Setelah merantau ke Surabaya selama empat tahun lebih, akhir tahun 2019 lalu saya kena PHK dari tempat saya bekerja. Saya pun memutuskan untuk meninggalkan kota pahlawan dan menetap di kampung. Keputusan ini diambil karena saya sudah merasa tidak betah kerja di kota besar. Alasan-alasan klise seperti biaya hidup yang mahal, kesulitan bermasyarakat, kemacetan dan polusi telah memantapkan hati saya untuk kembali ruralisasi alias pulang kampung.
Sesampainya di kampung, yang saya rasakan pertama kalinya adalah saya seperti sedang menjalani liburan panjang tanpa batas waktu. Maklum, sewaktu bekerja dulu, hari libur adalah peristiwa yang langka. Rencana-rencana holiday trip langsung bermunculan. Saya berniat menjelajahi tempat-tempat asing yang belum sempat saya kunjungi. Tapi apalah daya. Belum sempat saya realisasikan rencana-rencana perjalanan itu, wabah virus Corona sudah lebih dulu menyebar.
Pemberlakuan pembatasan sosial dan imbauan menghindari kerumunan mulai diberlakukan di kota maupun desa. Rencana mbolang saya pun gagal total. Ketika semua orang mulai membiasakan diri bekerja dari rumah, saya juga mencoba mencari kesibukan di rumah. Namun sayangnya, kesibukan-kesibukan itu tidak ada yang menghasilkan uang. Saya pun mulai menyadari perubahan status saya yang dulunya karyawan tetap, kini jadi pengangguran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bulan demi bulan berlalu tanpa income, benar-benar nir pemasukan, sementara pengeluaran tetap minta jatah. Pada awalnya, pandemi corona saya jadikan dalih menganggur, biar tidak merasa bersalah-bersalah amat ketika banyak menghabiskan waktu di rumah tanpa hasil. Sekali-kali saya membantu orangtua menggarap sawah.
Tapi sebagai orang yang biasa hidup di kota, sebagai pekerja kantoran terutama, saya tidak cakap melakukan pekerjaan orang desa seperti bertani atau mengurusi ternak yang lebih banyak membutuhkan kerja otot itu. Saya kadang iri melihat tetangga-tetangga sekitar rumah. Meskipun pekerjaannya hanya menggarap sawah dan beternak dua-tiga kambing, setidaknya mereka ada kegiatan rutin setiap pagi dan sore.
Rutinitas di luar rumah seperti itulah yang melepaskan mereka dari predikat pengangguran. Setidaknya ketika malam tiba, badan mereka sudah capek. Mereka bisa istirahat dengan perasaan puas atas apa yang sudah dilakukan hari itu tanpa perlu berpikir besok mau melakukan apa.
Kepercayaan Memudar
Dampak terlalu lama menganggur di kampung juga berdampak secara psikologis dan sosial. Secara psikologis, kepercayaan diri saya berangsur-angsur menurun. Secara sosial, kepercayaan dan respek masyarakat kepada warga kampung tanpa status pekerjaan yang jelas seperti saya ini biasanya juga memudar seiring dengan penurunan kemampuan finansial saya.
Di tengah kegalauan pikiran saya, suatu pagi bapak saya bilang ke saya, "Le, ayo ikut bapak ngecek tabungan." Saya agak kaget. Ada dua kemungkinan mengapa bapak saya perlu cek tabungan: antara baru dapat kiriman uang atau justru mau tarik tunai. Kalau kemungkinan pertama yang benar, jelas itu bukan saya yang kirim. Lha wong sudah berbulan-bulan saya sendiri nggak tega ngecek rekening pribadi kok.
Kalau pun kemungkinan kedua yang benar, saya jadi merasa bersalah karena sebagai anak yang sudah dewasa, saya tidak mampu membantu orangtua secara materi ketika mereka membutuhkan. Saya pun bersiap-siap ganti baju yang rapi sebelum berangkat ke bank atau ATM terdekat. Tapi belum selesai saya mengancingkan baju, bapak saya yang sedang memegang meteran kain dengan muka senyum-senyum langsung memotong, "Ndak usah rapi-rapi. Lha wong kita mau ke hutan kok."
Oalah! sambil nyengir, saya pun baru ngeh kalau yang dimaksud ngecek tabungan sama bapak saya itu tidak lain tidak bukan adalah mengukur pertumbuhan pohon-pohon kayu yang tumbuh di hutan di dusun sebelah. Dan, benar saja. Setibanya di hutan saya disuruh menyapu daun-daunan yang gugur menutupi jalan. Jalan itu juga berfungsi sebagai garis pembatas tanah dengan tanah milik orang lain.
Kata bapak saya, daun-daun itu perlu disapu sebagai langkah antisipasi kebakaran hutan. Jadi jika ada bagian hutan yang terbakar (biasanya karena ada orang yang buang puntung rokok sembarangan), api tidak sampai menjalar ke lahan bapak saya itu. Insiden kebakaran itu pernah terjadi puluhan tahun yang lalu. Seluruh isi hutan ludes terpanggang api, hanya menyisakan batang-batang pohon yang separuhnya sudah jadi arang.
Luas lahan milik bapak saya sekitar satu setengah lapangan bola dan isinya campuran pohon kayu berbagai jenis dan ukuran. Terakhir kali saya diajak ke hutan itu ketika saya masih SD, sekitar 20 tahun yang lalu. Kini isinya sudah banyak berubah. Pohon mlinjo dan bambu yang ada di bayangan saya kini sudah hilang, berganti pohon-pohon mahoni dan jati yang dulu belum ada.
Bapak saya menghampiri pohon sonokeling yang agak besar, lalu melilitkan meteran ke batangnya. Dia rutin mengukur pertumbuhan kayu setidaknya setahun sekali. Sambil menunjuk ke pohon di sebelahnya dia bilang, "Yang sebesar itu kalau dijual sudah bisa buat beli motor satu. Atau kalau buat makan, cukup buat makan setahun."
Lalu bapak saya berjalan menghampiri kubangan tanah yang berdiameter lebih dari satu meter. Lubang itu adalah tonggak bekas penebangan pohon sonokeling yang paling besar. Dari menebang pohon-pohon itu, bapak saya bisa membiayai kuliah adik saya hingga lulus. Waktu itu harganya masih murah, belum semahal sekarang. Jika dijual sekarang, harganya pasti sudah mendekati ratusan juta. Wah ternyata bapak saya lebih kaya dari yang saya kira selama ini.
Harga pohon sonokeling (Java palisander) memang sedang tinggi harganya. Gosipnya, kayu ini biasanya diekspor ke Jepang atau Korea Selatan sebagai bahan pembuatan lantai kayu atau parket. Pohon yang diameternya sekitar 30 senti saja sudah laku 6-7 jutaan.
Kini saya tahu sebabnya kenapa tetangga-tetangga saya yang penghasilannya tidak sebesar pekerja di kota tetap bisa menjalani hidup dengan tenang. Ya, karena sebenarnya mereka punya tabungan yang nilainya bahkan lebih besar dari rekening para pekerja di perantauan. Kalau sudah benar-benar kepepet nggak punya uang, mereka baru akan menebang satu-dua batang.
Bagi orang desa, memiliki uang tunai dalam jumlah banyak bisa jadi sumber ketidaktenteraman. Karena punya uang bisa mengundang pencuri, perampok, bahkan tuyul. Sementara menabung dalam wujud pohon, selain harganya yang cenderung naik dari tahun ke tahun, kasus pencurian pohon yang dilakukan oknum manusia maupun makhluk halus belum pernah terjadi di kampung saya.
Saya pun kepikiran untuk mengikuti jejak bapak saya, yaitu menabung pohon untuk diwariskan ke anak-cucu kelak. Buat pengangguran terselubung yang tidak punya gaji tetap seperti saya, mendaftar asuransi pensiunan hari tua atau sekedar menambah saldo rekening terasa sungguh berat. Menanam pohon adalah investasi masa depan yang saat ini paling masuk di akal saya.
Yobi Sardyanto penulis lepas
(mmu/mmu)