Kudeta Militer di Myanmar

Kudeta Militer di Myanmar

Tjipta Lesmana - detikNews
Senin, 01 Feb 2021 20:22 WIB
Kekhawatiran militer persiapkan kudeta di Myanmar: PBB dan kedutaan asing serukan norma demokrasi dipatuhi
Myanmar (Foto: BBC World)
Jakarta -

Pergolakan politik di Myanmar sudah berlangsung 35 tahun, semenjak tampilnya Aung San Suu Kyi dalam panggung politik negeri itu. Intinya: militer tidak sudi melepaskan cengkeramannya terhadap pemerintahan dan ingin berkuasa terus, melawan arus demokratisasi yang melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia ketika itu.

Suu Kyi perempuan yang cerdas lulusan Oxford University pada 1968. Sempat bekerja bekerja selama 3 tahun di Kantor PBB, Suu Kyi menikah dengan pria berwarganegara Inggris, Michael Aris.

Nama Suu Kyi melambung ke forum internasional setelah memimpin "pemberontakan 8888" pada 8 Agustus 1988 melalui partai politik yang dibentuknya bersama kawan-kawan seperjuangannya, NLD, Liga Demokrasi Nasional. Aksi-aksi demo pimpinan Suu Kyi yang berhasil menghimpun puluhan ribu rakyat membuat regim militer menyerah dan menyetujui penyelenggaraan pemilihan umum. NLD menyapu 81% kursi di parlemen dalam pemilu demokratis pertama di Myanmar. Namun, militer menolak menyerahkan kekuasaan dengan berbagai dalih. Protes berdatangan dari segala penjuru dunia, terutama negara-negara Barat. Dunia hasil pemilu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak saat itu, pimpinan militer Myanmar memberikan "stempel" kepada Suu Kyi sebagai "musuh negara yang paling berbahaya". Oleh regim militer, Suu Kyi pernah dijebloskan dalam tahanan selama 15 tahun, dari 1989 hingga 2010. Namun selama ditahan, Suu Kyi masih bisa mengendalikan partainya untuk terus melawan pemerintahan militer.

Pernikahannya dengan pria berwarganegara Inggris diungkit-ungkit sebagai "jembatan" Suu Kyi bermain mata dengan negara-negara Barat untuk menjatuhkan regim militer Myanmar. Michael Aris sempat diusir dari Myanmar dan dilarang masuk ke negeri itu.

ADVERTISEMENT

Dalam Pemilu 2015, partai Suu Kyi kembali menang mutlak, merebut 86% kursi di Majelis Persatuan. Kemenangan super-majority itu, menurut konstitusi, mestinya memungkinkan Suu Kyi menjabat Presiden atau Wakil Presiden ke-2. Suu Kyi ternyata hanya diberikan jabatan Menteri Luar Negeri.

Kudeta militer pada hari Senin, 1 Januari 2021 pagi memiliki pola aksi yang sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya, yakni pemilu November tahun lalu dituding penuh kecurangan, sehingga militer tidak mau mengakui hasilnya. Dalam pemilu itu, partai NLD meraih kemenangan mutlak.

Melalui pengumuman di jaringan televisi, juru-bicara militer Senin pagi menjelaskan berdasarkan konstitusi baru, militer mempunyai kewenangan mengambil-alih kekuasaan ketika negara dalam keadaan darurat nasional. Partai Suu Kyi, Liga Demokrasi Nasional, melalui Facebook-nya menegaskan pengambilan kekuasaan oleh militer tidak sah, bahkan bertentangan dengan ketentuan Konstitusi. Partai menyerukan rakyat Myanmar untuk melawan tindakan militer itu dan segala upaya militer untuk kembali ke tampuk "Diktator Kekuasaan".

Berita mengenai ditangkapnya Aung Saan Suu Kyi dan sejumlah politisi NLD viral di berbagai media barat, seperti CNN, BBC World News dan jaringan televisi France 24. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengeluarkan kecaman keras dan menuntut penguasa militer Myanmar untuk segera melepas Suu Kyi dan para politisi NLD dan tahanan. Menteri Luar Negeri Amerika mengeluarkan kecaman serupa, dan menuntut supaya regime militer Myanmar menghormati norma-norma demokrasi dan penegakan hukum internasional.

Di kawasan ASEAN, hingga 1 Januari 2021 sore, baru Singapura yang menanggapi kejadian di Myanmar. Pemerintah Singapura menyatakan "grave concern" atas kudeta militer di negara sesama anggota ASEAN itu. Pemerintah Jokowi masih tutup mulut. Jangan lupa, ASEAN memiliki "kode etik" untuk tidak mencampuri urusan internal sesama anggota ASEAN. Ketika pengadilan internasional memenangkan Filipina dalam sengketa 1-2 pulau di perairan Laut Cina Selatan beberapa tahun yang lalu, ASEAN, termasuk Indonesia, juga bungkam karena "kode etik" tersebut.

Kudeta di Myanmar 1 Januari 2021 memperkuat adagium Aristoteles bahwa manusia sesungguhnya insan politikus, insan yang haus akan kekuasaan. Sekali berkuasa, politisi punya kecenderungan untuk berkuasa terus dengan berbagai alasan dan berbagai taktik. Negara kita pun pernah membuktikan kebenaran adagium Aristoteles itu. Pak Harto baru bisa dijatuhkan dari singgasana kekuasaan setelah 32 tahun memerintah; itu pun dengan cara aksi-aksi massal rakyat. Mengapa bisa berkuasa begitu lama? Pemilu yang diselenggarakan setiap tahun 5 tahun, rupanya, penuh manipulasi dengan sistem politik yang dirancang untuk kepentingan penguasa.

Sistem demokrasi kita dewasa ini juga mengundang banyak kritik dan kecaman dari berbagai pihak. Demokrasi kita, tanpa kita sadari, sudah mengarah ke sistem oligarki. Presiden terkesan "terkungkung" oleh kekuasaan DPR, tepatnya oleh sejumlah fraksi DPR; lebih tepat lagi oleh sejumlah pimpinan partai politik yang memiliki banyak kursi di DPR. Wacana Presidential Threshold dan Parliamentary Threshold terkesan hanya untuk kepentingan sempit partai tertentu saja, sekaligus untuk mengeliminir partai-partai kecil dari kursi RI-1 dan RI-2.

RUU KPK pada 2019, misalnya, jelas-jelas merugikan upaya pemberantasan korupsi di negara kita sehingga mendapat tantangan keras dari banyak pihak, termasuk para tokoh agama ketika itu. Toh Presiden terkesan tidak berdaya menahannya. Kenapa? Karena RUU ini mendapat dukungan kuat dari partai-partai koalisi. Sikap para parpol di DPR, tampaknya, didorong oleh "self-interest" mereka terkait masalah korupsi. Mereka tidak senang, bahkan benci terhadap KPK yang terlalu kuat, KPK yang sudah menjelma jadi "super-power", kata seorang mantan Presiden.

Setelah setahun UU KPK yang baru, pemerintah Jokowi menyadari bagaimana "potret korupsi" di Indonesia. Index Korupsi negara kita lompat dari 30 (pada 2010) hingga 40 (2020), naik 2 (dua) point dibandingkan dengan tahun 2019. Menurut Syamsuddin Haris, anggota Dewan Penasehat KPK, kenaikan index korupsi ini membuktikan praktek korupsi memang semakin meningkat. Syamsuddin juga menyatakan korupsi di kalangan partai politik kian marak.

Lha, apa hubungan antara kudeta militer di Myanmar dan praktek korupsi yang semakin marak di negara kita? Korupsi yang terus meningkat tentu akan membuat rakyat marah, karena mereka menyadari uang rakyat yang dirampok pejabat semakin meningkat. Bayangkan, dana bansos untuk membantu rakyat yang tercekik kehidupannya akibat pandemi Corona pun dirampok oleh oknum-oknum pejabat, termasuk Menteri dari partai politik!

Kemarahan rakyat di mana-mana, pada level tertentu, cenderung melemahkan stabilitas politik dan stabilitas pemerintahan. Rakyat Myanmar marah dan nekad melawan tentara bersenjata karena mereka melihat kekuasaan militer yang otoriter dan merugikan rakyat. Akibatnya, stabilitas nasional makin goyak. Dengan alasan stabilitas pemerintahan yang goyah ini pula, maka militer pada Senin pagi mengumumkan keadaan darurat nasional, sehingga militer "terpaksa" mengambil-alih kekuasaan pemerintahan! Tindakan yang PASTI akan membangkitkan perlawanan tambah keras dari rakyat, karena seluruh dunia mengecam tindakan militer Myanmar!

Prof Tjipta Lesmana, Pengamat Politik Internasional

(mae/mae)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads