'Predictive Policing': Pemolisian Masa Kini dan Nanti
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

'Predictive Policing': Pemolisian Masa Kini dan Nanti

Rabu, 20 Jan 2021 11:47 WIB
Harry Seldadyo, Eko Rudi Sudarto, Ahrie Sonta
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Aparat kepolisian mengikuti apel kesiapan jelang pilkada serentak di Polda DIY, Kamis (3/12/2020). Sebanyak 600 personil dikerahkan Polda DIY untuk mengamankan jalannya Pilkada serentak di tiga kabupaten.
Ilustrasi apel Polri dengan protokol kesehatan di tengah situasi Pandemi/Foto: Pius Erlangga
Jakarta -

18 Januari 2021

"Can our police . . . find ways to work smarter, not just harder?" William A. Geller (1997)

Ringkasan

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam era yang digerakkan oleh data, upaya-upaya pemolisian perlu dan penting untuk menyesuaikan diri. Predictive policing berada dalam dinamika ini, yakni pemolisian berbasis data untuk melakukan prakiraan, sekaligus mengambil aksi yang dapat merubah suatu outcome ke arah yang diharapkan. Namun demikian, literatur yang ada lazimnya mendiskusikan predictive policing dalam dimensi mikro yang bersifat teknis. Tulisan ini mengisi celah yang kurang mendapat perhatian literatur, yaitu diskusi mengenai dimensi meso dan makro-masing-masing yang berkarakter taktis dan strategis. Dengan begitu, perspektif yang lengkap dan integratif dapat disumbangkan pada wacana predictive policing.

1 Pendahuluan

ADVERTISEMENT

Era ini adalah era data. Sektor swasta maupun publik dituntut untuk membangun dan menggerakkan kebijakannya di atas data. Bahkan, dalam banyak
situasi yang tergolong sebagai wicked problems di mana solusi optimal sukar ditemukan (Veenstra dan Kotterink, 2017), data amat dibutuhkan sebagai tongkat pembimbing ke arah solusi yang dibutuhkan. Data-driven policy kini menjadi tuntutan yang tak terelakkan untuk menjadi praktik baku dalam beragam entitas organisasi.

Data juga telah memasuki arena ilmu dan kebijakan kepolisian. Dalam beberapa tahun belakangan ini, kepustakaan ilmu dan kebijakan kepolisian diwarnai oleh beragam metodologi baru yang bertumpu di atas data-salah satu di antaranya adalah predictive policing.

Tulisan ini secara khusus melakukan observasi literatur atas konsep predictive policing. Lazimnya, predictive policing didiskusikan dalam dimensi mikro pencegahan kejahatan yang bersifat teknis. Tayebi dan Gl¨asser (2017, p.2), misalnya, menyebut "predictive policing uses data science to identify potential targets for criminal activity with the goal of crime prevention." Dalam Criminal Futures: Predictive Policing and Everyday Police Work, Egbert dand Leese (2021, p.3) juga menyebut hal-hal teknis, "Predictive policing . . . involves police officers, morning briefings, patrol cars, election campaigns, data protection, and gut feelings as much as it involves data and algorithms."

Namun demikian, tulisan ini memandang dimensi mikro tidaklah cukup. Ini sebagaimana Egbert dan Leese (2021, p.3) juga menyatakan, "Studying predictive policing as a socio-technical system means to pay attention to a multiplicity of technical, human, organizational, cultural, political, ethical, legal, and-not least-economic elements that matter in the production and prevention of criminal futures." Jadi, ada area lain di luar dimensi mikro. Oleh karenanya, tulisan ini juga hendak menaikkan tantangan pemikiran tentang konsep predictive policing ke dimensi yang lebih luas, yakni dimensi meso dan makro, yang praktis kosong dalam kepustakaan ilmu kepolisian. Jika dimensi mikro bersifat teknis, dimensi meso dan makro masing-masing bernilai taktis dan strategis. Dengan begitu, tulisan ini hendak menyumbang pembentukan khasanah predictive policing yang lebih komprehensif-sekaligus juga terintegrasi.

2 Definisi dan Konsep: Dimensi Mikro

Sebagai sebuah istilah, predictive policing sudah terjelaskan dengan sendirinya (self-explanatory). Dalam substansinya, istilah itu mengandung makna tentang kapasitas untuk melakukan prakiraan atas suatu peristiwa dalam ranah pemolisian. Diksi 'peristiwa' dipakai di sini untuk memperluas wacana predictive policing dari dimensi mikro2 beserta tindakan teknis yang menyertainya, menuju dimensi meso dan makro juga beserta tindakan taktis dan strategis yang lekat mengikutinya. 'Tindakan yang menyertainya' adalah suatu proactive response untuk merubah outcome (Beck dan McCue, 2009) menjadi seperti yang diharapkan. Ini adalah proposisi pokok yang diambil oleh tulisan ini: perluasan cakupan dimensi. Namun demikian, sebelum jauh melompat ke arah perluasan dimensi menuju dimensi meso dan makro, dirasakan penting untuk meninjau terlebih dahulu bagaimana predictive policing diwacanakan dalam dimensi mikro.

Dalam tulisan ini, dimensi mikro dipakai untuk meletakkan predictive policing ke dalam arena pencegahan kejahatan secara teknis. Ini sejajar dengan definisi yang ditetapkan oleh Bratton, Morgan, dan Malinowski (2009) atas predictive policing, yakni segala strategi atau taktik pemolisian yang mengembangkan dan menggunakan informasi serta analisis lanjutan ke arah forward-thinking crime prevention. Bake (2018) juga menetapkan definisi predictive policing dengan perspektif yang serupa, yakni penerapan teknik analisis untuk mengidentifikasi di mana kejahatan berpeluang untuk terjadi dan siapa pelakunya. Perspektif yang juga kurang-lebih sama ditunjukkan oleh Perry, McInnis, Price, Smith, dan Hollywood (2013) yang menyatakan predictive policing sebagai penggunaan teknik analisis-khususnya teknik kuantitaitf-untuk mengidentifikasi sasaran intervensi polisi dengan tujuan mencegah kejahatan, menuntaskan kejahatan masa lalu, atau melacak pelaku dan korban kejahatan.

Beragam teknik analisis dalam predictive policing sudah barang tentu bergantung pada data3, sehingga dalam perspektif itu dapat dipahami jika Pearsall
(2014) mendefinisikan predictive policing sebagai pemanfaatan data dari pelbagai sumber yang berbeda, menganalisisnya, dan menggunakan hasilnya untuk mengantisipasi, mencegah, dan merespon kejahatan yang akan terjadi secara lebih efektif dengan menggunakan prakiraan statistik.4 Ringkasnya, kata kunci bagi predictive policing dalam dimensi mikro ini adalah 'prakiraan peristiwa' (outcome) dan 'tindakan teknis yang menyertainya'. 'Tindakan teknis yang menyertainya' ini dieksekusi sendiri oleh organisasi kepolisian secara internal.

Manakala data menjadi jantung penentu predictive policing, sudah barang tentu asumsi yang diletakkan adalah keteraturan data. Ini adalah pola perilaku kejahatan yang terekam dalam data melalui beragam analisis. Dalam asumsi pola keteraturan ini, data kejahatan dipandang tidak bergerak secara random. Dengan kata lain, dalam perspektif statistika, sebagaimana Perry et.al., (2013) menyebutnya, ini berarti 'crime is predictable'. Ini sejajar pula dengan the Norwegian Board of Technology (2015, p.26) yang menyatakan, ". . . for certain types of crime it is not entirely random where and when offences take place- meaning in some cases it ought therefore also to be possible to make predictions based on risk analyses. Perilaku kejahatan yang berulang dipotret dan dipetakan sebagai suatu pola keteraturan-dan melalui pola inilah tindakan kejahatan diprakirakan. Dalam pola keteraturan data yang berulang, prakiraan dilakukan di atas asumsi bahwa 'the future is like the past' (Moses dan Chan, 2018, p.810).

Beragam analisis statistika dipakai untuk menjelajahi dan menemukan polapola keteraturan yang ada-trends, struktur, grouping atau clustering, korelasi, dan lain-lain. Selain prakiraan tentang waktu terjadinya kejahatan, predictive policing juga melakukan prakiraan atas sejumlah hal lain. Tayebi dan Gl¨asser (2016) membagi predictive policing dalam empat kelas prakiraan. Pertama, predicting offenders. Ini adalah prakiraan tindak kejahatan oleh pelaku berdasarkan data historis tentang pelaku. Kedua, predicting victims: memprakirakan individu yang berpeluang menjadi korban kejahatan dan situasi risiko bagi korban potensial. Ketiga, predicting criminal collaborations, yakni prakiraan terbentuknya kerja sama masa depan antarpelaku kejahatan. Keempat, predicting crime locations. Ini adalah prakiraan tentang lokus kejahatan secara individual maupun agregat. Sementara itu, Ferguson (2017) mengobservasi evolusi predictive policing ke dalam tiga bagian. 'Predictive policing 1.0' menyasar pada tempat-tempat property of crimes. 'Predictive policing 2.0' menyasar pada tempat-tempat kejahatan dengan kekerasan. 'Predictive policing 3.0' menyasar pada orang yang terlibat dalam kejahatan.6

Selanjutnya, melalui penggunaan perangkat lunak statistika7 ataupun penyusunan algoritma tertentu-termasuk pengembangan rangkaian persamaan matematika yang kompleks-suatu prakiraan mengenai waktu, pelaku, kerja sama antarpelaku, dan lokasi peristiwa kejahatan dilakukan. Di titik ini predictive policing memanfaatkan teknologi untuk mencapai derajat akurasi yang diinginkan (van Brakel dan De Hert, 2011). Dalam perjalanannya, predictive policing diperkuat pula oleh machine-learning maupun artificial intelligence (AI),8 sehingga pola-pola keteraturan dan akurasi prakiraan yang mengikutinya semakin terandalkan.

Saat ini mahadata (big data) juga telah menjadi perhatian tersendiri dalam predictive policing. Mahadata oleh Ferguson (2017b) dinilai mampu menjawab empat pertanyaan kunci dalam predictive policing, 9 yakni (1) whom we police, yakni sasaran perkiraan atas orang tertentu, (2) where we police, yaitu pemolisian berbasis tempat, (3) when we police, yaitu pengamatan dan investigasi real-time, serta (4) how we police, yakni bagaimana pemolisian dilakukan berdasarkan penggalian data digital. Mahadata dapat bersumber dari berbagai public record. Dalam manajemen data kepolisian Indonesia public record tersimpan dalam data SIM, STNK, BAP, SKCK, dan sebagainya. Tentu saja tidak tertutup kemungkinan untuk menautkan public record di tangan kepolisian dengan public record di unit-unit organisasi pemerintah lain, seperti KTP, paspor, NPWP, putusan pengadilan, bahkan termasuk data geospasial yang dikoleksi oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) serta data aliran finansial antarrekening bank yang direkam oleh PPATK.10 Tautan antarmaha data tidak hanya dapat meningkatkan akurasi predictive policing, tetapi juga menciptakan integrasi data menuju suatu sistem data tunggal-yang saat ini dikenal sebagai 'Satu Data Indonesia'.

Melalui gambaran ini, predictive policing jelas amat berpotensi untuk merambah ke arena di luar isu-isu kejahatan. Manajemen lalu lintas, misalnya, amat tepat berada dalam predictive policing. Data high frequency lalu lintas dengan pola regularitas yang konsisten adalah sumber penting bagi tindakan pemolisian dalam pengaturan arus lalu lintas-termasuk pula minimisasi atau bahkan pencegahan kecelakaan lalu lintas. Demonstrasi massa atau kebakaran hutan dan lahan (karhutala) yang berpola siklikal (musiman) dari segi waktu juga termasuk dalam ranah predictive policing. Data pergerakan transaksi keuangan atas rekening yang telah atau berpotensi terprofil kejahatan tertentu, seperti radikalisme dan terorisme, juga mengandung pola tertentu yang dapat dijelajahi oleh predictive policing. 11 Bahkan, data digital pergerakan orang yang direkam, misalnya oleh Google Mobility Index12 atau jaringan telekomunikasi13 , mengambil posisi penting dalam predictive policing. Data seperti ini tidak hanya bermanfaat dalam situasi normal, tetapi juga situasi pandemi ketika kebijakan pembatasan pergerakan dan kerumunan orang diterapkan-yang pelanggaran terhadapnya berarti pelanggaran hukum.14

Jelas bahwa dalam dimensi mikro predictive policing bersifat teknis. Data dari beragam sumber, termasuk juga beragam bentuk15, baik yang terbentuk dari proses pencarian, penciptaan, perekaman, maupun sensing. Predictive policing memanfaatkan data ini untuk melakukan prakiraan atas outcome, yang selanjutnya diikuti oleh tindakan pemolisian.

3 Dimensi Meso

Apakah predictive policing dapat diisolasi dan dilimitasi hanya pada dimensi mikro dan teknis? Jika predictive policing dalam esensinya adalah upaya pemolisian yang bergerak secara sequential-cyclical dari data, analisis, prakiraan, dan tindakan, maka predictive policingdapat bekerja pula pada dimensi meso yang bersifat taktis. Selain itu, jika pada dimensi mikro predictive policing praktis bekerja dalam lingkungannya sendiri, pada dimensi meso predictive policing bekerja secara taktis dengan melibatkan pemangku kepentingan melalui multi-stakeholdership-suatu jaringan aktor yang menautkan kepentingan dan motivasi bersama (co-interest and co-motivated actors).

Penerapan pendekatan multi-stakeholdership ini sudah barang tentu membutuhkan peta lengkap tentang siapa yang dapat didefinisikan sebagai stakeholder. Biderman dan Scheirer (2020, p.3) memberi catatan menarik tentang hal ini, "Any person who produces data used in a model, uses a model, or whose life is impacted by the outputs of a model is a stakeholder. This especially includes groups who are undervalued and underrepresented in the design process. Kendati Biderman dan Scheirer mendefinisikan stakeholder dalam konteks teknis penyusunan algoritma machine-learning, interpretasi atasnya dapat menjadi lebih luas dan melampaui soal-soal teknis tentang algoritma. Bagi predictive policing, kemampuan memetakan stakeholders dalam batasan Biderman dan Scheirer ini perlu dikembangkan. Tepatnya kemampuan melakukan stakeholder analysis adalah syarat kunci dalam predictive policing pada dimensi meso yang bersifat taktis.

Selanjutnya, bersamaan dengan kemampuan melakukan pemetaan stakeholders, predictive policing pada dimensi ini mengembangkan kemampuan taktis untuk membangun komunikasi dan negosiasi, melakukan transfer gagasan atau kepedulian, serta mendefinsikan agenda di antara stakeholders. Dengan begitu, multi-stakeholdership bukan sekedar kegiatan sekumpulan pemangku kepentingan yang spontan, longgar, dan tak terstruktur, tetapi menjadi jaringan institusional terorganisasi yang melayani kepentingan dan motivasi bersama.

Multi-stakeholdership yang demikian berdiri di atas (1) jaringan administratif di mana setiap agen bergantung satu sama lain, (2) jaringan kepentingan di mana setiap agen saling mendukung dalam pembentukan agenda, dan (3) aturan main yang membatasi tetapi sekaligus memberi insentif bagi interaksi antaragen pendukung jaringan.17 Penting dicatat bahwa karakter taktis dalam dimensi meso bukan hanya mengandaikan, tetapi justru berdiri di atas kenyataan bahwa sumber daya dan otoritas organisasi cenderung terbatas. Oleh karena itu, komunikasi, gagasan, dan agenda organisasi perlu didistribusikan di antara stakeholders, sehingga tidak menjadi beban di bahu sendiri. Dalam praktik harian ini merupakan tantangan amat serius, mengingat 'kepentingan bersama' adalah public good yang senantiasa diboncengi oleh free-rider problems. 18

Dalam perilaku data yang rutin, misalnya pengaturan lalu lintas jalan raya, predictive policing memang berdimensi mikro-teknis. Namun demikian, lebih daripada itu, dalam dimensi meso, predictive policing pada lalu lintas dapat digerakkan ke arah pengendalian densitas kendaraan di jalan raya. Di banyak
kota besar Indonesia, galibnya telah diketahui bahwa jumlah kendaraan bertumbuh secara eksponensial, sedangkan panjang jalan bergerak linier-landai, bahkan cenderung datar. Ini artinya, manajemen teknis pengaturan arus tidak lagi memadai untuk diterapkan. Yang dibutuhkan justru dimensi taktis pengendalian jumlah dan densitas kendaraan. Tentu saja polisi tidak dapat bergerak sendiri dalam dimensi ini, karena persoalan lalu lintas jalan raya tidak hanya domain polisi sendiri. Di sinilah peran predictive policing dalam dimensi meso, yakni membangkitkan sikap multi-stakeholdership. Jadi, jika dalam dimensi mikro-teknis predictive policing polisi dapat bertindak dengan mendayagunakan lingkungannya sendiri, dalam dimensi meso polisi secara taktis perlu mendefinisikan dan menghimpun pemangku kepentingan lain untuk membentuk jaringan yang berisi co-interest and co-motivated actors.

Situasi serupa juga dapat ditemui pada karhutala19 dengan perilaku data yang siklikal dan spasial. Data satelit dapat merekam koordinat lokus karhutala- yang tentu saja dapat disandingkan dengan data pemegang konsesi-dalam selang periode waktu tertentu. Berbekal data itu, pencegahan karhutala secara teknis dapat dilakukan. Namun demikian, tindakan-tindakan berdimensi mikro-teknis ini perlu dilengkapi dengan policing berdimensi meso-taktis. Ini artinya, stakeholder karhutala perlu didefinisikan dan multi-stakeholdership dikembangkan. Dalam perspektif inilah, predictive policing memainkan peran taktisnya dalam pencegahan karhutala.

4 Dimensi Makro

Sejalan dengan menguatnya tradisi pengambilan keputusan berbasis data, predictive policing menjadi kebutuhan masa kini dan saat nanti. Dimensi makro predictive policing secara strategis melakukan prakiraan tentang landskap dan anatomi peristiwa kejahatan dan non-kejahatan20 masa depan yang dapat dipastikan semakin kompleks dalam '5V'21 (volume, velocity, variety, veracity, dan value) serta dalam '2F' (format (wujud) dan face (tampilan)). Tipologi kejahatan masa depan-misalnya yang diidentifikasi oleh Department of Justice, Canada-dapat ditandai dari beberapa yang saat ini tengah tumbuh, yakni kejahatan berbasis komputer (IT), kejahatan informasi dan pengetahuan, pencurian identitas, kejahatan dengan organisasi yang semakin sophisticated, dan kejahatan lintas-negara.22 Penting pula dicatat bahwa extraordinary crimes tidak diam statis, tetapi terus menerus melakukan penyesuaian dengan perubahan lingkungan sosial dan ekonomi. Pada saat yang sama, narkotika juga bersinergi dengan teknologi dalam tiga hal: kultivasi, farmasi, dan pemasaran (digital, berbasis jaringan). Ini masih perlu ditambah lagi dengan kecenderungan yang konsisten bahwa hukum dan regulasi senantiasa tertinggal di belakang peristiwa.

Sementara itu, peristiwa non-kejahatan masa depan yang berada dalam arena policing antara lain perilaku antisosial, hate, social disaggregation, transportasi dan kecelakaan-termasuk pula tugas-tugas dalam kerangka pemeliharaan perdamaian (peacekeeping police).23 Penting pula diperhatikan di sini kegiatan pembinaan masyarakat (ketertiban dan pemolisian) untuk memotret, memetakan, dan menyusun prakiraan tentang perubahan-perubahan yang tengah dan akan terjadi di tingkat masyarakat dalam komposisi demografi, mobilitas sosial dan mobilitas geografi, relasi dan perilaku antarpersonal.

Prakiraan tentang peristiwa masa depan ini tidak dapat berdiri sendiri, tetapi ditopang oleh suatu perencanaan strategis. Sebagaimana lazim dalam perencanaan strategis umumnya, predictive policing adalah juga bagian dari suatu visi dengan turunan grand plan-nya. Ini berarti terdapat rangkaian tindakan lanjutan sebagai penjabaran visi dan grand plan. Rangkaian itu meliputi penetapan tujuan, cakupan, delivery, ukuran capaian (milestone), sumber daya, dan rencana tindakan. Dalam konteks ini, selain membangun prakiraan masa depan sebagaimana telah disebutkan, kebutuhan yang langsung terasa adalah eksekusi atas rangkaian tindakan lanjutan itu. Di sisi internal predictive policing menuntut sistem tata kelola organisasi serta infrastruktur fisik dan non-fisik- termasuk tentu personel yang memiliki otoritas pengetahuan (competencies) dan keahlian teknis (skills). Di sisi ekternal kebutuhan itu mencakup konstruksi relasi dengan sumber-sumber data dan informasi, pengetahuan, teknologi, bahkan pembiayaan.

Gambaran ini memperlihatkan dimensi makro-strategis predictive policing adalah suatu preparedness. Preparedness dalam esensinya adalah investasi dalam pengembangan kapasitas. Ini bukan lagi merupakan kebutuhan, tetapi telah menjelma menjadi keharusan. Investasi digerakkan ke arah penguasaan teknologi telah dapat diidentifikasi sejak sekarang. Beberapa di antaranya adalah data analytics, artificial intelligence, blockchain, robot dan otomasi, drone, biometrika, virtual reality, cloud, dan sebagainya.24. Riset-riset teknis-bahkan juga sosial-dalam policing menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam investasi ini.

Akhirnya, dapat dikatakan, dalam semua dimensinya, predictive policing adalah langkah antisipasi atas potential negative outcomes untuk tidak terjadi. Pada saat yang sama, predictive policing adalah tindakan amplikasi atas potential positive outcomes untuk terjadi. Data adalah jantungnya; teknologi ialah urat nadinya.

5 Kesimpulan

Peradaban tengah bergerak dan perubahan terjadi di segala lini. Tantangan yang paling serius bagi organisasi kepolisian di dalam jaman yang bergerak ini adalah membuat organisasi kepolisian selalu relevan. Tantangan ini riil, sehingga tanggapan atas tantangan ini perlu dieksekusi secara riil pula. Dalam era yang bergerak untuk mengeksekusi tantangan, kepolisian menempatkan dirinya menjadi learning organization (Geller, 1997)-organisasi yang terus berada dalam siklus belajar: memahami hal baru, meningkatkan kompetensi dan keahlian, mengambil tindakan; selanjutnya kembali memahami kondisi baru, meningkatkan kompetensi dan keahlian lagi, lalu kembali mengambil tindakan, dan seterusnya hingga di setiap proses siklus yang baru organisasi kepolisian berada di titik kapasitas yang lebih tinggi daripada titik sebelumnya. Ini sejajar dengan

Apa yang dinyatakan oleh Walsh and Vito (2019, p.5) tentang learning organization sebagai organisasi yang, ". . . actively engages, evaluates, and adapts by continually assessing its environmental demands and operational methods. It learns from its own and the similar experiences of other organizations in order to adjust and respond to the environmental demands it faces."

Setiap era memiliki karakteristik penanda. Pada saat ini dan nanti penanda yang paling mencolok adalah relasi segitiga timbal balik antara teknologi, data, dan keputusan kebijakan. Predictive policing berada dalam ruang segitiga ini. Predictive policing menjelajahi data, mengembangkan analisis, menemukan pola, lalu menetapkan tindakan. Peristiwa di depan diprakirakan-dengan data sebagai materialnya dan teknologi sebagai tiang penyangganya. Dalam keseluruhan proses ini, predictive policing mengambil tiga karakter: teknis, taktis, dan strategis. Dalam tiga karakter ini predictive policing bekerja pada suatu isu, baik kejahatan ataupun non-kejahatan. Pada peristiwa kejahatan, predictive policing mencegah terjadinya kejahatan. Dalam peristiwa non-kejahatan, karakter serupa juga diterapkan: pencegahan untuk negative event sehingga peristiwa itu tidak terjadi; dan dukungan bagi positive event sehingga peristiwa itu terjadi.

Dalam tiga dimensinya-mikro, meso, dan makro-predictive policing menempatkan organisasi kepolisian untuk relevan dengan era saat ini dan nanti. Dalam dimensi mikro, pemanfaatan data dan teknologi adalah warna utama era ini dan nanti. Dalam dimensi meso, multi-stakeholdership menjadi karakternya; tidak hanya crossed-force collaboration secara internal, tetapi justru dengan pemangku kepentingan lain di luar organisasi kepolisian. Ini diikuti oleh pengembangan kemampuan taktis untuk berkomunikasi dan bernegosiasi, mengalirkan gagasan atau kepedulian, serta menetapkan agenda di antara stakeholders. Dalam dimensi makro, peristiwa kejahatan dan non kejahatan di masa depan akan berubah amat cepat. Ini terjadi bersamaan dengan perubahan masyarakat. Predictive policing secara strategis mendeteksi apa dan bagaimana perubahan itu terjadi, lalu menyiapkan rangkaian tindakan internal dan eksternal untuk mengantisipasinya.

6 Rujukan

Bakke, E. 2018. "Predictive Policing: The Argument for Public Transparency." New York University Annual Survey of American Law 74: 131-
172.

Beck, C., dan McCue, C. 2009. "Predictive Policing: What can We Learn
from WalMart and Amazon about Fighting Crime in a Recession." The
Police Chief 76(11): 20-29.

Biderman, S., dan Scheirer, W.J. 2020. Pitfalls in Machine Learning Research: Reexamining the Development Cycle. Paper disajikan dalam 34th
Conference on Neural Information Processing Systems (NeurIPS 2020),
Vancouver, Canada.
9

BPS. 2020. Tinjauan Big Data terhadap Dampak Covid-19. Badan Pusat
Statistik.

Bratton, W., Morgan, J., and Malinowski, S. 2009. "The Need for Innovation in Policing Today." Unpublished manuscript, presented at the
Harvard Executive Sessions, October

Brugha, R dan Varvasovszky, Z. 2000. "Stakeholder Analysis: A Review."
Health Policy and Planning 15(3): 239-246.

Deloitte. 2015. Policing 4.0: Deciding the Future of Policing in the UK.
UK Public Sector

Egbert, S., dan Leese, M. 2021. Criminal Futures Predictive Policing and
Everyday Police Work. Routledge.

Ferguson, A.G. 2017. "Policing Predictive Policing." Washington University Law Review 94(5): 1109-1189.

Ferguson, A.G. 2017b. The Rise of Big Data Policing: Surveillance, Race,
and the Future of Law Enforcement. New York University Press.

Geller, W.A. 1997. Suppose We eere Really Serious about Police Departments becoming 'Learning Organizations'?. National Institute of Justice.

Gentithes, M., dan Krent, H.J., 2020. Pandemic Surveillance-The New
Predictive Policing. Paper diprensentasikan dalam Symposium: Pandemics and the Constitution. ConLawNOW.

Kenny, D.E. 2016. A Force for Good: Exploring the Future of Non-crime
Policing. Disertasi Doktor dalam Criminal Justice pada the University of
Portsmouth.

McDaniel, J.L.M., dan Pease, K.G. (eds.). 2021. Predictive Policing and
Artificial Intelligence. Routledge.

Moses, L.B., and J. Chan. 2018. "Algorithmic Prediction in Policing: Assumptions, Evaluation, and Accountability." Policing and Society 28(7):
806-822.

Perry, W.L., McInnis, J., Price, C.C., Smith, S.C., Hollywood, J.S. 2013.
Predictive Policing: The Role of Crime Forecasting in Law Enforcement
Operations. RAND Corporation.

Pearsall, B. 2014 "Predictive Policing: The Future of Law Enforcement?"
National Institute of Justice Journal 266:16-19.

Sacchetti, S., dan Tortia, E. 2014. "Multi-Stakeholder Governance: A
Social Enterprise Case Study." International Journal of Co-operative Management 7(1): 58-72.
10

Tayebi, M.A., dan U. Gl¨asser. 2016. Social Network Analysis in Predictive Policing: Concepts, Models and Methods. Lecture Notes in Social
Networks. Springer.

The Norwegian Board of Technology. 2015. Predictive Policing: Can Data
Analysis Help the Police to be in the Right Place at the Right Time?. Oslo.

Uchida, C.D. 2014. Predictive Policing. Metadata.

van Brakel, R., dan De Hert, P. 2011. "Policing, Surveillance and Law
in a Pre-crime Society: Understanding the Consequences of Technology
based Strategies. Journal of Police Studies 20(3): 163-192.

van Veenstra, A. F., dan B. Kotterink. 2017. Data-Driven Policy Making: The Policy Lab Approach. The 9-th IFIP WG 8.5 International
Conference on Electronic Participation, ePart.

Walsh, W.F., and Vito, G.F. 2019. Police Leadership and Administration:
A 21st-Century Strategic Approach. Routledge.

Wortley, R., dan Mazerolle, L. (eds.). 2011. Environmental Criminology
and Crime Analysis. Routledge.

*Draft pertama untuk diskusi.

1. Beberapa yang lain yang juga sudah dikenal, misalnya, high policing atau intellegence- based policing yang menghubungkan intelejen domestik dan keamanan negara, serta information-led policing, yakni pemolisian yang menggunakan beragam sumber data, termasuk pula problem-oriented policing, community-oriented policing, performance-based poli- cing, evidence-based policing dan professional model policing. Google Scholar (17/01/2021) mencatat lebih dari sejuta hasil telusur atas karya akademik tentang policing.
2. Lazimnya adalah isu-isu di seputar kejahatan. Diskusi lebih lanjut akan disajikan di bagian lain tulisan ini.
3. Pearsall (2014, p.19) menyatakan predictive policing pada akhirnya "it is all about the data," yakni seberapa jauh data dapat diandalkan sebagai bahan untuk melakukan prakiraan.
4. Diksi 'prakiraan' dipakai dalam keseluruhan tulisan ini sebagai transliterasi dari 'pre-
diction'. Secara konseptual, prediction berbeda dari forecasting. Prediction merujuk pada pendugaan suatu outcome atas data yang tak terlihat (unseen data). Sementara itu fore- casting merujuk pada prakiraan prediction masa depan dengan basis data time-series (Li- hat,datascience.). Jadi, di sini forecasting adalah bagian dari prediction. Kosa kata bahasa Indonesia belum membukukan istilah yang tepat bagi forecasting. Kata 'peramalan' kurang tepat dipakai sebagai transliterasi dari forecasting.
5. Di sini analisis kriminologi memberikan perhatian khusus pada tindakan-tindakan keja- hatan dengan situasi lingkungan yang melatarinya (Lihat, Wortley dan Mazerolle, 2011).

6. Dalam telaah kriminologi, teori-teori repeat victimization, disorganisasi sosial, collective efficacy, strain, kemiskinan ekonomi, routine activity, deterrence or rational choice, social support, dan teori subkultural adalah contoh-contoh yang dapat menjadi fondasi bagi predic- tive policing. Lihat, Ucida (2014).
7. Perangkat yang dikenal luas saat ini adalah PredPol dan CrimeScan.
8. Diskusi mutakhir tentang hal ini disajikan oleh McDaniel dan Pease (eds., 2021) dalam Predictive Policing and Artificial Intelligence. Routledge.
9. Ferguson menyebutnya sebagai big data policing
10. Tidak ketinggalan pula beragam data sensus yang dikelola oleh Badan Pusat Statistik.

11. Investasi khusus dibutuhkan bagi predictive policing dalam digital currency, khususnya yang bermanuver di dalam darkweb (crypto currency).
12. Ilustrasi Google Mobility Index dapat dilihat dalam publikasi BPS (2020), Tinjauan Big Data terhadap Dampak Covid-19.
13. Tidak hanya melalui Google, mobilitas orang juga terekam oleh penyedia jasa telekomu- nikasi.
14. Namun demikian, Gentithes dan Krent (2020) mengingatkan adanya potensi konflik pe- nerapan predictive policing dengan kebebasan masyarakat dalam masa pandemi.
15. Data tidak hanya didefinisikan sebagai sekumpulan angka numerik, tetapi juga citra (gam- bar dan film), suara (voice dan sound), termasuk juga sinyal (kode) dan sinar (light)
16. Tentang multi-stakeholdership, lihat Sacchetti dan Tortia (2014).

17. Bandingkan dengan Brugha dan Varvasovszky (2000) dalam Stakeholder Analysis: A Review, khususnya di bagian Policy Roots.
18. Dalam kenyataan relasi teknokrasi antaraktor pembangunan, (si)apa yang ditetapkan sebagai leading agency atas suatu isu biasanya dibebani jauh lebih banyak tanggung jawab- bahkan excessive-daripada aktor-aktor lainnya. Aktor-aktor lain ini cenderung mengambil sikap sebagai free riders.

19. Patut dicatat, karhutala mengandung elemen penegakan hukum yang juga menjadi bagian ototitas kepolisian.
20. Peristiwa non-kejahatan yang dimaksud di sini adalah peristiwa yang berada dalam oto- ritas pemolisian.
21. Istilah yang menggambarkan karakteristik utama mahadata.
22. Lihat, Department of Justice.
23. Bandingkan, Kenny (2016).
24. Bandingkan, Deloitte (2015)

Harry Seldadyo (Akademisi)
Eko Rudi Sudarto (Perwira Polisi)
Ahrie Sonta (Perwira Polisi)

(idn/idn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads