Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan kondisi terkini kemiskinan di Indonesia. BPS mencatat bahwa kemiskinan Indonesia pada September 2020 kembali melejit ke angka dua digit (10,19 persen). Hal itu disampaikan oleh Kepala BPS Suhariyanto, Senin (15/2) siang melalui media sosial resmi BPS RI.
Sebelumnya, Indonesia dengan susah payah pertama kali mencapai kemiskinan satu digit pada Maret 2018, kemudian kemiskinan terendah menyentuh angka 9,22 persen pada September 2019. Angka kemiskinan mulai meningkat kembali pada Maret 2020 menjadi 9,78 persen. Kini yang terbaru kembali menyentuh angka dua digit setelah tak kuasa menahan goncangan pandemi Covid-19.
Sebenarnya sinyal kenaikan angka kemiskinan ini sudah terendus oleh berbagai kalangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyampaikan pada April tahun lalu bahwa potensi pertambahan kemiskinan akibat pandemi mencapai 1,1 juta orang, bahkan dalam skenario terberat pertambahan bisa mencapai 3,78 juta orang. Hal itu disampaikan ketika awal pandemi dan masih ada peluang ekonomi tumbuh positif. etapi, yang terjadi adalah pertumbuhan ekonomi mengalami pertumbuhan negatif pada 2020 (-2,07 persen).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan penyampaian Menkeu Sri Mulyani, di saat yang tidak terlalu jauh waktunya tahun lalu, SMERU Research Institute menyampaikan temuannya bahwa dalam skenario terburuk jumlah orang miskin bisa bertambah mencapai 8,5 juta orang. Hal ini berdasarkan riset yang dihubungkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2020 jika hanya mencapai 1 persen. Bagaimana lagi dengan fakta saat ini bahwa pertumbuhan terjerembab ke minus 2,07 persen.
Kondisi Terkini
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan oleh BPS pada September 2020 lalu mencatat jumlah orang miskin mencapai 27,55 juta orang. Atau, kalau dipersentasekan mencapai 10,19 persen. Jumlah tersebut meningkat sangat besar dibanding sebelum pandemi pada September 2019 lalu yang besarnya 24,79 juta orang atau 9,22 persen. Peningkatannya mencapai 2,76 juta orang selama kurun waktu setahun.
Jumlah itu sebenarnya masih jauh lebih kecil dibanding perkiraan Menteri Keuangan dan riset SMERU Research Institute. Berdasarkan hal tersebut bisa dibilang bahwa upaya pemerintah dengan berbagai program bantuan sosial dan program bantuan usaha serta paket program lainnya berhasil mengendalikan potensi lonjakan kemiskinan lebih besar.
Sementara itu jika kita melihat peningkatan kemiskinan berdasarkan tempat tinggal, terlihat ada perbedaan yang berarti antara masyarakat di perdesaan dan masyarakat perkotaan. Keduanya kompak mengalami kenaikan, namun kenaikan kemiskinan di perdesaan relatif lebih kecil dibanding kenaikan kemiskinan di perkotaan. Orang miskin di perkotaan bertambah sebesar 2,18 juta orang atau meningkat 1,32 persen poin dari September 2019. Sedangkan, orang miskin di perdesaan meningkat sebesar 0,58 juta orang atau hanya sebesar 0,6 persen poin dari September 2019. Setengah dari kenaikan kemiskinan perkotaan.
Kemiskinan di perdesaan yang peningkatannya tidak seekstrem di perkotaan bisa jadi karena anggaran yang cukup besar yang mengalir ke desa. Tahun lalu, dari anggaran dana desa saja yang mencapai Rp 1,2 miliar per desa diinstruksikan untuk dialihkan ke program bantuan sosial. Kebijakan itu membuat masyarakat yang belum dicakup di Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial tunai (BST) serta bantuan bahan pokok, akan dicakup di bantuan langsung tunai dana desa (BLT-DD). Belum lagi bantuan dari prakerja dan bantuan presiden untuk usaha mikro.
Selain itu, yang membuat perdesaan relatif unggul daripada perkotaan karena ditopang sektor pertanian. Sebagaimana disampaikan Kepala BPS RI (5/2) bahwa salah satu sektor yang tumbuh positif di saat sektor lain negatif adalah pertanian. Laju pertumbuhannya mencapai 1,75 persen dengan kontribusi terbesar kedua setelah industri pengolahan, mencapai 13,70 persen.
Meskipun begitu, tetap saja bahwa kemiskinan di perdesaan juga mengalami kenaikan. Masyarakat diyakini masih menahan untuk mengeluarkan uangnya untuk konsumsi. Tidak peduli tentang gizi asal bisa menyambung hidup melihat ketidakpastian di saat mendatang.
Anomali
Sebuah anomali terjadi di masyarakat, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Ada kecenderungan nilai konsumsi rokok meningkat di saat konsumsi makanan pokok menurun. Kontribusi makanan pokok beras terhadap kemiskinan mengalami penurunan, dari 25,82 persen pada September 2019 menjadi 21,89 persen pada September 2020 di perdesaan, perkotaan juga demikian (20,35 persen menjadi 15,58 persen). Hal ini bisa menandakan dua hal, yakni karena harga beras yang relatif stagnan atau memang konsumsinya yang semakin sedikit, bisa juga karena keduanya bersamaan terjadi.
Rokok kretek filter malah mengalami kenaikan kontribusi terhadap kemiskinan. Pada September 2019 kontribusinya terhadap kemiskinan di perdesaan mencapai 10,37 persen menjadi 11,85 persen, sedangkan di perkotaan dari 11,17 persen menjadi 13,50 persen. Hal yang menandakan bahwa harganya meningkat dan konsumsinya juga relatif meningkat. Tentu menjadi sebuah ironi karena sebagian orang rela tidak memenuhi kebutuhan dasar keluarganya demi rokok.
Masih Ada Harapan
Dunia mengakui dan kita juga harus mengakui bahwa kondisi saat ini memang sangat berat. Tidak banyak pilihan untuk mengembalikan kekuatan ekonomi bangsa. Tetapi di sana masih ada harapan. Pemerintah harus menggenjot konsumsi masyarakat. Tentu konsumsi makanan yang bergizi seperti beras yang cukup, telur, daging ayam, dan sumber gizi lain. Serta, konsumsi non-makanan yang sangat mendasar, seperti perumahan, keperluan transportasi, listrik, dan lainnya. Bukannya malah membelanjakan uang untuk konsumsi rokok yang harganya semakin meningkat.
Program pemerintah berupa bantuan langsung tunai perlu diteruskan. Bantuan UMKM serta kredit usaha nol persen juga perlu digenjot. Tentunya semua itu didahului dengan data yang akurat penerima bantuan. Mengumpulkan data terkini memang mahal tetapi akan jauh lebih besar pengeluaran pemerintah tanpa output yang optimal jika tanpa data mutakhir yang akurat.
Misalnya saja saat ini berbagai program bantuan sosial oleh pemerintah sumber datanya berasal dari pendataan tahun 2015 lalu. Sudah berlalu 6 tahun. Yang berarti ada potensi besar bantuan salah sasaran. Memang ada instruksi ke setiap daerah untuk memperbaharui data itu setiap 6 bulan, tapi sayangnya lebih banyak yang enggan karena anggaran memutakhirkan data secara khusus tidak ada.
Bayangkan jika "jatah" orang miskin yang seharusnya diterima dan dimanfaatkan untuk konsumsi kebutuhan pokok diambil oleh orang mampu, kerugian negara akan berlipat. Hitung-hitungan sederhana jika bantuan langsung tunai sebesar Rp 600 ribu diterima oleh 10 persen saja dari jumlah orang miskin dan ternyata itu salah sasaran, maka potensi kerugian akibat penyaluran yang salah mencapai Rp 1,65 triliun untuk sekali terima saja.
Kemensos saat ini sedang proses melakukan pemutakhiran data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Ini harus dikawal oleh semua kalangan. Jika pelaksanaan pemutakhiran terkesan dianggap enteng maka kerugian demi kerugian negara akan semakin besar. Apalagi kalau anggaran untuk kebutuhan pemutakhiran itu malah kembali "dibagi-bagi" oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dwi Ardian Statistisi Pelaksana di BPS Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat
(mmu/mmu)