Dalam wawancara Lintas Jakarta Sore dengan Pro 1 RRI Jakarta bertajuk Geliat Warung Tegal di Masa Pandemi pada Senin 25 Januari lalu, saya ditanya bagaimana menjalankan bisnis warung tegal alias warteg pada masa pandemi. "Sebelum menjawabnya saya tahan napas dulu," kata saya saat itu.
Bagaimana saya tidak menahan napas? Sejak badai pandemi menghantam sekitar Maret 2020, bisnis warteg turut terkena imbasnya. Kalau saat krisis ekonomi tahun 1998 warteg disebut-sebut sebagai salah satu sektor bisnis yang tahan banting, kali ini ternyata tidak.
Kenaikan Harga
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Naiknya harga kedelai yang mengakibatkan ratusan pengrajin tempe-tahu mogok produksi. Tentu ini berimbas pada ribuan warteg di mana pun. Anda tentu tak bisa bayangkan kan bagaimana mungkin kami melenyapkan tempe dan tahu dari hidangan di warteg? Para pengelola warteg harus memutar otak lebih keras untuk mengakali ini, agar di satu sisi konsumen tetap terlayani, sambil di sisi lain bisa meraih sedikit laba di masa sulit ini.
Saat ini, di Pasar Kebayoran Lama, misalnya, harga-harga cabe keriting, cabe rawit, kol, terong, pare, kangkung masih mengalami kenaikan. Khusus untuk cabe keriting kenaikan terjadi sejak sekitar dua hari terakhir, karena mendekati hari raya Imlek. Penurunan harga paling-paling hanya terjadi pada tomat yang berkisar di angka Rp 6 ribu, setelah sebelumnya menyentuh angka Rp 12 ribu.
Sejumlah media memberitakan, Ketua Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara) Muchroni mengatakan ada sekitar 20 ribu warteg di Jabodetabek akan gulung tikar karena terimbas pandemi. Angka itu kemudian dia klarifikasi. Ia mengakui, memang banyak pemilik warteg kembali ke kampung halaman, tetapi jumlahnya kurang dari 20 ribu warteg.
"Kurang dari separuh pedagang warteg memilih untuk pulang kampung karena pendapatannya terus menurun karena permintaan yang terbatas. Mereka rata-rata dari Tegal dan Brebes," ujar Mukroni, Selasa (26/1).
Oke. Kita bisa berdebat tentang angka tersebut. Tapi, kalau saya boleh berasumsi dengan separuh saja dari angka itu, yaitu 10 ribu warteg, dampaknya juga tak bisa dipandang remeh.
Pebisnis warteg macam saya biasa bermitra dengan satu orang pengelola. Ia biasa membawahi setidaknya tiga orang pegawai di tiap warung. Warung berukuran besar otomatis punya jumlah pegawai lebih banyak. Dengan perhitungan kasar, dengan asumsi si pengelola telah menikah, berarti ada lima orang yang secara langsung menggantungkan hidupnya pada satu warung. Jika si pengelola memiliki satu anak, berarti jumlahnya menjadi enam orang.
Angka tersebut akan bertambah jika pebisnis macam saya yang sudah beristri dan beranak satu turut dihitung. Jadi, total ada sembilan orang yang menggantungkan hidupnya secara langsung pada satu warteg.
Jika 10 ribu warteg itu dipukul rata menjadi sandaran hidup bagi sembilan orang, maka akan muncul angka 90 ribu orang. Ibarat kartu domino, angka itu akan terus berlipat ganda jika keluarga para pengelola dan karyawannya turut diperhitungkan. Tapi, untuk mudahnya kita anggap saja 90 ribu itu sebagai pegangan kita sementara. Angka yang tidak kecil, bukan?
Pemerintah seperti masih tertatih-tatih menyikapi persoalan data ini. Tepat sehari setelah wawancara di RRI itu, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menggelar diskusi dengan Kowantara bersama Paguyuban Pedagang Warung Tegal dan Kaki Lima se-Jakarta dan sekitarnya (Pandawakarta).
Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan UKM Eddy Satriya mengatakan, warteg merupakan salah satu usaha rakyat yang menjadi fokus perhatian pemerintah. Data menjadi langkah pertama yang penting untuk mengukur kebutuhan pelaku usaha makanan tersebut. "Jika data yang dibutuhkan terkait dengan jumlah warteg yang terdampak bisa dikumpulkan dengan cepat dan tepat, maka proses pemberian bantuan akan cepat disalurkan," ujar Eddy dalam siaran pers, Selasa (26/1).
Tentu menjadi pertanyaan, kenapa soal data ini baru dibincangkan saat pandemi sudah berjalan nyaris setahun? Setahun, saudara-saudara! Mengapa hal ini baru dibicarakan tepat sehari setelah RRI menggelar wawancara dengan saya, selaku salah satu pebisnis warteg, dan Ketua Kowantara? Tidakkah ini bisa jadi indikasi bahwa pemerintah kurang serius dalam memberi perhatian pada sektor bisnis "sejuta umat" ini?
Sayudi, pemilik waralaba Warteg Kharisma Bahari, pernah mengatakann pada 2017 bahwa sejak Joko Widodo menjabat sebagai presiden, ia merasakan kemudahan proses pengajuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan sejenisnya. Menurutnya, kemudahan ini tidak dirasakannya di era sebelum Jokowi.
Empat tahun kemudian, ketika COVID-19 menyerang banyak sekali sektor, termasuk warteg, tentu kemudahan yang disebut Sayudi tersebut amatlah dirindukan. Lebih daripada waktu-waktu sebelumnya. Para pengambil kebijakan bisa dengan mudah melihat bagaimana banyak warteg sekarang sepi pengunjung, bahkan pada jam-jam makan, sehingga terancam gulung tikar.
Tapi faktanya, saya dan para pengusaha warteg lain sama sekali belum menerima kemudahan itu. Hal serupa juga dinyatakan Mukhroni. "Itu (KUR) yang sangat urgen sekali," kata dia kepada RRI Pro 1.
Survei Badan Pusat Statistik menyebutkan dampak COVID-19 ke pelaku usaha terasa signifikan. Lembaga itu menggelar survei pada 10 hingga 26 Juli 2020 dan diikuti oleh 34.559 responden. Rinciannya: 6.821 usaha mikro besar (UMB), 25.256 usaha mikro kecil (UMK), dan 2.482 pertanian.
Kata Kepala BPS Suhariyanto, survei ini menunjukkan bahwa Corona memukul dunia usaha dan menyebabkan penurunan pendapatan. "COVID-19 ini betul-betul memukul dunia usaha. Baik UMK maupun UMB," kata dia pada September lalu.
Sebenarnya, setelah sesi saya dan Ketua Kowantara, RRI juga mengundang Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (PPKUKM) Provinsi DKI Jakarta Andri Yansyah. Namun, yang bersangkutan berhalangan hadir.
Empati Pengambil Kebijakan
Masalah ini bisa jadi lahir karena banyak pengambil kebijakan di negeri ini tidak pernah mengalami bagaimana makan secara ekonomis di warteg. Kalau mereka tahu bagaimana bisa berhemat, seperti anak kos misalnya, tentu mereka akan mudah menaruh empati bagi bisnis semacam warteg ini.
Kalau empati itu benar-benar tertanam dalam diri setiap pengambil kebijakan, mereka tentu bisa mengambil kebijakan yang tepat guna dan tepat waktu setelah masalah seperti pandemi datang menghantam. Bukan setelah ada wawancara di RRI, dan bukan setelah pandemi hadir nyaris setahun.
Saya jadi teringat pada Hernando de Soto, seorang ekonom asal Peru, yang pada tahun 2000 menulis Mystery of Capital. Dalam buku itu, de Soto mengatakan bahwa "kemiskinan internasional" telah mengalihkan perhatian dari pencapaian susah payah dari para pengusaha kecil yang telah mengatasi setiap rintangan untuk menciptakan lebih besar kesejahteraan masyarakat di sekitar mereka. Ia mengutuk keras pelabelan pengusaha kecil sebagai penyumbang masalah kemiskinan global.
"Mereka bukan masalah. Mereka adalah solusi," tulis de Soto.
Saya bayangkan, seandainya de Soto ada di Indonesia saat pandemi ini, ia mungkin bakal meneriakkan itu ke telinga para pengambil kebijakan kita.
Frans Pascaries pebisnis warteg di Jakarta
(mmu/mmu)