Koneksi Elektoral dalam Pemakzulan Trump
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Koneksi Elektoral dalam Pemakzulan Trump

Senin, 15 Feb 2021 11:27 WIB
Azriansyah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Saya Presiden yang Tidak Memulai Perang Baru: Pidato Terakhir Donald Trump
Donald Trump (Foto: ABC Australia)
Jakarta - Untuk kedua kalinya Senat Amerika Serikat memutuskan bahwa Presiden ke-45 Donald Trump tidak dapat dimakzulkan (impeached). Keputusan tersebut diambil setelah hanya 57 dari 100 anggota Senat yang menyatakan bahwa Trump bersalah dalam "malapetaka 6 Januari", suatu peristiwa manakala pendukung Trump menerobos masuk ke gedung Kongres menuntut para senator untuk menolak pengesahan hasil electoral college yang memenangkan Joseph Biden sebagai Presiden Amerika Serikat ke-46.

Konstitusi Amerika Serikat menyatakan bahwa presiden dimakzulkan jika terdapat dua per tiga (67 anggota) dari seluruh senator yang setuju bahwa presiden bersalah. Dari 57 senator yang menyatakan Trump bersalah, 50 senator berasal dari Partai Demokrat (termasuk senator Bernie Sanders dan Angus King yang merupakan senator independen) serta tujuh senator dari Partai Republik. Sementara 43 senator lainnya dari Partai Republik menolak menyatakan bahwa Trump bersalah.

Kendati bukti-bukti baru tentang keterlibatan Trump dalam pengerahan massa dipertontonkan dalam persidangan di lantai Senat, namun hal tersebut tidak mampu menggerakkan 43 senator Republikan tersebut untuk memakzulkan Trump. Alhasil, meskipun sejarah mencatat bahwa 57 suara yang menyatakan Trump bersalah adalah suara bipartisan terbesar dalam impeachment, namun sekali lagi para senator Republikan berhasil membebaskan mantan presiden tersebut dari lubang jarum.

Mengapa Trump kembali lolos dari tuntutan pemakzulan? Setidaknya ada dua faktor yang dapat menjelaskan. Pertama, tingginya popularitas Trump di kalangan pemilih dan aktivis Partai Republik memaksa senator dari partai tersebut untuk menolak pemakzulan demi menjaga kans mereka agar terpilih kembali dalam pemilu selanjutnya.

Dalam bukunya yang tersohor dan menjadi bacaan wajib dalam politik Amerika, David Mayhew (1974) mengatakan bahwa motivasi utama yang menentukan perilaku politisi adalah agar dapat terpilih kembali dalam pemilu berikutnya. Inilah yang dikenal sebagai koneksi elektoral (electoral connection). Meskipun didakukan empat dekade lampau, namun klaim Mayhew tersebut masih relevan untuk menjelaskan keputusan 43 senator Republikan tersebut.

Para senator itu khawatir jika mereka menyatakan Trump bersalah, maka Trump akan memobilisasi pendukungnya di tingkat akar-rumput untuk "menghukum" para senator tersebut dengan mengalihkan dukungannya kepada kandidat lain yang pro-Trump sehingga mereka kalah dalam primary Partai Republik untuk pemilu sela (midterm election) pada 2022 mendatang.

Mekanisme primary, atau pemilu internal partai untuk menentukan kandidat yang akan maju dalam pemilu, dikenal sebagai "kuburan politik" bagi politisi moderat baik di Partai Demokrat maupun Partai Republik. Berbeda dengan pemilu reguler yang pemilihnya merupakan masyarakat umum, dalam primary para pemilih terbatas hanya diikuti oleh anggota dan aktivis partai. Konsekuensinya adalah jika dalam pemilu reguler para kandidat mengkampanyekan isu-isu yang moderat untuk merebut suara median voters, dalam primary para kandidat memilih isu-isu yang lebih ekstrem.

Selain itu, peran dari para aktivis partai (internal party organizations) yang sangat ideologis memaksa para kandidat yang bertarung dalam primary untuk menjauhi isu-isu moderat sehingga memperdalam jurang polarisasi antara Partai Republik yang didominasi ideologi konservatif dengan Partai Demokrat didominasi ideologi liberal (Masket, 2009). Itulah sebabnya mayoritas senator Republikan menolak pemakzulan Trump sehingga peluang mereka untuk berkontestasi dalam pemilu yang akan datang tetap terjaga.

Karier politik dari Senator Jeff Flake (Arizona) dan Lindsey O. Graham (North Carolina) bisa menjadi contoh. Flake dan Graham adalah anggota Senat dari Partai Republik yang populer di negara bagian masing-masing. Pada 2016 keduanya kerap melancarkan kritik terhadap Trump baik saat konvensi Partai Republik maupun masa kampanye.

Namun, popularitas keduanya menurun di kalangan pendukung Partai Republik sehingga Flake memutuskan untuk pensiun dan tidak mencalonkan diri lagi sebagai senator pada Pemilu Sela 2018. Flake beralasan bahwa dia tidak akan bisa memenangkan primary Partai Republik karena para pemilih didominasi oleh massa pro-Trump yang tidak menyukai kritiknya terhadap Trump.

Sebaliknya, Graham mengubah strategi politiknya dengan beralih dari seorang pengkritik menjadi loyalis Trump. Keputusan ini membantu menjaga popularitasnya di kalangan Republikan di North Carolina dan membuatnya terpilih kembali sebagai senator setelah mengalahkan Jaime Harrison (kandidat Partai Demokrat) dalam Pemilu 2020 lalu.

Bertolak dari kisah Flake dan Graham tersebut, tak heran apabila tujuh senator dari Partai Republik yang memilih untuk memakzulkan Trump adalah senator yang "aman" secara elektoral. Senator Patrick J. Toomey (Pennsylvania) dan Richard Burr (North Carolina), misalnya, memutuskan untuk pensiun dari Senat dan tidak akan maju lagi dalam pemilu. Senator Susan Collins (Maine), Ben Sasse (Nebraska), dan Bill Cassidy (Louisiana) baru saja terpilih dan baru akan berkompetisi lagi pada Pemilu 2026. Sementara senator Mitt Romney (Utah) baru akan berkompetisi pada Pemilu 2024.

Mengendurnya Komitmen

Faktor kedua yang membuat Trump lolos dari pemakzulan adalah mengendurnya komitmen Partai Demokrat dalam proses tersebut. Politisi Demokrat sebetulnya punya kesempatan untuk melanjutkan proses pemakzulan dengan menghadirkan saksi-saksi baru, terlebih setelah anggota House of Representative dari Partai Republik Jaime Herrerra Beutler memberikan testimoni yang menjadi bukti baru bahwa Trump tidak mengambil tindakan apapun untuk menghentikan massa agar tidak menyerbu Kongres.

Alih-alih meneruskan proses pemakzulan, kubu Demokrat justru memutuskan mengakhiri proses impeachment dengan menyegerakan voting untuk memutuskan apakah Trump bersalah atau tidak. Elite Demokrat khawatir jika proses pemakzulan diteruskan maka hal tersebut akan berlarut-larut dan justru menghambat produktivitas pemerintahan Presiden Biden.

Elite Partai Demokrat sadar bahwa ada hal yang lebih penting dari sekadar memakzulkan Trump, yaitu memenangkan pemilu sela tahun depan. Dalam sejarah politik Amerika, pemilu sela selalu menjadi mimpi buruk bagi partai yang memenangkan pemilihan presiden pada pemilu sebelumnya karena rendahnya partisipasi dan antusiasme masyarakat untuk memilih.

Sejak perang saudara tahun 1861-1865, partai yang menang dalam pemilihan presiden hanya bisa menambah jumlah kursi di legislatif dalam pemilu sela pada tahun 1934, 1998, dan 2002. Konteks politik pada pemilu 1934 dan 2002 adalah negara dalam situasi krisis, depresi besar pada Pemilu 1934 dan Peristiwa 11 September pada pemilu 2002, sehingga partai pemenang pemilu presiden dapat memanfaatkan situasi krisis untuk mendulang dukungan (rally-round-the-flag effect). Sedangkan pada 1998, kinerja ekonomi yang optimal dari pemerintahan Bill Clinton berhasil membantu Partai Demokrat untuk menambah lima kursi di House of Representatives.

Ada dua hal yang menjadi kunci bagi partai pemenang pemilu presiden untuk bisa optimal dalam pemilu sela, yakni kinerja ekonomi yang baik dan opini publik yang positif atas kinerja presiden (Tufte, 1975). Ada satu faktor lain yang juga berpengaruh tetapi jarang terjadi yaitu rally-around-the-flag effect, seperti fenomena 11 September 2001 yang memicu rasa patriotisme di kalangan pemilih sehingga mereka memilih Partai Republik, partai yang memenangkan George W. Bush dalam pemilu presiden tahun 2000, dan memenangkan pemilu sela tahun 2002 (Jacobson, 2003).

Aspek-aspek inilah yang menjadi pertimbangan elite Partai Demokrat untuk mengendurkan tekanannya dalam proses pemakzulan Trump. Kinerja ekonomi yang optimal akan membantu meningkatkan popularitas Presiden Biden dan tentunya akan memperbesar kans Partai Demokrat untuk memenangkan pemilu sela tahun 2022 dan memperkuat kedudukannya di legislatif sehingga unified government di bawah Partai Demokrat bisa menjadi lebih solid.

Situasi krisis karena pandemi Covid-19 menjadi tantangan berat bagi Biden sehingga Biden dan Partai Demokrat harus fokus dalam penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi daripada meneruskan proses impeachment yang jika dibiarkan berlarut-larut justru akan kontraproduktif bagi Biden dan Demokrat dalam menghadapi pemilu sela tahun depan. Pengesahan paket stimulus ekonomi, misalnya, menjadi prioritas dan agar stimulus tersebut dapat disahkan Demokrat memerlukan dukungan dari senator Republikan mengingat Demokrat hanya memiliki keunggulan yang sangat tipis di lembaga tersebut.

Selain itu, seperti Bush pada 2002, Presiden Biden juga dapat memanfaatkan situasi krisis karena pandemi ini untuk mengail dukungan melalui rally-around-the-flag effect. Dengan demikian, kegagalan dalam memakzulkan Trump untuk kali kedua ini sebaiknya dipahami sebagai koneksi elektoral dari senator Republikan dan juga taktik politik Partai Demokrat untuk memperkuat kedudukannya dalam pemerintahan.

Untuk itu, maka pemilu sela tahun 2022 mendatang menjadi penting karena hanya dengan memenangkannya Demokrat dapat memperkokoh unified government sehingga reformasi kebijakan yang menjadi tuntutan konstituen dapat dilaksanakan tanpa hambatan berarti dari Partai Republik. Sekali lagi, diktum Mayhew bahwa koneksi elektoral adalah faktor penentu dalam menjelaskan manuver para politisi kiranya masih relevan dalam menjelaskan laku politik di Amerika Serikat dewasa ini.

Azriansyah kandidat doktor Ilmu Politik di Northern Illinois University, Amerika Serikat dengan konsentrasi di bidang Comparative Politics dan American Government

(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads