Sejak dilantik menjadi Menteri Sosial, Tri Rismaharini langsung menyita perhatian publik. Serangkaian aksi "blusukan" yang dilakukannya mendadak viral. Dia menyambangi beberapa wilayah di DKI Jakarta dan menemukan sejumlah tunawisma berkeliaran di ibu kota. Dia kemudian melakukan respons cepat, dengan menawarkan tempat tinggal serta mengupayakan proses rehabilitasi kepada para tunawisma tersebut.
Meskipun blusukan adalah style-nya sejak lama, aksinya itu memancing publik berkomentar. Banyak pihak yang mengapresiasi aksi tersebut, namun tidak sedikit pula yang menganggap hal itu sebagai pencitraan belaka.
Tercatat selama 10 hari bekerja sebagai Menteri Sosial, sudah ada 22 pemulung yang dibawa ke Balai Rehabilitasi Sosial Eks Gelandangan dan Pengemis "Pangudi Luhur" Bekasi untuk dibina. Hal itu dituturkan oleh Kepala Balai Pangudi Luhur. Jumlah ini menunjukkan gencarnya kinerja blusukan yang dilakukan oleh Mensos. Tidak heran banyak pihak yang merasa bahwa Bu Risma saat ini belum lepas dari bayang-bayang jubah wali kotanya dalam jabatan barunya; sebuah hal yang bisa diperdebatkan.
Dalam hal ini tentunya siapapun bebas memiliki pandangan, begitu pun saya menemukan beberapa hal menarik dari fenomena yang sedang viral tersebut. Terutama jika aksi blusukan itu dikaitkan dengan penyelenggaraan kesejahteraan sosial kepada para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), di mana Mensos Risma memperkenalkan kepada publik mainstream lain dari penanganan permasalahan sosial.
Sementara itu di sisi lain, hal yang tidak kalah menarik untuk kita cermati adalah bagaimana upaya Mensos Risma memberi pesan kepada pemerintah daerah secara khusus dan masyarakat secara umum mengenai gaya dan arah kebijakan sosialnya.
Membawa Pesan
Salah satu tugas besar Kementerian Sosial adalah melakukan perumusan kebijakan dan program penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Politik hukum mengenai kesejahteraan sosial itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial jo Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
Jika mencermati produk hukum tersebut dapat kita temui bahwa landasan filosofis mengenai kesejahteraan sosial dimulai dari tanggung jawab negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanggung jawab ini secara teknis diimplementasikan pemerintah melalui penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagai bentuk pengembangan kesejahteraan sosial secara terencana, terarah, dan berkelanjutan.
Dalam perspektif penyelenggaraan kesejahteraan sosial, pelayanan sosial diberikan untuk mengatasi fenomena permasalahan sosial. Kriteria permasalahan sosial dimuat secara eksplisit dalam Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2009 yang merinci 7 jenis permasalahan sosial yang perlu mendapatkan prioritas dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Hal ini merupakan konsep dasar untuk memahami spektrum penyelenggaraan kesejahteraan sosial, sebab kerja-kerja pelayanan sosial seringkali hanya dikaitkan dengan program bantuan sosial.
Padahal, jika merujuk kluster MKS yang ada (lihat Peraturan Menteri Sosial Nomor 08 Tahun 2012), kerentanan sosial tidak hanya mengendap pada masyarakat miskin semata. Sekelompok tunawisma yang ditemukan oleh Mensos Risma mengonfirmasi eksistensi PMKS lainnya yang seolah luput dari perhatian umum.
Beragamnya jenis permasalahan sosial yang ada tentunya menuntut pola intervensi pelayanan sosial yang berbeda pula. Dalam konteks ini, Kementerian Sosial, sesuai dengan Renstra Tahun 2020-2024, memiliki peran strategis meliputi penanggulangan kemiskinan di Indonesia, peningkatan kualitas hidup manusia, dan pelaksanaan peningkatan keberfungsian sosial PMKS.
Hal itu didasarkan bahwa kompleksitas permasalahan sosial yang ada di Indonesia sejatinya tidak hanya mencakup masalah kemiskinan, melainkan terdapat pula fakta bahwa angka masyarakat Indonesia yang mengalami disfungsi sosial cukup besar. Kelompok yang dikategorikan marjinal di masyarakat ini seringkali tidak mendapatkan perlakuan yang setara. Sehingga diperlukan intervensi aktif dalam rangka peningkatan keberfungsian sosial PMKS.
Kelompok yang mengalami disfungsi sosial memiliki masalah yang lebih kompleks. Menurut UU Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pekerja Sosial, PMKS yang mengalami gangguan keberfungsian sosial ini tidak hanya mengalami gangguan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, lebih dari itu mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas dan peran sosialnya, serta tidak mampu mengatasi masalah dalam kehidupannya.
Oleh karena itu, ada pendekatan berbeda yang diperuntukkan kepada PMKS yang mengalami disfungsi sosial tidak cukup hanya dengan menyalurkan bantuan sosial; pelayanan sosial diberikan berorientasi kepada pemulihan keberfungsian sosial. Dalam praktik mereka akan mendapatkan layanan rehabilitasi sosial dengan serangkaian terapi yang ditujukan untuk memulihkan dan mengembangkan fungsi sosial mereka.
Realitas itulah yang mungkin ingin dibawakan oleh Mensos Risma. Dia membawa pesan bahwa pelayanan sosial tidak melulu berwujud bantuan sosial semata. Di sisi lain, ada tuntutan untuk memberikan pendekatan berbeda kepada PMKS lain yang mengalami disfungsi sosial.
Dengan sosoknya sebagai perempuan, ia memberikan sentuhan berbeda melalui pendekatan humanis dan berbasis empatik. Tanggung jawabnya untuk memberikan pelayanan sosial terhadap warga yang mengalami disfungsi sosial membawanya untuk lebih aktif dalam memahami konteks persoalan. Mapping social secara tidak langsung dilakukannya, mengingat DKI Jakarta sebagai wilayah dengan basis penduduk yang sangat tinggi sangat cocok dijadikan sampling dari permasalahan sosial di Indonesia. Sehingga ada harapan besar lahirnya kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang lebih komprehensif terhadap seluruh PMKS.
Komunikasi Kebijakan
Tentu secara kuantitatif aksi blusukan tidak efektif menjangkau seluruh PMKS yang ada di negeri ini. Bisa dibayangkan betapa tidak efisiennya metode ini jika hendak dilaksanakan pada tiap daerah provinsi dan kabupaten/kota. Padahal, sebaran PMKS yang mengalami gangguan fungsi sosial dan menjadi kelompok marjinal merata di wilayah-wilayah Indonesia. Oleh karena itu peran aktif dari pemerintah daerah provinsi maupun pemerintah daerah sangat dibutuhkan.
Dalam konteks ini pula saya melihat sesuatu yang menarik. Dengan tipikal kepemimpinan Mensos Risma yang lebih dominan dengan aksi, ada pesan strategis yang ingin dikirimkan kepada pimpinan daerah melalui aksi blusukan, yakni agar pemerintah daerah lebih aktif menjemput bola dalam penanganan permasalahan sosial. Mengingat secara tupoksi, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah membagi kewenangan secara vertikal; pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dalam melakukan upaya pelayanan sosial sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Faktanya, secara infrastruktur pelayanan sosial, lembaga-lembaga pelayanan sosial tidak hanya dimiliki oleh Kementerian Sosial saja. Dari data yang ada, sebanyak 353 panti sosial merupakan milik pemerintah daerah. Belum lagi terdapat 12.266 lembaga kesejahteraan sosial (LKS) yang dimiliki oleh masyarakat serta 6.226 Pusat kesejahteraan Sosial (Puskesos) yang dibentuk mandiri oleh dinas sosial daerah kabupaten/kota di tiap-tiap desa/kelurahan.
Data tersebut menunjukkan bahwa kelembagaan pelayanan sosial sudah terbentuk dalam jumlah yang masif. Pertanyaannya, seberapa optimal keberadaan lembaga sosial tersebut dalam mengatasi permasalahan sosial di Indonesia?
Jadi viralnya aksi blusukan Mensos Risma sudah mencakup bagian dari komunikasi kebijakan yang dirasa perlu untuk disampaikan. Aktivitasnya secara langsung di lapangan menunjukkan komitmen yang tinggi agar pemerintah tidak lagi menjadi pihak yang reaktif dalam upaya penanganan permasalahan sosial.
Sudah saatnya mainstream pelayanan sosial dilakukan secara aktif, yakni dengan melakukan pemetaan sosial secara langsung, melakukan penanganan secara responsif, serta dilakukan secara sustainable. Merujuk kembali pada UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, grand design yang hendak dicapai adalah terwujudnya kehidupan yang layak dan bermartabat, serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar warga negara demi tercapainya kesejahteraan sosial.
Cita-cita tersebut rasanya tidak akan terwujud tanpa adanya sinergi yang efektif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Maka di sinilah posisi penting yang diemban oleh Kementerian Sosial, yakni selain menjadi pioner dalam upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial, juga dituntut untuk mampu mengkonsolidasi seluruh potensi yang dimiliki oleh stakeholders demi memastikan upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat tercapai dengan baik.
Agil Mahasin calon perancang peraturan Kementerian Sosial