Datangnya vaksin untuk menanggulangi penyebaran virus Covid-19 di Indonesia belum lama ini diharapkan dapat menjadi angin segar masyarakat menghadapi pandemi Covid-19. Vaksin Covid-19 bahkan digadang-dagang dapat menghentikan pandemi ini yang telah menginfeksi hampir satu tahun di Indonesia dan diharapkan pula dapat mengembalikan kehidupan normal masyarakat seperti sedia kala.
Namun, di awal kedatangan vaksin Covid-19, beberapa pihak lantas mempertanyakan perihal keamanan dan kehalalan vaksin ini. Bagi pihak yang "meragukan" vaksin Covid-19, mereka lantas memilih untuk tidak mau divaksinasi. Padahal pemerintah dan beberapa pihak sadar vaksin terus menggalakkan kampanye vaksin Covid-19.
Terlepas dari pro dan kontra keamanan dan kehalalan vaksin Covid, problem lainnya juga muncul. Problem tersebut tidak lain berkaitan dengan pendataan penerima vaksin. Sebagai negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang besar dan tersebar di hampir seluruh pulau, pendataan penerima vaksin menjadi tantangan tersendiri bagi Kementerian Kesehatan tentunya. Beragam alternatif sumber data penduduk diusulkan oleh beragam pihak pula.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi dalam dari acara "Vaksin dan Kita" yang diselenggarakan Komite Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah Jawa Barat yang ditayangkan kanal YouTube PRMN SuCi, Jumat (22/1) menyatakan sudah kapok menggunakan data Kementerian Kesehatan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Oleh karena itu ia berencana untuk menggunakan data pemilih dari KPU.
Alasan utama penggunaan data pemilih (DPT) karena KPU baru saja menggelar dua hajat besar untuk negara ini, yaitu Pemilu Serentak 2019 dan Pilkada 2020. Dengan alasan ini, diasumsikan data yang terekam oleh KPU adalah data yang paling baru. Rencana ini pun bagai gayung bersambut oleh KPU. Mengutip pemberitaan dari beberapa media nasional arus utama, KPU menyatakan siap membantu Kementerian Kesehatan dengan data pemilihnya.
Memang benar Kementerian Kesehatan bisa saja menggunakan basis data dari pihak mana pun termasuk menggunakan data KPU dengan rasionalisasi bahwa KPU adalah pihak yang memiliki update data terbaru. Namun, ada beberapa hal yang perlu diingat dan menjadi pertimbangan ketika akan menggunakan data KPU. Menurut saya, setidaknya terdapat empat hal yang perlu dipertimbangkan Kementerian Kesehatan ketika akan menggunakan data pemilih dari KPU sebagai basis data penerima vaksin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, data KPU jelas bukan data penduduk, melainkan data pemilih yang memiliki kriteria tertentu. Hal ini akan berimplikasi pada batasan usia penerima vaksin dan kesesuaiannya dengan kriteria daftar pemilih. Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa vaksin akan diberikan kepada masyarakat dengan rentang usia 18 hingga 59 tahun yang merupakan kelompok usia paling banyak terpapar virus Corona. Kelompok usia tersebut menjadi target awal vaksinasi di Indonesia.
Sementara itu, pengembangan vaksin untuk anak-anak masih direncanakan dengan beberapa kandidat vaksin yang ada. Sedangkan, jika berbicara mengenai daftar pemilih, yang dimaksud sebagai pemilih adalah mereka yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah. Dengan kata lain bila ada penduduk yang belum berusia 17 tahun namun sudah menikah, maka ia dapat terdaftar sebagai pemilih.
Jika kita analisis lebih mendalam, untuk kriteria daftar pemilih pertama, yaitu berusia 17 tahun ke atas, maka kriteria ini sesuai dengan ketentuan penerima vaksin Covid. Namun, Kementerian Kesehatan perlu untuk mempertimbangkan ulang bagi pemilih dalam kelompok usia kurang dari sama dengan 17 tahun. Pasalnya, pemilih dengan kelompok usia ini tidak sesuai dengan kriteria batasan usia penerima vaksin Covid-19 yang telah diatur oleh Kementerian Kesehatan sendiri.
Dengan demikian, jika tetap akan menggunakan data pemilih dari KPU, penyortiran pemilih yang sesuai dengan kriteria penerima vaksin perlu dilakukan. Tentunya ini akan menambah kerja Kementerian Kesehatan.
Kedua, hingga sejauh ini data pemilih di Indonesia masih belum sempurna. Sekalipun data pemilih selalu dimutakhirkan dan proses ini selalu masuk dalam rangkaian tahapan pemilu dalam tahapan pencocokan dan penelitian (coklit), faktanya DPT (Daftar Pemilih Tetap) ganda masih saja sering ditemukan di hampir setiap penyelenggaraan pemilu. Problem ini masih ditemukan pada penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019, bahkan Pilkada 2020.
Pada Pemilu Serentak 2019, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menemukan banyak pemilih ganda pada DPT nasional sejumlah 1.013.067 pemilih. Data tersebut merupakan hasil analisis Bawaslu terhadap DPT di 285 kabupaten/kota di seluruh Indonesia dengan total 91.001.344 pemilih (Bawaslu RI, 2018). Sementara pada Pilkada 2020, Bawaslu masih menemukan adanya 25.435 pemilih memenuhi syarat tidak terdaftar di DPT. Sebaliknya 39.113 pemilih tidak memenuhi syarat justru masih terdaftar di DPT. Bawaslu juga menemukan bahwa terdapat 676.030 pendudukan potensial memiliki hak pilih tetapi tidak memiliki dokumen kependudukan.
Memang benar bahwa DPT disusun berdasarkan sinkronasi daftar penduduk potensial pemilih (DP4) Pilkada 2020 milik Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri dengan DPT Pemilu 2019. Namun, temuan Bawaslu di atas menunjukkan bahwa hingga gelaran pemilu terakhir masih terdapat masalah yang cukup krusial tentang daftar pemilih. Dengan kata lain, akurasi DPT hingga gelaran Pilkada 2020 masih menjadi problem besar dunia kepemiluan.
Dengan kondisi data yang demikian, Kementerian Kesehatan perlu memastikan kembali bahwa DPT yang akan dikonversi menjadi data penerima vaksin telah benar-benar sesuai dengan kondisi lapangan.
Ketiga, sekalipun data pemilih dianggap sebagai data paling update, nyatanya jika diteliti lebih jauh DPT Pilkada 2020 belum memotret data seluruh penduduk. Pasalnya, pertama, data DPT Pilkada 2020 hanya memotret pemilih di 270 daerah. Kedua, DPT Pilkada 2020 juga hanya merekam mereka yang memiliki tanggal lahir hingga 9 Desember. Jika ada seseorang yang akan berusia 17 tahun pada 10 Desember, maka ia belum terdaftar dalam DPT Pilkada 2020.
Belum lagi, selama perjalanan waktu dari penetapan DPT hingga saat ini di mana vaksinasi akan segera dimulai masif, data kependudukan terus bergerak. Hal ini tentunya mau tidak mau membuat Kementerian Kesehatan (dan pihak-pihak yang terkait dengan data penerima vaksin) harus dapat melakukan updating data penduduk agar penerima vaksin dapat tepat sasaran.
Pertimbangan terakhir yang perlu diperhatikan oleh kedua belah pihak adalah data pemilih merupakan data yang sangat peting dan strategis. Karenanya perlindungan data pribadi pemilih harus tetap menjadi prioritas utama dalam pembahasan teknis selanjutnya yang akan dilakukan kedua belah pihak.
Langkah ke Depan
Pertimbangan Kementerian Kesehatan menggunakan data KPU sebagai basis data penerima vaksin seharusnya dapat menjadi kritik tajam bagi kinerja pencatatan kependudukan di Indonesia. Pasalnya, pihak yang memiliki "kunci" data kependudukan Indonesia justru tidak diberikan mandat untuk mengelola data penerima vaksin yang merupakan program nasional ini. Begitu pula dengan keputusan penggunaan data KPU.
Dikarenakan (juga) masih terdapat banyak problem tentang data DPT dan diperlukanya sinkronasi teknis oleh Kementerian Kesehatan yang tidak main-main tentunya, data KPU tidak serta merta dapat dianggap sebagai kandidat basis data yang sempurna. Meskipun dengan berbagai kekurangannya, keputusan memilih data KPU ini dapat disebut sebagai blessing in disguise (berkat terselubung), pemerintah khususnya Kemendagri tidak boleh lengah mengenai data kependudukan Indonesia.
Hal ini harus dapat menjadi cambuk perbaikan ke depan. Walau bagaimanapun, seharusnya otoritas basis data kependudukan dapat sepenuhnya merujuk pada data yang dimiliki oleh Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Bukan data turunan lainnya yang juga masih memerlukan banyak perbaikan. Hal ini penting untuk menjadi perhatian bersama, apalagi mengingat data ini akan digunakan untuk program vaksinasi untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari pandemi yang berkepanjangan ini.
Begitu pula ketika sampai pada waktunya data DPT akan digunakan sebagai basis data. Baik KPU maupun Kemenkes harus mempertimbangkan beberapa hal krusial seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Yang paling utama pula, perlindungan data pribadi pemilih harus dijaga dengan benar. Upaya ini perlu untuk dilakukan agar data pemilih yang strategis tersebut tidak bocor dan disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan elektoral berikutnya, misalnya.
Mouliza K.D Sweinstani peneliti politik LIPI