Tak lama setelah dilantik, Menteri Agama yang baru segera menyatakan akan melindungi kelompok minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah. Namun tak lama setelah itu ia membuat pernyataan klarifikasi bahwa perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan sebagai warga negara, bukan sebagai jamaah. Bagi saya, klarifikasi itu justru membingungkan. Apa yang mau dia sampaikan?
Indonesia bukan negara agama, dalam arti konstitusi dan hukumnya tidak berdasarkan pada ajaran suatu agama. Namun negara tidak pula sama sekali berlepas tangan soal agama warga negara. Negara terlibat secara intensif dalam urusan keagamaan warga negara, dan untuk itu disediakan anggaran yang besar. Satu hal yang tidak pernah jelas ditekankan oleh pemerintah adalah sampai sejauh mana pemerintah terlibat dan boleh terlibat dalam urusan keagamaan warga negara.
Idealnya negara berperan sebagai pelayan yang menyediakan kebutuhan setiap warga negara untuk menjalankan aktivitas terkait imannya. Misalnya, menyediakan sarana ibadah, membantu pengorganisasian pelaksanaan ibadah bila ibadah tersebut melibatkan orang dalam jumlah besar seperti pelaksanaan ibadah haji. Yang paling penting adalah negara memberikan jaminan atas terlaksananya hak itu, yaitu jaminan keamanan, bebas dari gangguan dan halangan oleh pihak lain. Negara tidak berperan dalam hal kandungan iman atau kepercayaan warga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayangnya, peran negara sering kali tidak demikian. Negara sering tidak hadir ketika kelompok-kelompok minoritas dizalimi. Bahkan negara turut campur dalam soal kandungan iman dan kepercayaan warga. Dalam kasus Syiah Sampang dan Ahmadiyah, negara membiarkan kezaliman yang menimpa umat kedua kelompok itu. Lebih jauh lagi, pemerintah mengeluarkan dokumen resmi yang melarang ajaran Ahmadiyah.
Ahmadiyah dan Syiah dianggap sesat oleh kelompok-kelompok arus utama muslim Indonesia. Menganggap suatu kelompok sesat sebenarnya bukan masalah. Kita bisa memandangnya sebagai suatu bentuk kebebasan berpendapat. Yang jadi masalah adalah ketika suatu kelompok, tak peduli besar atau kecil, memaksakan pandangan atau tafsir mereka atas kelompok lain. Terlebih pemaksaan itu dilakukan dengan kekerasan. Ini jelas tindakan melanggar hukum. Sayangnya, pemaksaan itu mendapat dukungan resmi dari pemerintah, meski pemerintah terus menekankan agar tidak terjadi pemaksaan atau teror fisik yang melanggar hukum.
Pernyataan Menteri Agama tadi bagi saya membingungkan. Kalau dia mengatakan melindungi setiap warga negara, seharusnya termasuk melindungi hak mereka untuk memilih kandungan iman yang mereka mau, tanpa tekanan dari pihak lain. Artinya, orang Syiah dan Ahmadiyah berhak menganut ajaran mereka, meski dianggap sesat oleh kelompok lain. Tapi pernyataan tambahan "bukan sebagai jamaah" tadi menjadi pernyataan yang menggantung, seakan masih akan diberi ruang untuk mengevaluasi ajaran kedua kelompok tersebut.
Negara tidak boleh mencampuri kandungan iman warga negara. Itu jelas menyalahi prinsip hak asasi manusia. Tidak pula negara boleh membiarkan suatu kelompok, tak peduli berapa besar kelompok itu, mencampuri kandungan iman kelompok lain. Prinsip inilah yang harus ditegaskan oleh Menteri Agama. Selama ini soal tersebut tidak pernah ditegaskan. Negara cenderung menuruti kehendak kelompok mayoritas.
Hal yang sama terjadi terhadap minoritas lain di luar Islam. Banyak yang ibadahnya diganggu, izin mendirikan rumah ibadah tidak kunjung diperoleh, ibadah di rumah tidak diizinkan. Yang lebih parah, rumah-rumah ibadah dirusak. Hak warga negara untuk beribadah menjadi sangat terbatas.
Pangkal masalahnya ada di SKB menteri yang masih berisi kandungan yang membenarkan sesama warga terlibat secara horizontal dalam urusan peribadatan dan rumah ibadah umat lain. Perlu ketegasan dari Menteri Agama untuk secara formal menuntaskan masalah ini.
Soal lain adalah soal korupsi di dalam tubuh Kementerian Agama, baik di pusat maupun daerah. Ini pun tugas yang tidak kalah rumit, mengingat korupsi itu sudah berakar selama puluhan tahun.
Kemudian soal arah keberagamaan di Indonesia. Agama seharusnya menjadi penerang dan pembimbing manusia Indonesia untuk menjadi manusia yang lebih baik, mengasihi sesama manusia terlepas dari apa iman mereka, memandu untuk bekerja keras dan cerdas, guna mencapai kesejahteraan. Sayangnya, peran-peran itu tidak begitu menonjol. Agama lebih sering tampil terbatas di ruang-ruang ritual, yang tidak memberi pengaruh besar pada kualitas hidup manusia.
Ringkasnya, ada begitu banyak tugas substansial yang sangat berat di hadapan Menteri Agama. Rakyat, khususnya kaum minoritas menunggu Pak Menteri untuk membuat perubahan yang berarti.
(mmu/mmu)