Judul buku: Eksis: Berpikir Jernih dan Jadi Diri Sendiri; Penulis: Wahyu Raharjo; Penerbit: Elex Media Komputindo, 2020; Tebal: xi+224 halaman
Kita hidup di zaman yang penuh dengan godaan. Godaan yang memaksa setiap orang untuk keluar dari dirinya sendiri, menjadi orang lain, memakai sepatu orang lain, menjalani hidup orang lain. Semuanya senapas dengan semakin semaraknya orang-orang yang merayakan hidupnya di media sosial. Apalagi ketika platform media sosial semakin beragam dan penggunanya semakin banyak.
Facebook, Twitter, Instagram hingga TikTok membuat tiap orang makin leluasa untuk memacak apa pun yang ingin mereka ditunjukkan kepada dunia. Di Facebook dan Twitter, orang-orang bisa membuang semua isi pikirannya dalam sembarang kata yang mereka inginkan. Cerita kegiatan sehari-hari hingga aib rekan kerjanya. Atau, kita bisa hanya menjadi silent reader, tetapi diam-diam selalu tergoda untuk mengikuti berbagai topik obrolan yang sedang viral, dari gosip selebriti atau sekadar menyimak kegiatan bongkar aib sebuah akun--spill the tea.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap orang juga bisa memilih untuk hanyut dalam foto-foto para selebgram hasil rekaan filter. Atau sekadar iseng menengok kegiatan orang yang kita follow di Instastory. Jika hidup sudah terlalu penat, tiap orang juga berhak untuk mengekspresikan dirinya dengan membuat video joget lucu di TikTok.
Namun, apakah distraksi semacam itu yang sebenarnya kita inginkan? Apakah terkadang pelarian seperti semu belaka? Hiperealitas yang membengkokan pandangan kita? Kita jadi seperti menyelam dalam air keruh ketika disodori pertanyaan: siapakah kamu?
Ketika kita sedang asyik keluar dari diri sendiri, pertanyaan soal jati diri menjadi terkesan tidak menarik. Refleksi jadi obrolan klise yang kita anggap mestinya hanya menjadi santapan kaum bijak bestari. Namun, Wahyu Raharjo tertarik untuk mengulas obrolan tentang jati diri lewat bukunya yang berjudul Eksis: Berpikir Jernih dan Jadi Diri Sendiri.
Melalui buku ini, Wahyu berusaha mengajak kita untuk rehat sejenak dari kegiatan 'keluar dari diri'. Dia ingin membantu orang-orang untuk menjernihkan pandangannya saat melihat dirinya sendiri.Dengan bekal wawasannya saat mengenyam pendidikan Magister di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Wahyu memakai sejumlah perkakas filsafat untuk memetakan lagi persoalan jati diri manusia.
Alih-alih memakai bahasa yang jelimet dan terkadang abstrak khas filsafat, ia menulis buku ini dengan bahasa yang ringan saja. Dia seperti hanya ingin menjadi teman mengobrol kita di sebuah kedai kopi.
Pada pembukaan bab, Wahyu menyuguhi kita puisi-puisi pendek yang sarat akan permenungan sekaligus sindiran. Misalnya, dalam salah satu puisi berjudul Kalkulator, Wahyu ingin mengajak pembaca untuk mengingat perubahan pemahaman mereka tentang angka. Bahwa pada masa sekolah dasar dulu, kita menganggap pelajaran berhitung hanya perkara menambah dan mengurangi. Namun, saat dewasa perkara itu tak sederhana lagi. Ilmu berhitung saat dewasa adalah soal beban dan target hidup yang mesti dilunasi.
Selanjutnya, seperti judulnya, buku ini juga sedikit banyak berbicara tentang aliran filsafat eksistensialisme. Mungkin, judul eksis itu diambil dari lema itu. Karena, buku ini juga kerap menukil buah pemikiran para pemikir eksistensialis. Salah satunya adalah SΓΈren Kierkegaard. Gagasan Kierkegaard yang ia paparkan dalam buku ini ialah soal kritik terhadap kerumunan. Tentang bagaimana, di zaman ini, orang-orang dengan mudahnya hanyut dalam arus massa.
Fenomena ketakutan ketinggalan hal-hal ter-update atau yang dikenal dengan istilah FOMO (fear of missing out), menjadi salah satu contoh kasus Wahyu tentang kritik Kierkegaard itu. Kita hanyut dalam kerumunan, hingga nyaris lupa tentang apa yang esensial dalam diri kita. Makna jati diri pun seolah terkikis menjadi sekadar kerumunan massa.
Selain itu, buku ini juga mengajak kita untuk mulai membiasakan diri untuk mengambil jarak yang cukup dalam memandang berbagai hal yang kita lihat. Semata-mata agar pandangan kita terhadap sebuah fenomena tetap jernih alias tak tercemari oleh bias.
Kita diperkenalkan dengan istilah helicopter view. Yakni sebuah cara untuk melihat sebuah fenomena atau masalah dari beragam aspek, sehingga memampukan kita untuk membuat keputusan yang terbaik.
Pembahasan-pembahasan dalam keseluruhan buku ini bisa menjadi renungan ringan. Saya kira, Eksis termasuk buku yang ikut mewarnai tren buku-buku filsafat stoikisme yang praktikal. Seperti misi filsafat stoik, Eksis juga hendak membantu tiap orang untuk menyadari hal yang sering dilupakan: diri sendiri.
Rakhmad Hidayatulloh Permana wartawan
(mmu/mmu)