Ketika keseluruhan kehidupan berjalan melambat, kita justru merasakan waktu berjalan cepat. Tiba-tiba sudah di pengujung tahun. Tiba-tiba tahun sudah akan berganti. Apa yang telah kita lakukan pada hari-hari kemarin? Ke mana saja kita pergi? Apakah kita masih sibuk seperti biasanya? Dunia mengulang dirinya sendiri, setepat-tepatnya, dan selama-lamanya, kata fisikawan dan novelis Alan Lightman.
Para pedagang dan pembeli saling menawar harga. Para politikus mencalonkan diri untuk kedua kalinya. Seorang kepala daerah tertangkap KPK lagi karena dugaan korupsi. Mubaligh dan pendeta menyerukan hal yang sama berulang-ulang dari atas mimbar. Pasangan-pasangan muda menikmati tawa pertama anak mereka dengan perasaan bangga dan bahagia yang tak terkatakan. Seorang pekerja kelas menengah, dengan busana kantoran yang licin-rapi, mengejar kereta yang sama setiap pagi, meninggalkan suara detak sepatu yang menggema di lantai trotoar.
Waktu adalah lingkaran yang mengitari dirinya sendiri. Tapi, waktu seperti aliran air, kadang terbelokkan oleh secuil puing, oleh tiupan angin sepoi-sepoi. Ingatkah kau, apa yang terjadi ketika sebuah gangguan kosmik menyebabkan anak sungai waktu berbalik dari aliran utama menuju ke aliran sebelumnya? Burung-burung, tanah, dan orang-orang yang berada di anak sungai itu menemukan diri mereka tiba-tiba terbawa ke arus masa silam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan, kau bisa melihat, orang-orang yang tersangkut ke masa silam itu sangat mudah dikenali. Seperti aku, mereka mengenakan busana berwarna gelap, suram, dan berjalan berjingkat-jingkat, berusaha untuk sama sekali tidak mengeluarkan suara dan berusaha untuk tidak menginjak sehelai rumput pun. Begitulah, seperti biasa, aku bangun ketika hari sudah tidak pagi lagi, dan hal pertama yang kulakukan, tentu saja, seperti juga dilakukan oleh semua manusia di dunia pada masa kini, mengecek "memories" di Facebook.
Aku mendapati sejumlah foto yang mengingatkanku bahwa pada tanggal-tanggal sekian ini, menjelang hari-hari terakhir bulan Desember yang dingin dan berangin kencang, biasanya aku sudah berada di Solo, duduk di sisi pohon Natal di rumah kami di kampung yang tenang di Nayu, berbincang dengan kakak dan keponakanku yang baru saja pulang dari misa di gereja sebelah rumah, membawa sekotak kue.
Foto lain mengingatkanku bahwa akhir tahun adalah saat untuk meng-charge kembali harmoni keseimbangan jiwa. Di dunia maya kita tak henti dihajar berita-berita intoleransi dan segala macam peristiwa yang membuat kita merasa bahwa dunia dari hari ke hari semakin menjadi tempat yang tak nyaman. Di dunia nyata, akhir tahun memberi kita kedamaian. Melihat kerumunan orang pulang dari gereja. Berjalan-jalan di pasar malam Sekaten di alun-alun keraton, dan melihat gamelan yang ditabuh di bangsal kiri dan kanan di pelataran Masjid Agung.
Aku melihat kembali diriku ada di sana pada tahun-tahun yang telah lalu. Betapa aku merindukannya; duduk ndhepipis mendengarkan Kiai Guntur Madu dan Nyai Guntur Sari --yang hanya dikeluarkan setahun sekali dari tempat penyimpanan benda-benda pusaka-- ditabuh bergantian bersahut-sahutan dari jam satu siang sampai tengah malam. Aku ngelesot di antara bapak-bapak tua yang sudah tertatih-tatih jalannya, di antara ibu-ibu berjilbab yang sudah sepuh, yang datang dari desa-desa yang jauh, dan anak-anak muda yang tak henti menjepretkan kamera dari handphone-nya.
Aroma daun sirih, tembakau, kembang kanthil yang dijajakan oleh perempuan-perempuan berkebaya di bawah pohon tanjung berbaur dengan bau menyan yang meruap dari arena tempat gamelan ditabuh. Aku seperti berada di dunia lain, atau berkali-kali hilang dari diriku sendiri, terseret ke dalam labirin bebunyian yang awalnya terasa malas-malasan, namun lambat-laun bunyi-bunyi tetabuhan itu seolah berkejaran, atau mengejar sesuatu, dan menggulungku ke dalam pusaran serupa lorong, di masa entah kapan, mungkin sebelum terciptanya waktu dan alam semesta.
Lalu aku tersadar, liburan Natal dan Tahun Baru kali ini aku memutuskan untuk tidak pulang dulu, juga tidak membuat rencana pergi ke mana-mana. Tidak, bukan aku yang memutuskan, melainkan waktu. Kau tahu, di dunia ini ada dua jenis waktu. Waktu mekanis dan waktu tubuh. Waktu yang pertama kaku, laksana pendulum besi raksasa yang berayun maju mundur. Waktu yang kedua bergeliat-geliut seperti ikan cucut di teluk. Waktu yang pertama tak dapat ditolak, telah ditetapkan sebelumnya. Waktu yang kedua mengambil keputusan sekehendak hati.
Aku duduk di rumahku di Pondok Labu, memandangi dari balik kaca jendela, anak sungai waktu yang mengalir pelan, tanpa suara gemericik, tak meninggalkan gema apa-apa selain kesunyian. Sebatang pohon ciplukan tumbuh di antara batu-batu, subur menjulang dengan buah-buah kuncup mungil bergelantungan. Pohon pepaya yang kutanam dalam pot belum juga berbunga, sementara pohon tomat ceri yang kutumbuhkan dari biji yang yang kutebar, akhirnya mengering dan mati.
Hari-hari belakangan ini aku mulai malas dan bosan memasak. Bahkan aku merasa kehilangan selera makan. Aku seperti pohon tomat ceri yang mengering. Tapi aku tidak mati, aku tahu itu. Aku hanya jadi sering membayangkan, suatu tempat di mana waktu berhenti. Adakah tempat semacam itu?
Di tempat di mana waktu berhenti, pohon tomat ceri tidak bisa mengering. Butiran air hujan kaku di udara. Jarum jam diam di angka yang sama. Kucing-kucing enggan mengangkat kepalanya dari lantai yang hangat oleh sinar matahari di ambang pintu. Pekerja kelas menengah, dengan busana kantoran yang licin-rapi tadi, tidak perlu bergegas mengejar kereta --tidak ada suara detak sepatu menggema di trotoar; tidak ada kereta yang dikejar. Aroma bubur ayam, ketupat sayur, nasi uduk, nasi kuning, dan ketan serudeng tertahan di udara.
Di tempat di mana waktu berhenti, tak diperlukan lagi memori, sebab setiap pembicaraan yang pernah terlontar dari mulut kita akan abadi. Aku jadi teringat perdebatan kecil dengan seorang teman. Aku bilang, syarat tes swab antigen yang ditetapkan oleh pemerintah tidak mengurangi jumlah orang yang akan melakukan perjalanan maupun liburan pada musim libur akhir tahun ini, di tengah pandemi ini, tapi justru menciptakan kerumunan-kerumunan antrean di bandara dan stasiun yang berpotensi menjadi kluster-kluster baru penularan virus.
Teman itu menimpali: walaupun dunia sudah memberlakukan lockdown berkali-kali sejak awal dan "new normal" telah lama diberlakukan, ternyata jumlah pasien terinfeksi virus tetap saja bertambah bahkan kluster baru pun semakin bermunculan.
Aku membalas: memang akan serba salah, tapi minimal bikin kebijakan jangan setengah-setengah. Kalau pemerintah memang mau "membatasi ruang gerak" masyarakat, mestinya benar-benar "dipersulit" sekalian. Tapi, selalu ada celah. Kenapa tidak diwajibkan tes dulu di klinik misalnya, sehingga orang pergi ke bandara/stasiun tinggal membawa hasilnya?
Teman itu kembali menyanggah dengan mengatakan bahwa hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di Inggris malah beritanya lebih ngeri dan bahkan virusnya katanya telah bermutasi. Intinya mau kebijakannya seperti apapun, mau total atau setengah-setengah, virus ini tetap saja tak terkalahkan. Dunia memang sudah kodratnya kacau saja.
Aku memikirkan kembali kata-kata temanku. Aku membayangkan dunia yang kacau. Dalam dunia yang kacau yang kubayangkan, aku melihat waktu kehilangan makna. Masa depan menjadi kabur, seperti pucuk pohon yang diselimuti kabut. Seperti kota-kota yang selalu diguyur hujan pada tengah hari. Kau tak bisa lagi membedakan antara siang dan malam. Bayangan itu membuatku ingin menyeduh kopi lagi, karena mungkin kopi yang kuseruput pagi tadi adalah kopi terakhirku.
Bayangan itu juga membuatku tiba-tiba ingin membuat rencana berlibur, melewatkan barang satu malam saja. Mungkin dengan hanya menikmati suasana hotel, di sebuah kota di kaki gunung, untuk menunggu tahun berganti, untuk melihat kembang api pada malam pergantian tahun, seperti tokoh tua yang kesepian dalam novel-novel Kawabata. Agar aku bisa berkata bahwa satu tahun itu tidak lama, karena kita baru saja melewatinya, walau sendiri, walau dalam kekacauan.
Mumu Aloha wartawan, penulis, editor
(mmu/mmu)