Bu, bagaimana ya anak saya masih meledak-ledak emosinya? Susah sekali diberi masukan.
Bu, suami saya kalau sudah marah, anaknya dipukul, ditendang....
Bu, bagaimana ya agar saya lebih sabar menghadapi anak-anak?
Dari sekian kali pengalaman saya mengisi kuliah Whatsapp atau kuliah via zoom meeting, apapun topiknya, pertanyaan tentang pengelolaan emosi selalu saja muncul. Rentang kerumitan pertanyaannya pun beragam, dari persoalan ekspresi emosi yang sederhana, seperti ngambek-ngambek ringan, sampai yang lebih rumit, seperti KDRT yang mengancam jiwa dan psikologis keluarga.
Ya, dalam keseharian pun saya merasakan permasalahan yang relatif sama. Anak saya lima orang, ini berarti ada lima tipe cara mengekspresikan emosi negatif yang muncul di rumah. Belum lagi ditambah dengan ekspresi saya dan pasangan. Pernah sekali waktu di masa pandemi ini, kami sekeluarga benar-benar merasakan kegelisahan emosi secara bersamaan. Sedikit saja pemicu muncul, kami bisa meledakkan emosi bersama sama. Luar biasa! Pengalaman yang menguras pikiran dan perasaan.
Saya pernah memberikan pertanyaan kepada peserta kuliah Whatsapp, apakah para ibu merasakan hampa dalam hidupnya. Sebagian besar peserta ternyata menjawab bahwa mereka merasa hampa. Batin mereka terasa kosong, tak bermakna, dan menjadi merasa tidak bahagia.
Saya menanyakan hal tersebut karena kabarnya di era digital seperti sekarang, rasa hampa sangat rentan dialami masyarakat. Mengapa? Karena arus informasi mengalir deras, termasuk informasi dari media sosial terkait kehidupan para public figure yang kita kagumi.
Kita bisa melihat gaya hidup mereka secara detail. Seperti apa koleksi mobil mereka, pakaian, perhiasan, tas, sepatu, dan lain lain. Kita juga bisa tahu aktivitas mereka sehari-hari, dari mulai cara merawat wajah sampai apa menu makan mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak hanya public figure, kita juga bisa mengakses kehidupan teman-teman yang sebagian membuat kita terpesona. Jika kita tidak mantap akan diri kita sendiri, maka kita akan mudah sekali mengalami kebingungan dan kegelisahan. Lalu kita akan merasa hampa, merasa gagal, dan merasa hidup tak berguna.
Padahal rasa bahwa hidup kita bermakna bagi diri dan orang lain adalah kunci dari kebahagiaan. Sebagaimana yang disampaikan para pakar terkait kebahagiaan, di antaranya konsep ikigai dari Jepang, dan juga konsep logoterapi dari Victor Fankl.
Tahun 2021 adalah tahun kedua kita akan berjuang di masa pandemi. Akankah kita bisa melaluinya dengan baik? Apakah kondisi mental kita masih cukup sehat? Isu ini tampaknya belum segencar perhatian kita terhadap kesehatan fisik. Padahal kesehatan mental yang buruk akan berakibat buruk juga pada kesehatan fisik.
Bencana Nasional
Pandemi ditetapkan pemerintah sebagai bencana nasional, karenanya ditangani oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Saya setuju akan hal ini, karena memang benar adanya, dampak pandemik ini sama halnya dengan dampak bencana. Ada dampak jangka pendek maupun jangka panjang, baik secara fisik maupun mental. Apalagi masa pandemi ini sudah berlangsung sangat lama, dan hampir seluruh lapis masyarakat menjadi korbannya.
Ya, karena pandemi ini menyentuh banyak sekali sisi kemanusiaan, yaitu permasalahan kesehatan, keluarga, pendidikan, keuangan dan lain sebagainya. Saya berharap ada program sistematis terkait hal ini di lingkup yang luas yaitu nasional. Pemerintah bisa mengalirkan program-program terkait kesehatan mental ini melalui sekolah-sekolah maupun elemen masyarakat lainnya.
Kader PKK di posyandu bisa digerakkan. Kalau memungkinkan di tiap puskesmas disiapkan psikolog atau konselor, baik tim profesional maupun relawan. Bentuk kader penggiat kesehatan mental di masyarakat. Berikan pelatihan kepada para penggiat ini agar mereka bisa menyelenggarakan forum konsultasi baik secara individual maupun berkelompok, dan juga menyelenggarakan kegiatan kegiatan yang bisa mengalirkan emosi masyarakat yang sudah sangat penat, tentu dengan tetap menegakkan protokol kesehatan.
Saya pribadi sebagai pengelola sekolah, pada 2021 ini akan lebih intensif memberikan perhatian pada kondisi kesehatan mental siswa dan juga guru. Siswa akan dibimbing untuk memahami bahwa setiap individu unik dengan segala kekuatan dan keterbatasannya. Siswa akan dibimbing untuk mengenali kekuatan dan keterbatasan diri, termasuk juga mengenali cara agar untuk mengoptimalkan kekuatan dan merancang strategi terhadap keterbatasan yang mereka miliki.
Pemahaman ini akan membantu mereka menerima diri secara utuh, sampai akhirnya menemukan makna hidup mereka. Apa tugas mereka di dunia, peran apa yang akan diambil, apa tujuan hidup mereka, termasuk cita cita yang akan mereka kejar untuk dicapai.
Individu yang menerima dirinya dengan sepenuh hati, menghargai secara utuh baik kekuatan maupun keterbatasan mereka, memahami apa makna hidup mereka akan memiliki self worth yang baik. Self worth adalah istilah dalam psikologi yang menunjukkan seberapa besar seorang individu menghargai dirinya secara utuh.
Sosok individu yang memiliki self worth yang tinggi akan menjadi pribadi yang optimis, dan memiliki cara pandang bertumbuh (growth mind set). Sebaliknya sosok individu dengan self worth yang rendah akan menjadi pribadi yang kurang percaya diri, minder, pesimis, takut gagal, dan juga sensitif terhadap saran dari orang lain.
Akar permasalahan kesehatan mental banyak sekali berawal dari self worth yang rendah. Karenanya penting sekali sekolah membangun iklim belajar yang lebih banyak memberikan apresiasi dan juga sangat minimal memberikan kritik pada siswa.
Prinsip yang sering saya sampaikan kepada guru, agar memiliki cara yang sama dalam membangun pribadi siswa yang lebih sehat mentalnya adalah "gigit lidah", tahan diri dari mengucapkan kritik pada anak.
Lalu bagaimana agar anak bisa memperbaiki diri jika kita tidak memberikan kritik? Sungguh masih banyak cara lain, di antaranya dengan memberikan contoh karya yang berkualitas pada anak, hingga akhirnya anak akan mengetahui standar kualitas kerja yang perlu dicapai.
Sekolah perlu membangun kerja sama dengan orangtua agar orangtua bersedia memberikan kepercayaan pada anak anak mereka agar tetap mandiri belajar. Diharapkan orangtua tidak mengerjakan tugas anak anak mereka, karena hal ini sesungguhnya akan sangat merusak mental anak.
Selain itu perlu ada upaya bersama untuk menangani dampak dari peningkatan durasi waktu penggunaan gawai. Perlu ketegasan akan aturan yang kita sepakati dengan anak. Durasi waktu penggunaan gawai saat mereka belajar dari rumah tentu wajar jika lebih panjang dari sebelumnya. Hal ini tidak mengapa, yang penting ada aturan yang memudahkan orangtua dan anak untuk mengendalikan situasi.
Tentu masih banyak bentuk program yang perlu diselenggarakan untuk membangun kesehatan masyarakat. Jika hal ini dilakukan secara masif oleh seluruh elemen masyarakat akan sangat bermanfaat untuk kita semua. Kesehatan mental yang baik akan membuat bangsa ini akan jauh lebih produktif, dan karyanya akan tersebar hingga ke seluruh penjuru dunia.
Lita Edia Harti, S.Psi alumnus Psikologi Unpad, Direktur Sekolah RA - SDIT Amal Mulia Depok