Di tengah pandemi Covid-19 yang makin tak terkendali, tiba-tiba saja perbincangan tentang digital nomad ramai dibicarakan di media sosial. Gara-garanya, seorang perempuan muda asal AS mencuit di Twitter dan mengajak orang pindah ke Bali dengan iming-iming bisa hidup mewah dan tak perlu bayar pajak.
Lepas dari pro kontra turis asing tersebut, Bali memang sudah lama menjadi magnet bagi kaum digital nomad. Daerah Canggu dan Ubud selalu masuk destinasi teratas yang masuk radar dan direkomendasikan sebagai tujuan nomad.
Menurut indeks Nomadlist, situs yang me-ranking kota-kota di dunia yang banyak dipilih sebagai tempat nomad, selain karena biaya hidup yang relatif murah, dua daerah tersebut juga dianggap layak dan nyaman sebagai tempat kerja jarak jauh (remote work) karena menyediakan internet kecepatan tinggi, lingkungannya aman, dan --ini yang teramat penting-- ramah terhadap orang asing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tentu saja Bali tidak sendirian dalam menyediakan lingkungan yang kondusif dan eksotis bagi kalangan digital nomad. Saat ini banyak kota di dunia sedang adu cepat dalam merebut perhatian mereka. Di ASEAN, kota Chiangmai, Bangkok, dan Phuket di Thailand, serta beberapa kota di Vietnam juga makin agresif dalam menggaet kunjungan pelaku digital nomad.
Kabar terakhir, Thailand sudah hampir rampung membuat aturan visa baru yang disebut dengan smart visa. Dengan visa ini orang asing dimungkinkan tinggal leluasa hingga empat tahun lamanya tanpa perlu izin kerja (work permit).
Pertanyaannya, kenapa banyak negara di dunia seolah berlomba melakukan relaksasi aturan untuk kaum nomad masa kini?
Memahami Digital Nomad
Istilah digital nomad konon awalnya disematkan kepada kalangan eksekutif yang bekerja secara berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di berbagai belahan dunia. Belakangan sebutan ini banyak dipakai (self-proclaimed) oleh mereka yang memilih bekerja dan melakukan perjalanan (travelling) sekaligus.
Jika saat ini karena pandemi masyarakat kita sudah biasa dengan istilah kerja dari rumah (WFH), maka bagi kalangan digital nomad hal tersebut tidaklah cukup. Dengan bantuan teknologi mereka memilih bebas bekerja dari mana saja (work from anywhere), terutama dari tempat-tempat yang dianggap eksotis.
Esensi digital nomad adalah mengawinkan antara pekerjaan dan perjalanan. Kemajuan teknologi telah memungkinkan banyak orang dari berbagai latar belakang profesi bekerja dari tempat yang disukainya. Di lain sisi, kebanyakan manusia juga memiliki gairah primitif yakni keinginan menjelajah tempat-tempat baru di belahan dunia lain.
Boleh dibilang, digital nomad adalah gaya hidup yang menjadi aspirasi sebagian orang; mereka menginginkan kebebasan bekerja tanpa terikat lokasi tertentu (location independent). Bedanya dengan wisatawan biasa, digital nomad tetap bekerja, tapi mereka melakukannya sambil jalan-jalan.
Kenapa fenomena digital nomad marak? Selain karena kemajuan teknologi yang kian memudahkan kerja jarak jauh, sebab utama lainnya adalah adanya perbedaan biaya hidup (living cost) yang mencolok dari satu tempat ke tempat lain di dunia. Dengan penghasilan yang tak seberapa di negara asalnya, seorang digital nomad bisa menjalani hidup bermartabat bak sultan di belahan dunia lain.
Faktor lainnya yang ikut menyumbang berkecambahnya digital nomad yaitu kehadiran maskapai penerbangan berbiaya murah (budget airline) yang berperan meringankan biaya pergerakan orang; dan di sisi lain populernya digital nomad dirangsang dengan semakin longgarnya aturan masuk dan keluar suatu negara. Indonesia misalnya, sejak beberapa tahun lalu sudah memberlakukan kebijakan bebas visa kunjungan kepada warga dari setidaknya 174 negara.
Banyak negara memberikan bebas visa kunjungan kepada warga asing selama 30 hingga 90 hari. Kebijakan yang ramah turis asing inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kaum digital nomad.
Remote Work Visa
Kalangan digital nomad pada umumnya masuk kategori slow traveler yang lebih senang berlama-lama di suatu tempat untuk menikmati keelokan alam serta budaya masyarakat setempat. Jadi dibandingkan turis biasa, para digital nomad menghabiskan waktu tinggal yang lebih lama di sebuah destinasi.
Terlebih di masa pandemi seperti sekarang, tak heran jika para digital nomad diincar banyak negara, sebab rata-rata kunjungan wisatawan yang surut ke titik terendah.
Menurut penelusuran Expert Vagabond, setidaknya sudah ada 16 negara di dunia yang melakukan relaksasi aturan keimigrasian dan memberikan keistimewaan dengan menerbitkan visa khusus digital nomad yang memberikan izin tinggal mulai dari enam bulan, satu tahun, hingga empat tahun lamanya. Ada dalam barisan negara ini seperti Norwegia, Portugal, Spanyol, Mexico, Uni Emirat Arab, Kroasi, dan Republik Ceko.
Selain isu perpajakan, status pekerjaan para digital nomad memang sering menjadi sumber kecurigaan sebagian pihak. Dengan durasi tinggal selama itu, jangan-jangan mereka justru menjadi pekerja ilegal, alih-alih menjadi sumber devisa bagi negara.
Di sebagian negara, untuk memastikan hal itu tidak terjadi, sebagai syarat terbitnya visa digital nomad atau remote work visa, seseorang harus memiliki kontrak kerja di negara asalnya dengan penghasilan minimal 50 hingga 100 ribu dolar AS per tahun.
Berbeda dengan kaum backpacker yang melakukan perjalanan berbiaya rendah, pada dasarnya kalangan digital nomad merupakan kaum profesional yang datang dari beragam latar belakang profesi. Yang mendorong mereka berkelana ke berbagai tempat menarik adalah biaya hidup yang lebih rendah dan bukannya ketiadaan pekerjaan. Jadi bukan digital nomad jika motifnya adalah mencari pekerjaan.
Karena kaum nomaden kontemporer membayar pajak di negara asalnya, tentu saja negara yang menyambut hangat kehadiran mereka harus puas hanya mengantongi pemasukan dari biaya hidup yang mereka habiskan saja: seperti ongkos sewa, makan-minum, dan hiburan.
Tetapi yang penting dicatat, sebagai sebuah gaya hidup kekinian, sudah pasti digital nomad akan dianut semakin banyak orang di masa depan. Siapa tidak mau bekerja tapi rasa liburan bukan?
Karena itu, negara kita, terutama Bali, juga tidak boleh terlambat merelaksasi aturan keimigrasian jika ingin kecipratan rezeki dari kantong kaum digital nomad.
Zainal Hidayat pegiat digital nomad