Sebagai orang kampung dari Rote, keseharian saya di masa kecil berurusan dengan hewan-hewan di padang, seperti kuda, kerbau, kambing, dan sapi hutan, bahkan kalajengking. Pengetahuan turun-temurun membuat kami tahu cara menghadapi berbagai jenis hewan agar bisa akrab tanpa membahayakan hidup.
Ketika mendekati kuda jangan berdiri di belakang sejajar dengan posisi kedua kakinya. Asal tahu saja, tendangan kuda dengan kedua kaki belakangnya amat mematikan. Sebaliknya, mendekati kerbau berdirilah persis di belakang sebab sepakannya selalu ke samping arah depan. Atau kalajengking dapat ditangkap dengan menjepit persis di bagian ekornya yang menekuk, jangan coba menyentuh ujungnya yang runcing.
Para pawang kerap terlihat asyik bermain dengan binatang-binatang berbahaya seperti ular cobra, singa, harimau, dan lainnya. Mereka sungguh paham betapa mematikannya hewan-hewan itu. Namun, karena mengenali karakter mereka tahu cara "bermain bersama" tanpa membahayakan diri.
Virus corona yang popular sebagai Covid-19 juga sejenis makhluk sebagaimana cobra, kuda, tikus, kecoak, dan semut. Dalam bahasa filosofis, menggunakan kacamata Heidegger, seorang filsuf Jerman, virus adalah "being" atau alam yang menampakkan diri di hadapan kita. Virus ini tidak lain wajah (sejenis) realitas yang menyingkapkan diri. Ia tidak negatif maupun positif. Ia hanyalah "wajah alam" sebagaimana hewan, tumbuhan, bulan, bintang, dan sebagainya.
Bedanya, lantaran ukurannya superkecil, virus tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, melainkan mikroskop. Kita tidak bisa melihatnya menendang, menyengat, mematuk, atau sejenisnya ketika akan menyerang --tahu-tahu sudah kolaps karena ia menggerogoti dari dalam.
Organ tertentu seperti paru-paru, jantung, ginjal, hati, lambung, dan lainnya merupakan habitatnya. Virus tidak bermaksud merusak apalagi membunuh. Ia hanya melakukan apa yang harus dilakukan agar hidup dan berkembang. Seperti juga manusia membunuh ayam atau kambing sebagai menu untuk melestarikan kehidupan.
Sebagaimana semua makhluk di alam, virus juga memiliki strategi alamiah untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Ia memiliki mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi ancaman. Karena itu jangan heran bila virus bisa bermutasi, atau mengembangkan "daya imunnya" merespons perlakukan yang mengancam keselamatannya. Itu hukum alam.
Menurut saya, yang paling penting adalah memahami cara virus corona memasuki tubuh dan menginfeksi organ. Sudah umum diketahui Covid-19 masuk melalui air ludah (droplet) saat berbicara, bersin, atau batuk. Bila berkomunikasi dengan orang yang terinfeksi, lalu terkena percikan, kita berpotensi segera terinfeksi juga. Bahkan, bila menyentuh benda-benda di tempat umum, seperti kursi, meja, pegangan tangga, ATM, kendaraan di tempat parkir, waktu bersalaman tanpa diketahui telah terpercik ludah seorang yang terpapar, kita juga berpotensi terjangkit.
Virus menumpang di pakaian, rambut, sepatu, apa saja, dan bertahan beberapa jam sebelum menemukan tubuh manusia untuk dimasuki. Begitu bagian tubuh, umumnya tangan, yang telah bersentuhan dengan droplet, lalu mengucek mata, melap bibir atau hidung, saat itulah virus mendapatkan pintu untuk masuk.
Dengan mengenali sifat-sifatnya seperti itu, sebenarnya "mudah" menghadapi virus ini. Kita dapat membiasakan diri hidup bersamanya sebagai sesama makhluk alam tanpa terinfeksi dan dijadikan menu olehnya.
Para ahli telah mempelajari perilaku virus corona sehingga menciptakan cara ampuh agar terhindar dari serangan mematikannya. Cara cerdas itu dibuat sebagai panduan sederhana yang disebut protokol kesehatan (prokes). Cukup berdisiplin kenakan masker, jaga jarak, jauhi kerumunan, bersihkan tangan dengan sabun atau hand-sanitizer setiap bersentuhan dengan orang lain atau benda-benda publik, sudah akan mencegah kita dari kemungkinan tertular.
Sayangnya, masih banyak orang berperilaku seolah tidak pahami prokes. Mungkin juga berpura-pura tak paham? Pastinya, dampak yang ditimbulkan seperti terlihat, setelah setahun berjibaku melawan makhluk tak terlihat ini, alih-alih berkurang malahan kasus makin melonjak. Hanya lantaran soal sepele, yaitu tidak disiplin menjalani prokes akibatnya bisa fatal.
Saya ingin mengajak Anda membayangkan kota yang terkepung musuh. Aktivitas warga lumpuh. Pemerintah mengumumkan situasi darurat. Warga diperintahkan berlindung di rumah dan setiap orang diperlengkapi senjata agar menghadapi serangan yang setiap saat menghadang. Namun, ada orang yang santai saja, keluar rumah tanpa membawa senjata dan pelindung. Bertingkah seolah-olah situasi normal. Bukankah itu bunuh diri?
Masa darurat pandemi Covid-19 persis seperti kota yang terkepung itu. Dan, perlu diingat bahwa ini bukan sekadar perang kota melainkan perang semesta. Semua umat manusia terlibat didalam perang besar ini sebab musuh tidak kenal sipil atau tentara, kaya-misikin, balita-lansia, percaya Tuhan atau ateis. Siapa pun, tanpa pandang bulu dapat dilahap virus ini.
Dampak serangannya pun amat mematikan, cepat, dan skalanya makin luas. Sikap tidak awas akan memperbesar dampak serangan virus.
Data harian seperti dilaporkan tim penangan Covid-19 terus menaik beberapa minggu terakhir. Pada laman resmi Komite Penanganan Covid-19 diinformasikan peta zonasi pertambahan berisiko tinggi (merah) sangat mengkhawatirkan. Banyak daerah termasuk di luar Jawa cepat berubah dari zona oranye ke merah, dan merah ke hitam (coklat). Dalam metafora perang di atas, perubahan ke zona merah dan hitam itu sebagai tanda keberhasilan musuh memperluas wilayah taklukan. Artinya ruang gerak kita makin sempit.
Beberapa waktu lalu dilaporkan pasien Covid-19 warga Depok meninggal di taksi online setelah ditolak 10 rumah sakit lantaran tidak tersedia lagi tempat. Di berbagai kota rumah sakit-rumah sakit melaporkan kehabisan daya tampung. Di Madiun pemerintah terpaksa menggunakan gerbong kereta api sebagai penampungan (emergency medical train). Jadi, bila terus tidak terkendali dapat dibayangkan bukan hanya krisis penampungan melainkan juga krisis tenaga medis. Bila terjadi akan menjadi bencana mengerikan. Masih ingat tahun lalu Ekuador menghadapi krisis sejenis sehingga mayat-mayat korban Covid-19 terpaksa "dibuang" di jalan tanpa ada yang mau mengurusnya lantaran takut tertular?
Kabar gembiranya adalah sudah diproduksi vaksin. Indonesia pun sedang memproduksi sendiri, namanya vaksin merah-putih. Vaksin berfungsi memperkuat antibodi sehingga tidak dapat dibobol virus. Namun, ternyata virus juga bermutasi. Seolah-olah ia tahu persis manusia sedang membuat vaksin, dan ketika hendak ditembakkan virus menyamar dan menciptakan sistem pengaman. Supercerdas, bukan? Sudah begitu, muncul pula pandangan miring yang mengabaikan penyuntikan vaksin. Ini sikap sembrono lainnya, yang menunjukkan betapa sulitnya warga +62 ini ditertibkan, bahkan ketika menghadapi situasi darurat yang mengancam nyawa kita semua.
Jatuhnya jutaan korban di seluruh dunia bukan semata-mata karena virusnya cerdas, melainkan karena kurangnya kesadaran melindungi diri sesuai prokes. Kita tidak disiplin dan menganggap situasi normal.
Menurut saya, sikap cerdas menghadapi Covid-19 adalah dengan membangun kesadaran personal. Bila setiap orang dengan kesadaran sendiri mentaati prokes, merawat stamina, dan bersedia menerima divaksin, maka tidak ada yang perlu ditakuti dari Covid-19. Perlakukan virus sebagai sesama makluk, namun dengan sikap cerdas menjalankan prokes kita tidak perlu lagi khawatir terinfeksi. Jalani prokes bukan karena takut ada pengawasan dan sanksi pemerintah, melainkan karena kita cerdas, yaitu memiliki pengetahuan tentang sifat dan karakter virus corona. Pengetahuan itu membuat kita paham cara mengakrabinya.
Virus corona memang cerdas. Tetapi, manusia lebih cerdas, bukan?
Semuel S. Lusi peneliti pada Center for Critical Thinking Development-UKSW Salatiga, pendiri Indonesia Menalar