. Tetap ada sedihnya ketika yang meminjami menanyakan uangnya. Bukan salahnya dan memang haknya, tapi tetap di hati rasanya ngilu, kenapa saya belum bisa membayarnya. Tidak kalah ngilu ketika ada yang meminjam uang karena ia benar-benar butuh, tapi saya tidak bisa meminjami. Begitulah nasib penulis yang masih mendapat predikat kaya seketika dan miskin segera. Ha-ha.
Saya sampai punya dendam pribadi, kalau saya kelakon jadi orang kaya raya, saya akan memudahkan orang-orang kepepet butuh ini mencari bantuan dan tidak akan menagihnya.
"Mbak, matur nuwun obrolannya. Saya tak-lanjut jalan nggih," Mas itu mohon diri. Saya mengangguk dan menyilakan. Semoga ada jalan terbaik buatnya.
Saya membuka telepon pintar saya untuk membuka pesan yang masih saya abaikan tadi. Pesan yang sempat membuat kepala saya cenat-cenut. Seorang teman yang menagih tulisan pada saya untuk ia unggah sore pada hari itu. Tentu saja sambil ngomel-ngomel karena saya tidak segera melunasi utang tulisan saya kepadanya, tapi malah sibuk sepedaan. Sial, saya lupa menyembunyikan nomornya pada pengaturan status WhatsApp saya.
Saya memang mumet karena merasa sedang buntu, sebelum saya bertemu dengan Mas tadi.
Wis gak usah cerewet. Dua jam lagi tak kirim. Saya kirim pesan itu kepadanya. Urusan tulisan telat itu sungguh bisa mem-bubrah-kan pertemanan kami. Ah, andai Mas tadi tahu bahwa saya juga mumet karena ditagih utang, mungkin ia akan mengajak saya bareng-bareng mengambil pesugihan.
Mendungan, 20 Februari 2021
Impian Nopitasari penulis cerita berbahasa Indonesia dan Jawa, tinggal di Solo
Saksikan juga 'Kades di Cianjur Korupsi Dana Desa Buat Bayar Utang Pribadi':