Anak saya ketika masuk SMA tiga tahun yang lalu menemukan kejanggalan yang mengusik pikirannya. Pada setiap acara di sekolah selalu ada doa. Doa itu selalu dilakukan dengan tata cara agama Islam. Pikirannya terusik. Ia berpikir dengan cara sederhana. "Kalau aku, orang Islam diajak berdoa mengikuti tata cara agama lain, tentu aku akan keberatan," pikirnya.
Ini kebiasaan yang terjadi di mana-mana. Pemimpin doa sebelum berdoa meminta maaf, karena ia harus memimpin doa dalam tata cara agama Islam. Para peserta lain diminta menyesuaikan, atau berdoa menurut keyakinan mereka masing-masing. Sepintas sepertinya tidak ada masalah. Tapi coba kalau situasinya dibalik, orang Islam diminta mengikuti doa dengan tata cara agama lain, apa yang terjadi? Lha, sekadar mengucapkan "selamat Natal" saja sudah jadi keributan, kok.
Yang terjadi sebenarnya bukan doa yang dipimpin menurut tata cara agama Islam saja. Banyak sekolah yang menyelenggarakan ritual berdoa menurut tata cara agama Islam. Siswa berdoa dan membaca ayat-ayat, melakukan serangkaian ritual saat memulai dan mengakhiri pelajaran, dengan siswa-siswa lain yang tidak beragama Islam ikut di situ. Masalah ini pernah disoroti oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika dijabat oleh Anies Baswedan. Ia berniat menghentikan praktik itu. Namun setelah mendapat teguran dari sana-sini, niat itu dia batalkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soal seragam sekolah berjilbab yang diwajibkan, atau bahasa halusnya dianjurkan juga untuk siswa yang tidak beragama Islam adalah soal sejenis dengan soal berdoa terssbut. Ada banyak praktik intoleran dalam hal yang kecil-kecil. Atau bisa katakan, ada banyak praktik intoleran yang dianggap soal kecil.
Kenapa itu bisa terjadi? Sebab utamanya karena rasa hegemoni. Ada cukup banyak orang yang menganggap agamanya unggul, ajaran agamanya lebih baik. Karena itu ajaran agama itu patut diperkenalkan, disodorkan kepada orang lain untuk dipraktikkan. Prinsipnya, kamu tidak akan rugi melakukan ini, karena bagi kamu juga baik. Bahkan ada yang mencari-cari dalih untuk mengatakan bahwa sebenarnya yang kami anjurkan ini juga diajarkan dalam agama kamu. Hanya saja kamu selama ini mengabaikan ajaran agamamu sendiri.
Soal lain adalah pengabaian. Banyak orang yang berpikir bahwa pihak lain boleh diabaikan. Banyak orang dengan terang-terangan menyodorkan ajaran agama, atau mempromosikan untuk pindah agama, dengan mengabaikan eksistensi agama yang dianut oleh orang lain. Perilaku itu dianggap sah saja. Mereka pikir, mereka sedang menjalankan perintah agamanya, yaitu mewartakan kebaikan ajaran agama itu sendiri.
Mereka mengira mewartakan kebaikan ajaran agama itu boleh dilakukan dengan mengabaikan eksistensi agama lain. Dorongan untuk mendapatkan imbalan dari Tuhan karena telah menebar kebaikan sering membuat manusia mengabaikan eksistensi pihak-pihak lain.
Kalau kita telusuri lebih detail akan lebih banyak lagi praktik-praktik intoleransi yang kita anggap sebagai praktik biasa. Pihak-pihak yang jadi korban pun akhirnya kebal, menganggap itu sebagai praktik yang lazim.
Terkait tindak lanjut masalah seragam berjilbab, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim telah memberi keterangan melalui video bahwa penganjuran seragam sekolah yang berciri suatu agama tertentu tidak dibolehkan. Apalagi kalau dianjurkan untuk penganut agama lain. Pernyataannya terdengar sangat tegas.
Masalahnya, apakah itu realistis untuk diterapkan? Praktik-praktik tadi sudah begitu sering dilakukan, sudah dianggap kelaziman. Kalau ada usaha untuk mengubahnya, akan dianggap mengusik sesuatu yang sudah baik. Dianggap menyerang pihak tertentu. Saya skeptis ucapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu akan dijadikan tindakan nyata.
Artinya, soal-soal intoleran ini akan terus berlangsung. Kita sedang melakukan proses pendidikan dengan intoleransi sebagai salah satu materinya.
(mmu/mmu)