Tumben-tumben, Pak Yanto menenangkan Pak Parjono yang mengeluhkan kekacauan penanganan wabah oleh pemerintah. "Lha mau gimana to, Pak. Wong bukan cuma negara kita yang begini. Bahkan sedunia je ini. Tuh, negara Anu juga begitu. Bahkan yang negara-negara maju juga begitu."
Biasanya, Pak Yanto dan Pak Parjono sama-sama kompak sebagai kubu oposan kekuasaan di grup ronda kami. Keduanya saling bersahutan, sering ditambahi suara Pak Nardi yang lebih keras lagi. Tapi kali ini Pak Yanto begitu adem, semacam sumeleh dan penuh permakluman.
Ini bukan tentang penilaian objektif atas sesuatu. Bukan semacam analisis strategi kebijakan di masa darurat dan sejenisnya. Ini cuma tentang persepsi manusia atas penderitaan.
Obrolan pos ronda itu muncul kembali di ingatan saya gara-gara kemarin saya ngobrol di Facebook dengan beberapa kawan. Yang kami bahas adalah topik yang sangat penting bagi historiografi Indonesia, yaitu tentang "apa jajanan kami waktu SMP".
Seorang kawan yang selalu dramatis mulai bercerita betapa berat masa remajanya karena cuma dapat sangu 500 rupiah per hari. "Nasi pecel saja sudah seribu waktu itu. Coba bayangkan jajan apa aku."
Saya seketika malah heran mendengar ratapan itu. Selama masa sekolah, sangat jarang saya jajan makanan besar. Paling-paling ngemil gorengan sama es teh. Kalau pas beberapa hari nggak jajan, duit disimpan dulu, baru setelah itu bisa beli gado-gado. Bukan cuma pas SMP, bahkan sampai SMA. Jadi pada hari-hari biasa, siang saya mengganjal perut pakai gorengan, sampai sore menahan lapar, lalu setiba di rumah baru makan.
Kesaksian historis ini bikin heran kawan yang lain. "Apa? Nggak mungkin! Aku nggak bisa membayangkan nggak makan siang! Minimal lontong, atau soto!"
Tiba-tiba, saya merasa jadi makhluk paling sengsara dalam sejarah anak-anak Indonesia. Sangat mungkin semua itu terjadi karena kawan yang jajan soto itu anak camat, sedangkan saya cuma anak guru. Sampai kemudian saya mengontak kakak saya sendiri, untuk memastikan satu hal. "Mbakyu, dulu kita cuma jajan gorengan tuh terasa miskin banget nggak sih?"
Kakak saya tertawa. "Ya enggak! Semua anak waktu itu juga gituuu!"
Hingga kemudian saya sadar bahwa antara saya yang tiap hari cuma jajan gorengan dengan dia yang tiap hari jajan soto itu terpaut jarak usia delapan tahun. Kami hidup di zaman yang berbeda, dan di daerah dengan tradisi yang sangat mungkin juga berbeda.
Pendek kata, saya yang cuma kuat jajan gorengan itu ternyata pada masanya ya merasa baik-baik saja. Alasannya simpel: karena semua anak di sekolah saya, dan agaknya juga di sekolah-sekolah lain di Jogja, pun seperti itu. Tapi coba sekarang ada anak usia 13 tahun nggak dikasih makan siang oleh orangtuanya, tentu KPAI teriak-teriak.
Bukan cuma soal makanan. Ketika saya bilang waktu SMP itu saya jalan kaki hampir satu kilometer dari pemberhentian bus menuju tempat les alias bimbel, ada yang terpukau dan berkomentar, "Wah, lelaku prihatinmu kenceng banget, Mas."
Ha? Prihatin? Perasaan biasa saja atuh. Semua anak juga melakukannya. Jalur bus Kopata tidak bisa menjangkau semua titik, sehingga kadangkala kita harus berjalan kaki jauh untuk mencapai lokasi yang kita tuju.
Tapi sekarang tidak lagi. Hampir orang punya sepeda motor, kredit motor sangat gampang, bahkan buruh bergaji UMR pun bisa punya motor baru. Transportasi publik di Jogja sudah nyaris punah, dan ada ojol yang tiba-tiba muncul sebagai produk kebudayaan dominan di abad ini.
Di masa begini, gambaran seorang anak SMP yang berjalan kaki ratusan meter sudah sangat sulit mampir ke ceruk imajinasi kita. Lalu, apa yang dibayangkan orang-orang itu kalau mendengar cerita emak saya yang di usia sepuluh tahun sudah menggendong tenggok (semacam wadah dari bambu), kemudian berjalan kaki enam kilometer dari kampung ke Pasar Beringharjo buat jualan kedelai rebus?
Andai Kak Seto menangis prihatin lalu ingin membela emak saya, pasti Emak cuma akan menjawab, "Halah, B aja sih Pak, eh, Kak. Lha waktu itu anak seumurku ya banyak yang seperti itu."
Makanya, tidak perlu lagi kita yang tua-tua ini mendramatisasi masa lalu. Sebab yang namanya penderitaan itu sangat relatif. Menderita dan tidak menderita itu perkara hati dan persepsi, dan semua itu hanya akan tampak ketika hadir dalam paket komparasi. Komparasi dengan siapa? Ya dengan siapa pun yang ada di lingkungan kita.
Ringkasnya, kita ini ternyata tidak benci-benci amat dengan penderitaan. Yang kita benci itu kesenjangan dan ketidakadilan. Ketika kita makan tempe dan tetangga sebelah kita juga makan tempe, itu tidak masalah. Tapi ketika kita makan sekeping ikan asin tipis sementara kawan di hadapan kita menyantap sepotong besar gurameh asam manis, di situlah muncul masalah.
Kesenjangan ini tidak melulu soal hasil, tapi juga perkara proses. Ketika ada orang berjuang keras dari bawah lalu sukses, sementara di sampingnya ada orang ongkang-ongkang dan tidak sukses, itu tidak jadi masalah. Tapi ketika ada yang bekerja sangat keras lalu malah tergilas, sementara di depannya yang santai-santai malah terangkat cepat hanya gara-gara dia menantu pejabat, nah, di situ bisa timbul masalah.
Terakhir, saya juga ingat pengalaman spiritual ketika gempa besar merobohkan rumah kami pada 2006. Budhe saya jadi korban tewas, keponakan istri saya pun menjemput maut tertimpa tembok sebelah rumah. Tapi kadar kesedihan kami, juga kesedihan tetangga-tetangga kami, ya ala kadarnya saja. Kenapa? Ya karena semua orang di sekitar kami juga mengalami hal yang persis sama!
Itulah kenapa, sekacau apa pun kita gara-gara korona, ternyata banyak yang merasa biasa-biasa saja. Memang begitu, sebab tetangga kita dihantam korona, teman kita dipukul korona, bahkan orang-orang jauh di banyak negara lain juga diobrak-abrik korona.
Mari kita jalani saja lelakon dan penderitaan ini, selama semua orang masih berada pada level dan jenis kesengsaraan yang sama.
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)