Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang lebih sering disebut sebagai "pembantu" selama ini bekerja tanpa perlindungan hukum yang memadai dari negara. Hubungan kerja antara PRT dengan majikan yang hanya berlandaskan kepercayaan tanpa kontrak tertulis membuat PRT rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi.
Beberapa produk undang-undang yang terpisah dan terbatas mengatur tentang PRT tidak cukup memadai untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang utuh bagi jutaan masyarakat Indonesia yang berprofesi sebagai PRT. Pengesahan RUU PPRT menjadi UU adalah hal yang selalu dinanti oleh jutaan PRT Indonesia yang kerap mendapatkan perlakuan sewenang-wenang oleh majikannya.
Tak Bisa Diabaikan
Berdasarkan data yang dihimpun oleh ILO pada 2015, PRT di Indonesia berjumlah 4,2 juta orang dengan tren meningkat setiap tahun. Jumlah ini termasuk tertinggi di dunia jika dibandingkan dengan PRT di India yang berjumlah 3,8 juta dan PRT di Filipina yang berjumlah 2,6 juta orang.
Tidak adanya UU khusus yang mengatur tentang PRT merupakan wujud pengabaian negara terhadap 4 jutaan masyarakatnya yang bekerja sebagai PRT. Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat bahwa terjadi 1.458 kasus kekerasan terhadap PRT sepanjang 2018 hingga 2020. Data ini menunjukkan kerentanan PRT yang bekerja di ranah privat terhadap kekerasan dan eksploitasi dengan model hubungan kerja yang hanya didasarkan atas kepercayaan.
Sejumlah UU nasional seperti KUHP, UU PKDRT, UU Pemberantasan TPPO, UU Perlindungan Anak, UU Pendidikan Nasional, UU HAM, Permenaker No. 2 Tahun 2015, dan konvensi ILO lainnya yang mengatur tentang PRT secara terbatas dan terpisah belum memberi perlindungan maksimal bagi PRT, sehingga dibutuhkan payung hukum yang mengatur secara komprehensif tentang PRT.
Jam kerja tanpa batas, tidak ada istirahat, tidak ada hari libur, tidak ada jaminan sosial, upah yang rendah, pemecatan sewenang-wenang oleh majikan, hingga kerap menjadi korban kekerasan baik secara ekonomi, fisik, dan psikis adalah situasi tidak layak yang dijalani PRT selama bekerja di ranah privat.
Kondisi ini diperparah dengan hak dan kedudukannya sebagai PRT yang diabaikan dalam UU Ketenagakerjaan. Padahal sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945, PRT juga berhak untuk bekerja, memperoleh imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Ketika terjadi perselisihan antara PRT dan majikannya, cara yang ditempuh adalah cara-cara "kekeluargaan" yang tidak mendatangkan keadilan bagi PRT. Akses terhadap mekanisme penyelesaian perselisihan kerja seperti pengadilan industrial sebagaimana diatur dalam UU No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak dapat dijangkau oleh PRT sebagai pekerja sektor informal.
Kondisi ini tidak bisa diabaikan begitu saja. PRT berhak mendapat keadilan dan kepastian hukum dari negara, sehingga percepatan pengesahan RUU PPRT adalah suatu keharusan.
Standar Internasinal
Perlindungan PRT dalam RUU PPRT berlandaskan asas pemenuhan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia atas dasar kesetaraan gender tanpa diskriminasi. RUU yang terdiri dari 14 bab dan 30 pasal ini tidak hanya mengatur hak dan kewajiban PRT, tetapi juga mengatur hak dan kewajiban majikan yang dalam RUU ini disebut sebagai pengguna jasa PRT (PJPRT), serta mengatur hak dan kewajiban agen penyedia PRT atau dalam RUU ini disebut sebagai Lembaga Penempatan PRT.
Jam kerja PRT yang tidak terbatas, oleh RUU ini dibatasi menjadi maksimal 10 jam sehari dengan waktu kerja fleksibel sesuai kesepakatan antara PRT dan PJPRT. RUU ini juga mengatur mengenai waktu istirahat bagi PRT baik waktu istirahat antar jam kerja, harian, mingguan, hingga tahunan. Waktu istirahat tahunan bagi PRT wajib diberikan sekurang-kurangnya 12 hari setelah si PRT bekerja selama 12 bulan berturut-turut.
Mekanisme penyelesaian perselisihan antara PRT, majikan, dan agen penyedia PRT juga diatur sedemikian rupa, penyelesaian dengan cara musyawarah mufakat, melibatkan ketua RT/RW dan/atau perangkat desa setempat, hingga penyelesaian melalui jalur hukum. Pengakhiran hubungan kerja juga diatur dalam RUU ini, sehingga majikan tidak dapat sewenang-wenang menghentikan PRT. Pelaksanaan dari ketentuan-ketetuan ini juga dilengkapi dengan sistem pengawasan yang dilakukan oleh oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan dengan aparat kelurahan/desa, Ketua RT/RW setempat.
Pengaturan-pengaturan dalam RUU tersebut setidaknya telah sejalan dengan standar internasional perlindungan PRT yang diatur dalam Konvensi ILO maupun konvensi non-ILO lainnya. Sayangnya, RUU ini tidak menyebutkan upah minimum bagi PRT, sistem pengupahan dalam RUU ini diserahkan kepada pemerintah daerah untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah.
Mendorong Pengesahan
Hasil survei Ramirez-Machado pada 2003 menunjukkan bahwa di antara 60 negara terdapat 19 negara yang mengatur tentang pekerjaan rumah tangga, dan terdapat 19 negara yang mengatur tentang pekerjaan rumah tangga di dalam UU Ketenagakerjaan negaranya (Publikasi ILO, 2006)
Afrika Selatan menjadi role of model bagi negara lain dalam memberikan perlindungan khusus bagi PRT. Salah satu ciri penting sistem pengaturan PRT di Afrika Selatan adalah bahwa semua majikan yang memperkerjakan seorang PRT selama lebih dari 24 jam per bulan harus mendaftarkan pekerja tersebut kepada Departemen Tenaga Kerja, sistem pengupahan dengan upah minimum sektoral, dan para PRT dapat membawa kasus-kasus dugaan pelanggaran atas ketentuan sektoral kepada pengadilan industri yang disebut Komisi Rekonsiliasi, Mediasi dan Arbitrase, serta (Publikasi ILO, 2006).
Untuk kawasan Asia Tenggara, Filipina menjadi negara pertama yang memberikan perlindungan khusus bagi PRT, yaitu pada 2012 yang diatur dalam "Batas Kasambahay". Peraturan tersebut memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak PRT dan menggolongkan PRT sebagai pekerja sektor formal dengan sistem pengupahan upah minimum.
Sistem pengupahan minimum yang diterapkan baik di Afrika Selatan maupun di Filipina terbukti meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat yang berprofesi sebagai PRT di negaranya. Indonesia hendaknya dapat berkaca kepada kedua negara tersebut, sehingga kelak dalam sistem pengupahan PRT dilakukan dengan sistem pengupahan upah minimum yang disesuaikan dengan waktu, jenis dan beban kerja yang dilakukan PRT sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Sistem pengupahan seperti ini sesuai dengan Teori Keadilan John Rawls, yang menyatakan bahwa "prinsip keadilan sosial adalah memberikan hak-hak dan kewajiban dengan menentukan pembagian keuntungan dan beban kerja sama sosial secara layak". (Rawls, 2011).
Meski RUU PPRT telah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021, disahkan atau tidaknya RUU ini menjadi UU sangat bergantung pada political will dari pemerintah. Untuk itu kita sebagai masyarakat harus tetap mengawal dan mendorong pemerintah untuk segera mensahkan RUU PPRT sebagai wujud tanggung jawab negara kepada seluruh warga negaranya tanpa memandang status pekerjaannya.
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini