Workcation. Work and vacation. Bekerja sambil beranjangsana. Bebas melanglang buana. Gaya kerja yang kini banyak didamba. Bahkan jadi bucket list generasi muda. Terutama mereka yang berjiwa merdeka. Ingin tetap berdedikasi, membangun karier tanpa terikat aturan-aturan institusi kerja.
Istilah workcation mungkin masih asing bagi kebanyakan orang. Namun bagi generasi milenial, workcation merupakan kiprah yang diidam-idamkan. Workcation diincar kaum digital nomaden. Kembara digital yang terbiasa bekerja dari mana saja. Mereka hanya butuh koneksi internet memadai untuk mengubah karya menjadi pundi-pundi rupiah.
Workcation adalah style kerja impian. Bekerja sembari liburan. Atau berwisata menikmati berbagai sajian keindahan alam, pesona budaya, hingga hiburan yang menyegarkan pikiran diselingi aktivitas bekerja. Tanpa cemas produktivitas merosot karena tekanan lingkungan, atau terperangkap kemacetan metropolitan.
Workcation adalah iklim kerja yang berbanding terbalik dengan kebiasaan umum di dunia kerja. Tak terikat oleh "hukum 9-5". Aturan harus mengisi absensi sebagai tanda berkantor sejak jam sembilan, dan "haram" meninggalkan tempat yang sakral tersebut sebelum jam lima sore.
Tidak ada catatan sejarah khusus yang merekam siapa pencetus, bagaimana ia dimulai, dan siapa pioner atau penggagas gaya kerja super fleksibel ini. Yang pasti, episentrum popularitas workcation adalah ekosistem digital.
Workcation dan digital nomaden adalah kesatuan utuh. Bila workcation merupakan kata kerja, maka digital nomaden adalah aktor utamanya. Yaitu sebutan kepada para pekerja bidang digital yang berpindah-pindah tempat. Terbang dari satu destinasi wisata ke destinasi wisata lainnya; lintas negara, antarbenua.
Para digital nomaden ini adalah mereka yang membangun gaya dan kultur kerja sembari berlibur. Juga punya pertalian dengan sistem remote working yang semakin luas diadopsi. Kerja jarak jauh. Kerja yang tak harus ngantor, meski punya kantor. Dalam episode Covid-19, populer dengan sebutan work from home (WFH).
Hasil kajian lembaga World Economic Forum menyebut, remote working merupakan satu dari sepuluh tren teknologi yang diadopsi sebagai respons resiliensi umat manusia terhadap krisis Covid-19. Walau tertatih, faktanya, kita semakin terbiasa menerapkannya.
Workcation ala digital nomaden dan remote working yang menjamur diadopsi di tengah pandemi adalah konsekuensi logis dari digitalisasi yang merambah ke berbagai spektrum kehidupan. Laporan anyar LinkedIn bahkan menempatkan lima dari sepuluh bidang pekerjaan dengan pertumbuhan tertinggi, merupakan pekerjaan yang dapat dilakoni secara remote. Baik penuh waktu maupun paruh waktu.
Usai Kristen Gray
Persoalan klasik yang kemudian mencuat adalah respons yang irrelevant. Konsekuensi-konsekuensi dari perubahan yang spontan, tak jarang justru gagal ditangkap. Bahkan disikapi tidak sepadan sehingga menimbulkan ambiguitas.
Contoh paling anyar dalam konteks telaah kita terhadap fenomena workcation dan digital nomaden adalah sikap tegas pemerintah mendeportasi Kristen Gray. Warga negara Amerika Serikat ini dalam setahun terakhir mengaku melakoni peran digital nomaden di Bali. Aktivitas yang lantas diikuti oleh pelanggaran hukum keimigrasian.
Yang menarik kita diskusikan lebih lanjut, bisakah kasus Kristen tersebut menjadi titik balik bagi pemerintah dalam menangkap potensi ekonomi workcation dari para digital nomaden? Kristen, dengan segala kenaifannya, adalah potret bagaimana para digital nomad melihat Indonesia sebagai destinasi.
Di berbagai situs dan jejaring komunitas digital nomad, Bali bahkan selalu berada di ranking teratas paling populer dan difavoritkan. Bali unggul karena beberapa parameter. Seperti biaya hidup, kecepatan internet, dan budaya masyarakat. Saking menariknya, di berbagai platform digital bertebaran konten promotif mengenai kehidupan digital nomad di Bali.
Dari kasus Kristen, pemerintah mestinya berpikir maju. Tidak sekadar unjuk ketegasan, namun merancang visi, bagaimana ke depan mengelola potensi dari fenomena digital nomad ini. Walau bagaimanapun juga, secara ekonomi para digital nomad memberikan benefit yang konkret di sektor pariwisata.
Mereka memang bekerja di Indonesia, tapi bukan mengambil alih lapangan kerja lokal, melainkan membawa pekerjaan mereka dari dunia daring ke kehidupan offline yang memompa denyut ekonomi destinasi-destinasi wisata. Bukan cuma Bali, tetapi berbagai destinasi lain yang tersebar di Indonesia.
Digital nomad ini berbeda dengan impor tenaga kerja asing yang justru merebut banyak lapangan kerja sehingga mengeliminasi peluang pekerja lokal. Bagi para digital nomad, lapangan kerja mereka dari internet. Ekosistemnya ada di dunia digital. Sehingga eksistensi para digital nomad bukan sebuah ancaman di industri tenaga kerja. Sebaliknya, membawa berkah di sektor pariwisata dan ekonomi secara umum.
Estonia adalah pioner dalam menjemput para pengembara digital. Negara di kawasan Baltik, Eropa Utara ini yang pertama kali menerbitkan e-residency sejak 2014.
E-residency pada dasarnya adalah gerbang digital yang dibuka secara inklusif kepada semua warga dunia yang ingin menggunakan layanan dari pemerintah Estonia. Misalnya mendirikan perusahaan, urusan perbankan, hingga perpajakan.
Estonia juga memberikan visa kepada para pemilik e-residency. Sehingga para digital nomad dan remote workers leluasa berada serta beraktivitas di negara tersebut tanpa takut tersangkut masalah keimigrasian.
Pendekatan e-residency ini secara esensial mengikat para turis untuk "menetap". Sebuah langkah cerdas menangkap potensi ekonomi sektor pariwisata global yang sangat dinamis.
Seperti dilansir oleh pemerintah Estonia, sejak peluncuran program itu, jumlah e-residen meningkat melampaui 62.000 orang. Mereka telah mendirikan lebih dari 10.100 perusahaan, dan berhasil menciptakan sekitar 1.700 lapangan kerja. Nilai ekonomi yang diciptakan secara domestik lebih dari Rp 500 miliar dalam lima tahun pertama program berjalan. Sementara penerimaan pajak dari komunitas e-residen terus menanjak hingga 30% per tahun.
Bila Indonesia mengadopsi e-residency, arus pariwisata tentu bakal semakin deras. Bahkan bisa meng-unlock underground economy yang selama ini luput dari catatan. Potensi yang mengakibatkan Indonesia kehilangan banyak peluang di sektor perpajakan, basis PDB, hingga lapangan kerja.
Underground economy tidak melulu aktivitas ekonomi yang sengaja disembunyikan. Namun, dalam konteks masa kini ia bisa terjadi karena belum ada sistem yang menjaring. Itulah salah satu urgensi, mengapa Indonesia mulai perlu merancang peta jalan bagi pengembara digital dan para penikmat workcation.
Jusman Dalle Direktur Eksekutif Tali Foundation dan praktisi ekonomi digital
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini