Pandemi, Vaksin, dan "Jimat Perang"
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pandemi, Vaksin, dan "Jimat Perang"

Rabu, 27 Jan 2021 16:14 WIB
Akhmad Faozi Sundoyo
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Petugas PPSU Bukit Duri menyelesaikan pembuatan mural yang berisi pesan waspada penyebaran virus Corona di kawasan Bukit Duri, Jakarta, Senin (31/8/2020). Mural tersebut dibuat agar meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan saat beraktivitas karena masih tingginya angka kasus COVID-19. Jumlah kasus harian Corona di DKI Jakarta pada minggu 30 Agustus 2020 memecahkan rekor dan menembus lebih dari 1.100 kasus per hari.
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Pada awal-awal pandemi, saudara saya yang (benar-benar) hidup di desa mengeluh. Masyarakat di desanya terbelah dua. Satu bagian,merasa over 'kebal' Corona. Satunya lagi tampak terlampau jirih Corona. Kegelisahannya itu terlihat begitu jelas saat dia bercerita.

Cerita itu persis sebagaimana senyatanya. Saya berkunjung langsung ke desa tersebut di Imogiri, Bantul. Ada dua masjid di sana. Satu masjid menutup total semua kegiatan keagamaan. Masjid yang lain membuka lebar, tanpa protokol dan proteksi teknis apapun terkait mitigasi Covid-19.

Saya yakin, kondisi di desa itu banyak juga dialami oleh masyarakat di tempat lain. Di lingkungan tempat tinggal saya sendiri sempat terjadi cekcok sengit di grup WA warga, sampai ada beberapa yang walk out dari grup. Serupa ngambeknya anggota sidang yang mulia wakil rakyat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai kawula bangsa ini, saya melihat situasi masyarakat bawah yang terdampak pendemi cukup menggelisahkan. Memang, kegelisahan yang paling telak terkait dengan dinamika perekonomian. Kendati demikian, jika diuraikan lebih tlesih lagi, akan ditemui dimensi-dimensi kegelisahan yang lain --yang justru lebih menghujam-- yaitu "perang prasangka" yang sudah masuk pada tataran disrupsi.

Tak jauh beda dengan apa yang terekam di level bawah, bahkan mungkin lebih tak keruan, justru situasi yang bergolak di lapisan atas: birokrasi dan teknisi ahli. Kebijakan resmi pemerintah (baik pusat maupun wilayah) dan pemahaman masalah oleh para ahli berubah-ubah secara nyaris konstan. Selain argumen mereka yang memang sudah terbiasa rapi dan kenes, pada praktiknya mereka seperti pemula: kurang mendalam dan gugupan.

ADVERTISEMENT

Hal itu wajar, karena pandemi memang fenomena baru. Kendati demikian, kendali ketenangan sikap dan kejernihan pikiran tidak boleh dilingsirkan.

Mulai Terbiasa

Seiring waktu, pandemi memiliki hukum sosialnya sendiri. New normal benar terjadi. Perlahan-lahan warga mulai terbiasa dengan masker dan cuci tangan bersabun. Di pintu-pintu masuk instansi publik berdiri penembak suhu. Mereka memberikan perkenan masuk ketika orang-orang sudah terketahui suhu badannya: di bawah 37,3 derajat Celcius.

Walaupun kebanyakan berisi cerita agak pilu, tetapi semua berjalan sebagaimana biasa. Hidup terus berlanjut. Anak-anak terbiasa bermain sambil belajar daring, pekerjaan beradaptasi sebisa mungkin, beberapa hajatan berlangsung kembali.

Dalam keberlangsungan habitus masa pandemi ini, terdapat satu arus problematis yang masih belum kunjung melambat. Yakni ketegangan antar anggapan atau lalu lintas prasangka yang saya maksud. Setiap orang di masa-masa ini secara kreatif --yang kadang ilusif-- saling memproduksi dugaan: "jangan-jangan ia membawa virus, jangan-jangan..."

Dugaan-dugaan tersebut bersaling-silang antarsatu liyan dengan liyan lain, yang tak jarang lantas berbuah cekcok, adu ngotot, bahkan dendam.

Ketegangan halus karena duga-menduga itu kemudian meledak, mencapai kulminasinya saat ada salah satu tetangga yang positif Covid-19. Menyalahkan dan menyilakan bersilangan kembali. Suasana menjadi semacam fiksi perang dingin.

Gayung bersambut, perang dugaan tersebut berlanjut ketika mengemuka kebijakan vaksinasi oleh pemerintah. Seiyanya terdapat lima jenis vaksin yang akan digunakan. Dari lima jenis itu, baru vaksin Sinovac atau vaksin COVID-19 yang diproduksi oleh Sinovac Life Science, perusahaan farmasi asal Beijing, China,yang sudah tersedia dan siap disebarkan ke masyarakat. Ada yang curiga dengan vaksin, ada yang menaruh harapan besar.

Terlepas dari hasil baik yang masih kita tunggu terkait program vaksinasi tersebut, disrupsi dugaan dan keresahan masyarakat perlu dikelola terlebih dahulu. Setidaknya pada level masing-masing diri (sendiri).

Bola Salju

Siuasi pandemi yang tak kunjung reda memiliki jalur "bola salju" permasalahan yang semakin hari semakin bercabang. Potensi dan praktik koruptif dana bansos, transparansi data dan penangan pasien Covid-19 di RS, kecemburuan sosial pengetatan protokol kesehatan di kerumunan, masa depan anak didik daring, utang yang menumpuk, adalah sedikit contoh dari menggelindingnya bola salju pandemi.

Sedangkan, peredamnya cuma satu: patuhi protokol kesehatan. Saya yakin ini belum cukup memadai untuk menahan laju ekses pandemi, khususnya pada level psikologis dan kesadaran. Ketahanan kesadaran mestinya diperhatikan. Selain tentu saja energi keimanan yang banyak dihujamkan, kita butuh rasionalisasi praktik strategis. Sejenis vaksin kesadaran yang menguatkan benteng imunitas psikologis pada masing-masing orang.

Ki Ageng Suryomentaram mengenalkan saya pada kawruh begja, yakni satu pengetahuan metodis tentang kebahagiaan yang kokoh, mendasar, dan rasional. Kawruh ini dapat menghadirkan satu nuansa rasa tatag atau kebal terhadap kabut prasangka (dari luar dan di dalam diri). Bagi saya, kesadaran semacam ini sangat dibutuhkan di situasi chaos-ing-raos pandemi.

Di antara bab dari kawruh begja adalah apa yang disebut "jimat perang". Satu prinsip yang konon dikemas Bung Karno menjadi energi pidatonya: "merdeka atau mati!"

Sosok putra Hamengkubuwana VII yang menolak gelar kepangeranannya itu melihat bahwa lemahnya mental suatu bangsa saat menghadapi krisis --termasuk pandemi sekarang ini-- disebabkan oleh hilangnya jimat perang yang ada pada dirinya. Tanpa jimat ini, seseorang akan sangat mudah merasa takut dan enggan untuk bergerak menjalani hidup dengan penuh optimisme dan vitalitas tinggi. Akibatnya, mereka tercengkeram "ketakutan" dan "kegelisahan" berlapis-lapis.

Jimat perang ini adalah raos wantun pejah atau rasa berani mati. Rasa tersebut bukan berarti "nekat" atau keberanian yang asal maju saja, tetapi lebih pada pandangan yang jernih untuk tidak terlalu lekat dengan harapan hidup: menolak fakta kematian sebagai kepastian.

Raos wantun pejah dapat dilihat misalnya pada para sukarelawan garis depan dalam penanganan pandemi ini. Para tenaga medis, para jurnalis, serta segenap aktivis yang tangkas melandaikan kurva paparan Covid-19. Raos wantun pejah, atau jimat perang ini, akan dapat mengurangi sampai kadar terendah atas pesimisme, depresi, bahkan "kehendak menyalah-nyalahkan" dalam diri masing-masing.

Jimat perang memberikan imunitas psikologis berdosis tinggi terhadap krisis yang dihadapi. "Urip ya becik, mati ya apik," tutur Ki Ageng Suryomentaram. Pandemi ini ibarat perang, hanya bisa lingsir ketika kita meneriakkan kata "lawan!" Bukan dengan tangan terkepal dan pecicilan, tapi melalui ketenangan, ketegaran, dan kejernihan pikiran.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads