Berbagai template "Saya Siap Divaksin" bertebaran di dinding akun media sosial kolega-kolega saya. Beberapa situs di internet pun tak mau kalah menyediakan template gratis bagi yang mau mengunduh. Entah siapa yang memulai. Tiba-tiba banyak yang menjadi "humas" dadakan mengampanyekan kesiapan divaksinasi.
Sependek yang saya amati, para tenaga kesehatanlah yang pertama kali membuat template tersebut termasuk para dokter dan perawat-perawat yang masuk pada kloter pertama vaksinasi. Selanjutnya diikuti Badan Usaha Milik Negara, instansi pemerintah, hingga masyarakat umum. Yang pasti template tersebut mulai marak pasca Presiden Jokowi disuntik vaksin Sinovac di Istana Merdeka bersama sejumlah tokoh dan perwakilan unsur masyarakat, termasuk para artis papan atas Tanah Air pada Rabu (13/1).
Fenomena viralnya status dengan template gambar mengajak orang untuk siap divaksin tersebut menjadi penghibur di tengah dialektika vaksinasi dari sejak pemesanannya hingga pasca penyuntikannya, hingga kini. Tak mulus sebenarnya program vaksinasi ini, meski gratis. Banyak pihak masih mempertanyakan vaksinasi yang akan disuntikkan ke badan mereka ini nantinya.
Tercatat sejak pemerintah mewajibkan rakyat akan disuntik vaksin COVID-19 merek Sinovac tersebut merujuk Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, timbullah pro dan kontra. Ada suara yang menolak divaksin karena meragukan proses uji klinis dan efikasi dari Sinovac. Tak kurang Anggota Komisi IX DPR Fraksi PDIP Ribka Tjiptaning menolak divaksin karena masih meragukan keamanannya. Bahkan ia rela membayar denda hingga lima juta rupiah sekalipun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di samping itu disuntik vaksin juga dianggap sebagian pihak adalah kerelaan dengan alasan kalimat pertama Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 menyatakan bahwa kesehatan itu hak asasi manusia. Artinya kalau hak itu artinya harus diberikan kepada kita alih-alih diwajibkan.
Namun, akhirnya diinformasikan bahwa vaksin Sinovac telah mendapatkan emergency use authorization (EUA) dari BPOM setelah melalui uji klinis III di Bandung, hasil efikasinya 65,3 persen. Setali tiga uang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun menjawab keragu-raguan masyarakat muslim akan status vaksin Sinovac dengan fatwa halalnya.
Namun, pasca penyuntikan Presiden Jokowi, muncul lagi keraguan segelintir orang. Mulai dari posisi penyuntik yang gemetar hingga akhirnya suntikan tidak tegak lurus mengakibatkan masuknya vaksin ke daging tidak benar, dan menuntut sang Presiden disuntik ulang, hingga dugaan yang disuntikkan hanya berisi vitamin saja.
Tak hanya itu, para netizen pun menyoroti artis Raffi Ahmad yang bebas berkumpul dengan teman-teman artis lainnya pada malam hari pasca penyuntikan vaksin tanpa masker dan tak berjarak layaknya standar protokol kesehatan. Imbasnya luar biasa sebagai publik figur dengan jutaan pengikut. Bisa sia-sia program vaksinasi. Padahal Istana memilih Raffi sebagai penerima kloter pertama vaksin, harapannya biar penggemarnya mengikuti sang idola.
Pada titik ini, saya memandang template "saya siap divaksin" yang dibuat para "humas dadakan" cukup positif terkait dinamika pasca vaksinasi. Terpaan banyaknya template "saya siap divaksin" menjadi efek domino yang menular ke banyak kalangan untuk mengikutinya. Terlepas nantinya hanya ikut-ikutan dan biar kekinian dengan update status foto termanis dan terbaiknya. Yang pasti, imbasnya signifikan, karena hal yang viral menjadi lazim laris manis di dunia tak bersekat saat ini.
Misinformation
Ada satu hal lagi yang harusnya menjadi perhatian pemerintah terhadap pro-kontra vaksinasi. Yakni, faktor literasi akan vaksinasi yang akhirnya melahirkan asumsi-asumsi dan teori-teori dadakan. Hal ini menjadi sebuah gejala misinformation atau informasi yang salah atau tidak akurat terhadap vaksin Sinovac. Misinformation terjadi karena berbagai jenis kesalahan, baik teknis maupun non-teknis yang terjadi tanpa adanya niat untuk membuatnya salah, atau tidak mengandung unsur kesengajaan.
Akibat adanya misinformation terhadap vaksinasi ini seharusnya dapat diminimalisasi dengan pemberian informasi seluas-luasnya kepada masyarakat dari pihak pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kementerian Kesehatan. Sehingga misinformation yang berkembang di masyarakat tidak berkembang sedemikian rupa hingga menimbulkan efek ketidakpercayaan terhadap vaksin Sinovac.
Bagaimana caranya? Cukuplah perwakilan dari Kementerian Kesehatan memberikan informasi yang lengkap dan komprehensif tentang vaksinasi ini kepada pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya Kementerian Komunikasi dan Informatika membuat narasi tunggal program vaksinasi ini kepada khalayak. Jadi akan lebih efektif menyebarkan informasi alih-alih kampanye siap divaksinasi yang ternyata bukan berasal dari Kementerian Kesehatan juga.
Muncul saat ini opini "kami butuh informasi, bukan kampanye siap vaksinasi." Artinya masyarakat memerlukan pemahaman berasal dari satu pintu, tidak mencari-cari sendiri meski masyarakat memang cerdas juga. Namun akan lebih valid kalau keluar dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan.
Menjadi sebuah kebutuhan akan sebuah narasi tunggal terhadap urgensi dan signifikansi vaksinasi, sehingga rakyat mengerti bahwa vaksinasi adalah ikhtiar pemerintah menjaga kesehatan rakyatnya. Hingga akhirnya terbentuk herd immunity yang akan mengurangi laju pandemi Covid-19.
Narasi tunggal adalah rumusan pesan kunci mengenai isu yang menjadi perhatian bersama, dalam konteks ini vaksinasi. Narasi tunggal ini ditujukan sebagai referensi dalam menyamakan pemahaman para pemangku kepentingan dalam berkomunikasi kepada publik. Hal ini sejalan dengan Inpres Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik. Narasi tunggal itu nantinya dipublikasikan melalui kementerian dan lembaga, dan disebarkan oleh para humas pemerintah. Sehingga nantinya informasi kebijakan yang keluar terkait vaksinasi sifatnya resmi official dari pemerintah.
Kita ketahui di dunia digital saat ini, siapa yang pertama mengisi ruang ruang publik dengan baik, dialah yang memenangkan persoalan. Tapi siapa yang terlambat, akan tergilas dengan informasi meskipun dia benar. Jadi faktor kecepatan menjadi sangat penting. Harapannya, narasi tunggal vaksinasi tersebut tidak hanya sent, tapi delivered sehingga misinformation akan vaksinasi tidak akan menjadi hoax.