Tahun 2020 menjadi tahun yang buruk dalam sejarah peradaban manusia abad modern. Negara-negara di dunia mengalami krisis besar akibat pandemi Covid-19. Tragedi yang sebelumnya tak pernah terduga meskipun hanya dalam imajinasi kita. Manusia dibuat lumpuh tak berdaya di hadapan makhluk mikroskopis. Prestasi gemilang atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seketika runtuh karena sampai saat ini belum mampu memberikan jawaban pasti.
Sepanjang tahun 2020, kita semua telah menyaksikan dampak pandemi Covid-19 yang begitu mengenaskan. Kematian datang menjemput manusia setiap waktu. Angka kemiskinan meningkat kian pesat. Kesejahteraan hidup hanya sebatas utopia. Berjuta-juta jiwa manusia kesulitan mencari makan. Kecemasan dan ketakutan selalu membayang-bayangi. Kejahatan merajalela dan moralitas dibunuh hanya untuk bertahan hidup. Sungguh satu tahun yang kelam dan terasa amat panjang.
Di Indonesia sendiri, kasus Covid-19 semakin serius dan memprihatinkan. Angka kematian dan kasus positif terus mengalami peningkatan. Bahkan pada Desember lalu, kasus Covid-19 lebih tinggi daripada bulan-bulan sebelumnya. Hingga Minggu (3/1/21), tercatat total kasus positif bertambah menjadi 765.350 dan sebanyak 22.734 orang meninggal dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus yang terus melonjak naik ini menyisakan satu pertanyaan penting, bagaimana keseriusan dan langkah kongkret pemerintah dalam menangani pandemi? Padahal pada 16 April tahun lalu Presiden Jokowi amat yakin bahwa pandemi akan selesai akhir tahun. Tetapi sepertinya hanya pidato retorik yang mencoba menghibur masyarakat di tengah gejolak kecemasan. Realitas di lapangan sangat jauh dari optimisme. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah terlalu menganggap remeh dan terkesan lamban dalam mengatasi pandemi.
Sejak awal kemunculannya pada Maret 2020 lalu, berbagai tindakan preventif telah dilakukan sejumlah elemen masyarakat untuk meredam laju penyebaran virus. Pemerintah melarang adanya kerumunan massal dan membatasi ruang gerak sosial. Anjuran pakar medis untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan tak pernah berhenti digalakkan. Namun kebijakan yang diharapkan dapat memulihkan kesehatan justru berdampak pada berbagai bidang kehidupan, mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial, politik, bahkan agama sekalipun.
Kebijakan stay at home dan work from home menimbulkan masalah baru. Para pekerja lapangan terkena imbasnya, sehingga kesulitan memperoleh penghasilan. Belum lagi para pekerja kantoran terpaksa diberhentikan karena perusahaan bangkrut. Penerapan new normal yang dimulai pada Juni lalu belum mampu memulihkan perekonomian dan memajukan kesejahteraan hidup masyarakat. Masih banyak orang yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Di sisi lain pada masa new normal, perihal kesehatan seolah terabaikan sehingga menimbulkan peningkatan kasus.
Krisis Kemanusiaan
Kompleksitas problematika pandemi yang terjadi pada 2020 sebenarnya mengarah kepada satu hal paling esensial, yaitu krisis kemanusiaan. Di situasi genting seperti ini, masalah kemanusiaan diabaikan dan dianggap tak penting. Banyak orang yang sibuk menuruti egonya daripada memikirkan nasib sesama. Bahkan tak sedikit yang sengaja menumbangkan kehidupan orang lain demi kepentingan pribadi.
Dampak pandemi Covid-19 menyulitkan semua orang, tak peduli status sosialnya apa. Setiap orang berpikir keras untuk bisa memenuhi kebutuhannya dan mempertahankan hidupnya. Segala cara akan dilegalkan demi mendapatkan sepeser uang, sekalipun menggunakan tindakan kriminal seperti perampokan, pencurian, dan penipuan. Kriminolog UI Reza Indragiri mengatakan bahwa keterbatasan gerak membuat masyarakat banyak yang tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurutnya, rasa frustrasi inilah yang bisa memicu seseorang untuk melakukan tindak kekerasan dan kejahatan. (cnnindonesia.com, 25/4/20).
Hal yang lebih mengejutkan dan membuat kita mengelus dada yakni kasus korupsi yang dilakukan Menteri Sosial Juliari Batubara. Pada 6 Desember lalu, KPK menetapkan Juliari sebagai tersangka atas dugaan suap bantuan sosial (bansos) penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek. Ia diduga menerima uang suap sebesar Rp 17 miliar dari perusahaan rekanan yang menggarap proyek pengadaan dan penyaluran dana bansos (detikcom, 6/12/20).
Peristiwa itu tentu menjadi cambukan yang menyakitkan bagi kita. Hak milik rakyat dirampas seenaknya tanpa memikirkan nasib jutaan orang yang dilanda kelaparan dan kemiskinan. Bansos sebagai satu-satunya harapan untuk memenuhi kebutuhan hidup diambil demi kepentingan pribadi. Dengan adanya kasus korupsi tersebut, pemerintah telah mengkhianati kepercayaan rakyat. Kejadian miris yang telah mematikan fitrah kemanusiaan.
Di masa pandemi ini, penindasan sesama manusia sudah tak terelakkan lagi. Kesenjangan sosial terjadi akibat orang yang memanfaatkan situasi krisis sebagai peluang bisnis yang menguntungkan individu atau kelompok tertentu dan merugikan orang lain. Orang yang bernalar demikian pada dasarnya tidak memiliki rasa empati dan kehilangan naluri kemanusiaannya.
Dalam kondisi seperti ini masih banyak individu yang menonjolkan egoisme dan menciptakan kesenjangan sosial. Dengan sengaja mengambil peruntungan dari penderitaan orang lain. Seolah tertawa sendirian di saat yang lain sedang menangis meratapi nasib. Padahal semuanya berada dalam masalah yang sama. Mengapa tidak memilih untuk mengulurkan tangan dan saling bekerja sama untuk menyelesaikan permasalahan ini?
Menjadi Manusia Seutuhnya
Di tengah krisis multidimensi akibat pandemi, naluri kemanusiaan kita sedang diuji. Sejumlah permasalahan yang ada telah meredupkan sikap solidaritas. Kebutuhan hidup masyarakat yang sulit terpenuhi merangsang kesadaran kita sebagai makhluk sosial. Kita patut bertanya, sampai sejauh mana kita menjalankan fitrah kita sebagai manusia? Manusia yang menjadi bagian dari manusia lainnya, yang saling membantu satu sama lain dan menjunjung tinggi solidaritas.
Menghadapi pandemi Covid-19, kasih sayang dan kepedulian antarsesama haruslah menjadi dasar atas setiap tindakan sosial. Dalam karya fenomenalnya Muqoddimah, filsuf Islam Ibnu Khaldun menjelaskan tentang konsep ashabiyyah (saling menjaga dan melindungi). Ketika diperlakukan tidak adil, disakiti, atau mengalami musibah, masyarakat harus menunjukkan empati dan solidaritas yang kuat terhadap sesama. Jika satu kelompok merasakan sakit, maka kelompok lain juga merasakan hal sama. Kelompok-kelompok dalam masyarakat diibaratkan organ-organ dalam satu tubuh. Kepentingan sosial umum harus berada di atas kepentingan sosial kelompok.
Pandemi Covid-19 menjadi panggilan bagi kita semua untuk menumbuhkan sikap kepedulian sosial. Karena pada dasarnya manusia hidup secara bersama-sama dan saling membutuhkan satu sama lain. Memikul beban sendirian tentu akan terasa berat. Maka sebisa mungkin kita harus bersama-sama mengulurkan tangan dan membantu sesama. Bantuan berupa apa pun pasti tetap bernilai dan dapat meringankan beban.
Kita semua telah melewati masa-masa sulit pada 2020. Dan, kini kita baru saja menginjakkan kaki di tahun 2021. Cerita kelam di tahun lalu menjadi bahan pembelajaran berharga yang tak boleh dilupakan. Saatnya membuka lembaran baru, melangkah menuju kehidupan yang lebih baik. Doa dan harapan di awal tahun akan menjelma kekuatan yang dapat membangkitkan kita dari keterpurukan.
Di tengah krisis yang menyulitkan kehidupan manusia, ada satu pertanyaan penting yang selalu kita nantikan jawabannya. Kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir? Jawabannya adalah kapan kita akan menyadari hakikat kita sebagai manusia? Manusia seutuhnya yang berhenti menindas sesama, mewujudkan solidaritas dan kepedulian sosial, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Athok Mahfud mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Walisongo Semarang, Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) IDEA