Kamis (10/12) malam, atau sehari pasca pemungutan suara pemilihan kepala daerah serentak, saya menerima kabar duka. Seorang kawan, pegawai di Mahkamah Konstitusi (MK), wafat akibat terpapar virus Covid-19. Sebelumnya pun, beberapa di antaranya telah sembuh, dan masih ada yang berjuang untuk pulih.
Padahal pasca pencoblosan, MK akan menangani sengketa hasil Pilkada yang terjadwal mulai 13 Desember hingga 29 Maret 2021 berdasarkan Peraturan MK Nomor 8 Tahun 2020 tentang Perubahan PMK Nomor 7 Tahun 2020 perihal tahapan, kegiatan, dan jadwal penanganan sengketa hasil Pilkada.
Tantangannya ialah bagaimana MK tetap bisa mengadili sesuai jadwal yang ditetapkan di saat pandemi melanda, dengan asumsi mengecualikan atau tidak bergantung pada program vaksinasi oleh pemerintah.
Sebagai orang yang pernah mengabdi di MK, dalam kondisi normal, saya meyakini bahwa Hakim Konstitusi akan dapat menjalankan wewenangnya secara optimal dan tepat waktu sebab Kepaniteraan dan Kesekretariatan Jenderal MK memiliki dukungan sistem dan sumber daya manusia yang sangat mumpuni.
Namun, dalam situasi normal baru, selain menerapkan protokol kesehatan yang ketat, diperlukan pula pola manajemen persidangan yang antisipatif dan responsif guna menghadapi ancaman yang tak kasat mata ini. Sebab, keselamatan jiwa dan raga tetaplah prioritas.
Aspek Preventif dan Kuratif
Setiap insan di MK tentu punya ikatan tanggung jawab untuk menunaikan amanah. Namun, manusiawi pastinya apabila ada rasa gentar akan terpapar virus. Karenanya, ada beberapa rekomendasi alternatif solusi guna melengkapi strategi manajemen persidangan yang seyogianya berkelindan dengan aspek preventif dan kuratif kesehatan, serta aspek anggaran.
Pertama, jumlah Hakim Konstitusi yang hanya bersembilan tentu sangat krusial, sebab suatu keputusan hanya dapat diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim secara pleno oleh minimal tujuh hakim. Sudah semestinya, orang-orang terdekatnya turut mengemban tanggung jawab untuk saling menjaga kesehatan.
Kedua, menerapkan uji usap secara berkala kepada hakim dan pegawai, sejak pra hingga pasca masa persidangan untuk memantau kondisi kesehatan yang bersangkutan. Termasuk, melakukan screening kesehatan untuk memetakan siapa saja yang menyandang status komorbid.
Sebab, ketiga, apabila terjadi kedaruratan kesehatan yang menyebabkan berkurangnya daya dukung khususnya SDM pegawai yang bertindak sebagai tim pendukung utama, maka bisa cepat diantisipasi lewat substitusi peran oleh anggota atau tim "lapis kedua".
Keempat, pegawai yang tergabung dalam tim pendukung penanganan perkara bisa difasilitasi penginapan khusus selama masa persidangan berlangsung sesuai standar protokol kesehatan. Atau, kelima, setidak-tidaknya, menjamin asupan nutrisi dan mengatur pola aktivitas keseharian sesuai petunjuk-anjuran tim kesehatan demi menjaga imunitas.
Sistem dan Teknis Persidangan
Sebenarnya, sistem dan teknis persidangan di MK telah siap secara luring dan daring, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 1 Tahun 2020 tentang Persidangan MK maupun PMK Nomor 6, 7, dan 8 Tahun 2020 perihal hukum acara sengketa hasil Pilkada. Meski demikian, tetap diperlukan kehadiran hakim dan pegawai di gedung MK untuk memproses dokumen fisik dan bertemu para pihak yang berperkara guna pemberkasan dan persidangan.
Namun, mengingat kondisi tiga ruang sidang (satu pleno dan dua panel) maupun ruang perkantoran yang relatif tertutup dengan sistem pendingin ruangan tersentral, maka perlu diperhatikan pula manajemen durasi waktu dan rotasi SDM di dalam suatu ruangan, serta sterilisasi berkala.
Karenanya, MK bisa menerapkan mekanisme persidangan panel hakim tunggal untuk pemeriksaan pendahuluan, sebagaimana pernah dilakukan dalam sidang pengujian undang-undang (judicial review).
Kemudian, sidang panel dengan tiga hakim untuk pembuktian, dan sidang pleno minimal tujuh hakim untuk pengucapan putusan. Sementara, dua hakim lainnya bertindak untuk merotasi hakim lainnya dalam sidang pengucapan putusan berikutnya.
Selain itu, guna tetap menjamin keterbukaan informasi publik dan meminimalisir kerumunan, MK juga bisa mengoptimalkan fungsi laman dan streaming di media sosial untuk menyiarkan langsung proses pemberkasan dan persidangan.
Potensi Perkara
Tantangan lainnya adalah potensi banyaknya perkara yang masuk dari 270 wilayah gelaran Pilkada, sebab ada preseden "pergeseran" cara menyelesaikan sengketa.
Sebelum memeriksa substansi seperti kesalahan hitung serta pelanggaran lainnya, pada Pilkada Serentak 2015, MK lebih mengedepankan syarat formil kedudukan hukum (legal standing) ambang batas selisih perolehan suara antarpasangan calon berdasarkan Pasal 158 UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, sehingga sidang berlangsung relatif singkat dan diputus lebih cepat sebab banyak yang tidak memenuhi atau melewati ambang batas yang ditentukan.
Namun, dalam Pilkada Serentak 2017 dan 2018, secara kasuistis MK dapat menunda keberlakuan Pasal 158 UU 10/2016 atau memeriksa lebih dulu dalil substantif (vide Putusan Nomor 14/PHP.BUP-XV/2017, 42/PHP.BUP-XV/2017, 50/PHP.BUP-XV/2017, 52/PHP.BUP-XV/2017, 8/PHP.KOT-XVI/2018, 36/PHP.GUB-XVI/2018, 38/PHP.BUP-XVI/2018, 51/PHP.BUP-XVI/2018, dan 61/PHP.BUP-XVI/2018) yang berkonsekuensi menambah durasi dan tahapan sidang.
Oleh karenanya, selain menjamin fairness, strategi manajemen persidangan juga menjadi kunci untuk menyeimbangkan antara upaya melindungi hak atau kepentingan para pencari keadilan dengan upaya meminimalisasi potensi terpapar virus Covid-19.
Wiwik Budi Wasito mantan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi, anggota Dewan Penasihat LBH Ansor Jawa Timur
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini