Mengurai Benang Kusut Putusan DKPP
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mengurai Benang Kusut Putusan DKPP

Selasa, 19 Jan 2021 10:29 WIB
Gandha Widyo Prabowo
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sidang DKPP
Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)/Foto: Dok. DKPP
Jakarta -

Ketua KPU RI Arief Budiman dijatuhi sanksi peringatan terakhir dan diberhentikan dari jabatannya oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sanksi tersebut diberikan karena DKPP memutuskan Arief Budiman telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) dalam perkara Nomor 123-PKE-DKPP/X/2020. DKPP memberikan batas waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kepada KPU RI untuk melaksanakan putusan tersebut.

Akar persoalan putusan DKPP ini bermula dari kasus pelanggaran etik salah satu komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik yang diberikan sanksi pemberhentian tetap sebagai anggota KPU RI. Evi diputus melanggar kode etik atas perkara Nomor 317-PKE-DPP/X/2019 yang diadukan Hendri Makalausc, calon Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat daerah pemilihan Kalbar 6. Evi tidak tinggal diam. Dia kemudian melakukan perlawanan terhadap putusan DKPP yang memecat dirinya.

Evi tidak terima dirinya diberhentikan oleh DKPP dan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta. Dia mempersoalkan prosedur pengambilan putusan DKPP yang dianggapnya cacat yuridis. Evi menggugat DKPP yang melanggar ketentuan pedoman beracara pada saat penanganan perkara dugaan pelanggaran etik dirinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasal 1 angka 36 Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum mengatur ketentuan bahwa Rapat Pleno DKPP adalah rapat yang dilaksanakan secara tertutup untuk membahas, memusyawarahkan, dan memutus perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dihadiri oleh 7 (tujuh) orang anggota DKPP, kecuali dalam keadaan tertentu dihadiri paling sedikit 5 (lima) orang anggota DKPP.

Persoalannya adalah pada saat memutuskan perkara Nomor 317-PKE-DPP/X/2019 pada 10 Maret 2020, Putusan DKPP itu hanya dihadiri dan dilakukan oleh 4 (empat) anggota DKPP. Sehingga, Evi menganggap putusan yang diambil menyalahi prosedur, mekanisme, dan tata cara pedoman beracara DKPP. Selain itu, Hendri Makalausc, selaku pengadu telah mencabut pengaduannya dengan menyampaikan surat pencabutan laporan dugaan pelanggaran KEPP. Meski kemudian, DKPP bersandar pada ketentuan Pasal 19 Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa DKPP tidak terikat dengan pencabutan pengaduan dan/atau laporan.

ADVERTISEMENT

Keterangan pengadu sangat diperlukan untuk memahami aduan yang dilontarkan. Menurut praktisi pemilu Titi Anggraeni, melanjutkan proses persidangan perkara pengaduan pelanggaran KEPP tanpa mendengarkan alasan pengaduan atau keterangan pengadu di bawah sumpah di hadapan sidang DKPP adalah cacat hukum.

Putusan DKPP yang memberhentikan Evi dari jabatan anggota KPU RI juga dianggap beberapa praktisi pemilu tidak tepat. Beberapa nama seperti Prof. Ramlan Surbakti, Prof. Topo Santoso, Prof. Edward Os Hariej, Bivitri Susanti, dan Titi Anggraeni memberikan pendapatnya.

Ramlan Surbakti, Guru Besar Ilmu Politik Unair, mendudukkan masing-masing lembaga penyelenggara pemilu agar menunjukkan sikap respect for the law. Kasus dugaan pelanggaran KEPP Evi sejatinya merupakan ranah perselisihan hasil pemilu yang domainnya berada di Mahkamah Konstitusi. KPU sebagai lembaga hanya menjalankan putusan dari MK dan lembaga lain tidak berwenang untuk mencampurinya.

Edward OS Hariej, Guru Besar Hukum Pidana UGM, bersuara lebih keras. Menurut kesimpulannya, Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DPP/X/2019 tidak berdasarkan atas hukum bahkan cenderung abuse of power.

Pasca keluarnya putusan DKPP atas perkara Nomor 317-PKE-DPP/X/2019, Presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34/P Tahun 2020 yang menetapkan pemberhentian dengan tidak hormat anggota KPU atas nama Evi Novida Ginting Manik. Dan setelah menerima Keppres pemberhentian dirinya, Evi mendaftarkan gugatannya ke PTUN Jakarta.

Majelis hakim PTUN Jakarta pada akhirnya mengabulkan seluruh gugatan Evi. Amar putusan PTUN Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT memutuskan pembatalan Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 dan mewajibkan tergugat (Presiden RI) untuk mencabut Keppres tersebut. Selain itu, majelis hakim mewajibkan tergugat merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan Evi Novida Ginting Manik sebagai anggota KPU masa jabatan 2017-2022 seperti semula sebelum diberhentikan.

Evi menang telak di PTUN Jakarta; seluruh gugatannya dikabulkan. Presiden Jokowi juga tidak melakukan banding atas Putusan PTUN dan menerbitkan Keppres Nomor 83/P Tahun 2020 untuk mencabut Keppres Nomor 34/P Tahun 2020. Presiden lebih memilih untuk menghargai dan menghormati putusan PTUN Jakarta. Terlebih Keppres yang diterbitkan hanyalah persoalan administratif dan untuk memformalkan putusan DKPP.

Meski demikian, DKPP tetap pada pendiriannya. Keppres pencabutan yang merespon Putusan PTUN Jakarta dinilai DKPP tidak akan mengubah putusan DKPP. Bagi mereka, putusan DKPP bersifat final dan mengikat sesuai kewenangan yang diberikan oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasca terbitnya Putusan PTUN dan Keppres Nomor 83/P Tahun 2020, ternyata episode ceritanya belum berakhir dan masih berlanjut. Eksesnya berdampak ke mana-mana. Arief Budiman pun kemudian turut tersandung dugaan pelanggaran etik. Ketua KPU RI ini diadukan ke DKPP karena telah melanggar KEPP. Kedatangannya ke PTUN menemani Evi dianggap DKPP tidak menunjukkan sikap saling menghargai sesama lembaga penyelenggara pemilu. Kedatangan Arief terkesan merepresentasikan KPU secara kelembagaan menjadi pendukung utama dalam melakukan perlawanan terhadap putusan DKPP.

Selain itu, Surat KPU Nomor 62/SDM.12-SD/05/KPU/VIII/2020 yang ditandatangani oleh Arief Budiman sebagai Ketua KPU RI juga dipersoalkan. Bagi DKPP, apa yang dilakukan oleh Arief Budiman merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang. Karena memerintahkan Evi untuk aktif bekerja kembali sebagai anggota KPU RI. Hal ini dianggap melampaui kewenangannya sebagai Ketua KPU RI.

"Final dan Mengikat" untuk Siapa?

Perdebatan frasa final dan mengikat yang diberikan undang-undang terhadap putusan DKPP ternyata pernah dilakukan uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK). Ketika membaca dokumen Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013, kita dapat memahami bahwa pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan putusan DKPP yang final dan mengikat.

Argumentasi pemohon menyatakan bahwa sifat final dalam sebuah putusan pengadilan dengan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara merupakan hal yang berbeda. Dalam putusan pengadilan, sifat final dimaknai tidak adanya upaya hukum yang bisa dilakukan terhadap putusan. Sedangkan sifat final dalam sebuah keputusan menunjukkan keputusan tersebut tidak memerlukan persetujuan lebih lanjut dan bisa langsung dieksekusi. Sedangkan Putusan DKPP tidak dapat langsung dieksekusi tanpa adanya Keputusan Presiden, KPU, ataupun Bawaslu.

Dalam pertimbangannya pada Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013, MK menegaskan bahwa putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya. Karena DKPP adalah perangkat internal penyelenggara Pemilu yang diberi wewenang oleh undang-undang. Sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu dalam melaksanakan putusan DKPP.

Adapun keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu adalah merupakan keputusan Pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN. Apakah kemudian Peradilan TUN akan memeriksa dan menilai kembali putusan DKPP yang menjadi dasar Keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu, hal tersebut menjadi kewenangan Peradilan TUN.

Dari Putusan MK ini dapat kita lihat bahwa sifat final dan mengikat Putusan DKPP berlaku pada Pejabat TUN yang menindaklanjuti Putusan DKPP. Sementara individu yang terkena dampak dari keputusan Pejabat TUN bisa melakukan upaya hukum lainnya di Peradilan TUN untuk menguji apakah keputusan tersebut telah memenuhi unsur keadilan.

Pada kasus Evi, mestinya Presiden tidak hanya menerbitkan Keppres tentang Pencabutan Keppres pemberhentian Evi dari anggota KPU RI. Tetapi harus menindaklanjutinya dengan menerbitkan Keppres yang menetapkan keputusan sesuai amar putusan PTUN Jakarta. Setidaknya hal tersebut akan mengurangi polemik dan gesekan yang terjadi di antara lembaga penyelenggara pemilu. Seperti yang diutarakan Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua DKPP, yang berpendapat bahwa Presiden harus melaksanakan perintah putusan PTUN dengan mengangkat kembali Evi sebagai anggota KPU RI.

Gandha Widyo Prabowo Penata Kelola Pemilu Ahli Muda, alumni Magister Tata Kelola Pemilu Universitas Airlangga Surabaya

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads