Liburan seakan wajib. Termasuk pada akhir tahun yang dikenal dengan libur Natal dan Tahun Baru. Kota besar seperti Jakarta biasanya ditinggalkan penghuninya. Tak hanya mereka yang merayakan Natal, sebagian besar orang dan keluarga menyiapkan rencana liburan. Banyak orang pergi liburan karena benar-benar merasa butuh. Ada pula yang ikut-ikutan. Termasuk numpang liburan ke kampung orang jika ia tak punya kampung halaman.
Pada saat normal, akhir tahun juga berarti pembagian bonus dan THR. Tak salah untuk menyenangkan diri sendiri dan orang-orang terdekat dengan liburan seru. Wajar kita belanjakan THR dan tabungan kita demi memenuhi kebutuhan rekreasi sekaligus menggerakkan ekonomi saudara-saudara kita di daerah, di sekitar destinasi wisata, dan mereka yang secara langsung atau tidak langsung mata pencahariannya berkait dengan urusan liburan.
Orang ingin bersenang-senang, kalau perlu selama bulan Desember. Kerja keras setahun atau setengah tahun seakan memerlukan kompensasi. Mental yang jenuh perlu rekreasi. Apalagi banyak tawaran di dunia maya terutama sosial media destinasi yang menggoda hati. Diperlukan tekad yang kuat hingga saya meminjam istilah jihad untuk puasa liburan dulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa hendak dikata, liburan juga menjadi ajang aktualisasi dan peneguhan eksistensi. Semakin menarik posting-an foto dan video liburan akan menjadi bukti bahwa seseorang lebih eksis dan kaya pengalaman dibanding orang lain. Dalam sekejap pengalaman dan keindahan dibagi melalui jejaring digital. Lalu teman-teman memuji dan bahagia pun mampir sejenak di hati sang pelancong narsis yang tengah haus dipandang eksis.
Bahkan liburan semakin menjadi kebutuhan bagi masyarakat dari segenap lapisan sosial ekonomi. Apalagi bagi kelas menengah yang memang memiliki anggaran sangat memadai untuk melancong. Kondisi ekonomi negara yang terpuruk tak menyurutkan niat mereka membelanjakan rupiah untuk menghabiskan akhir tahun sebagai momen yang berkesan. Namun pandemi menjadi alasan kuat bagi siapa saja untuk menahan diri demi keselamatan bersama terutama orang-orang yang kita sayangi.
Liburan akhir tahun sah-sah saja. Namun tidak untuk akhir tahun ini saat pandemi masih belum terkendali. Pada liburan tahun ini sebaiknya kita di rumah saja. Atau setidaknya jangan bepergian jauh, berkumpul, atau berkerumun. Memang berat untuk tidak liburan. Perlu semangat jihad yang tinggi untuk bertahan di rumah. Tapi bayangkan jihad yang harus dilakukan para nakes.
Toh pandemi sudah menjadi libur panjang. Banyak aktivitas usaha, kerja, dan sekolah yang harus dilakukan di rumah. Atau setidaknya berkurang intensitas ngelapak dan ngantornya. Libur yang bukan libur. Bukan libur, tapi banyak nganggurnya. Kita semua semestinya cukup terpenuhi dalam hal kebutuhan rekreatif.
Risiko liburan berarti menghadang bahaya. Vaksinasi belum dimulai meski 1,2 juta vaksin sudah mendarat di gudangnya Biofarma. Tular-menular virus akan semakin merebak manakala banyak yang mudik atau berinteraksi di area publik. Kan kita nggak ingin orangtua kita tertular Covid apalagi bila mereka komorbid. Plus sudah sepuh dengan berbagai penyakit degeneratif.
Buat apa liburan kalau itu berarti ancaman risiko bagi kita dan orang lain. Kita mestinya memperkuat empati pada para nakes. Juga tetap kewaspadaan tinggi demi keselamatan pribadi. Fasilitas kesehatan sudah kewalahan menghadapi lonjakan kasus terutama di daerah. Ruang ICU untuk Covid sudah penuh di mana-mana. IGD seperti kamar mayat. Bangsal-bangsal sebagian disulap menjadi ruang isolasi.
Jika kita liburan ke tempat wisata ada banyak risiko. Tidak semua pengelola siap dengan protokol kesehatan. Di lokasi liburan juga banyak kita temui mereka yang abai dalam menerapkan protokol kesehatan. Kita sering lupa menjaga jarak di area publik, misalnya di loket tempat wisata, di tempat salat, atau di antrean toilet umum. Tak jarang harus berdesakan dan berkerumun.
Kalau kita mudik, maka risiko yang besar ada di depan mata. Terutama bila kita mengunjungi orangtua kita yang telah lanjut usia. Memang, banyak alasan sehingga kita perlu menjenguk dan menyapa orangtua kita. Namun ada waktunya kita harus menahan diri agar bakti kita tak berujung petaka. Tetangga saya yang seorang pelaut harus merelakan kedua orangtuanya akibat tertular Covid darinya meski ia telah menjalani tes dan dinyatakan non reaktif.
Liburan juga berarti perjalanan yang relatif jauh. Risiko kelelahan juga mendekatkan kita dengan kondisi kesehatan yang rentan. Banyak testimoni dan hasil riset yang menunjukkan bahwa faktor kelelahan menjadi salah satu sebab tubuh manusia rentan terserang virus. Seandainya tidak terlalu jauh pun tetap saja ada risiko kelelahan. Maka perhitungan jarak dan waktu dalam bepergian harus menjadi prioritas dalam bepergian.
Covid itu nyata. Saya yang memiliki keluarga nakes dan enam orang anggota keluarga terkena Covid-19 sungguh cemas. Terutama ketika bapak saya yang telah sepuh dan memiliki penyakit bawaan darah tinggi dan diabetes dinyatakan positif Covid. Keponakan saya yang masih balita juga terpapar Covid karena mudik. Adik ipar saya, seorang dokter anestesi dan penanggung jawab sebuah IGD rumah sakit, terpapar dari ipar lainnya yang berprofesi sebagai bidan.
Kewaspadaan pemerintah DKI Jakarta dan Bali yang menerapkan wajib tes antigen bagi yang keluar-masuk wilayah tersebut memberi sinyal kuat bahwa risiko penularan masih sangat tinggi. Bahkan boleh dikata meningkat. Sementara vaksin yang sudah didatangkan oleh pemerintah masih menunggu hasil uji klinis tahap tiga yang diperkirakan hingga awal Januari. Kebijakan ini diberitakan telah mengakibatkan penundaan perjalanan dengan nilai total transaksi mendekati Rp 1 triliun bagi Bali.
Menjadi bijaksana dalam melindungi diri dan orang-orang terdekat nyatanya bukan perkara mudah. Jika kita masih belum dapat menahan diri untuk tidak bepergian sebaiknya mempersiapkan manajemen risiko dan mitigasi. Katakanlah kita dan keluarga kemungkinan akan terjangkit Covid dan kita menyiapkan langkah untuk mengatasinya. Perlu kesungguhan dan tekad kuat untuk tetap bahagia walau di rumah saja pada musim liburan kali ini.