Izin pembelajaran tatap muka (PTM) pada awal 2021 menjadi salah satu isu sensitif dan kontroversial dalam beberapa minggu terakhir. Meski banyak yang menyambut dengan euforia, namun tidak sedikit yang dibuat gundah gulana. Yang pasti, keduanya tetap ibarat makan buah simalakama.
Seperti yang telah dilansir berbagai media, pemerintah pusat telah menyerahkan izin PTM sepenuhnya kepada pemerintah daerah (pemda). Pemberian izin dilakukan tergantung kesiapan masing-masing daerah dengan persetujuan komite sekolah. Intinya, terserah.
Keresahan saya justru semakin bertambah dengan adanya unsur "terserah" dalam keputusan pemberian izin tersebut.
Saraf-saraf otak saya menerjemahkannya sebagai: Semua terserah Anda (baca: pemda dan orangtua). Pemerintah pusat tidak pernah memaksa. Apapun pilihannya, risikonya adalah tanggang jawab Anda. Anda tidak berhak menuntut siapa-siapa selain diri Anda.
"Omonaaa..." mungkin begitu jeritan hati para emak yang hobinya nonton drama Korea.
Kebijakan itu sekilas tampak berpihak kepada anak, tapi entah mengapa saya justru mengecap sedikit sensasi lepas tanggung jawab di dalamnya. Ah, mungkin indera saya saja yang mengalami halusinasi rasa.
Tidak Terkontrol
Tak bisa dipungkiri, semenjak pembelajaran jarak jauh (PJJ) diberlakukan, capaian belajar anak-anak menjadi turun seketika. Semua menjadi serba tidak biasa. Orangtua pun mengalami gaduh gelisah di dalam dada.
Masih beruntung jika hanya mengalami penurunan capaiannya belajar. Di luar sana ada yang lebih menyedihkan. Banyak anak putus sekolah karena bekerja, mengalami tekanan psikososial, serta mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Saya menyaksikan sendiri anak usia SD yang akhirnya diajak menjadi tukang parkir atau menjadi pedagang asongan yang tersebar di pinggir-pinggir jalan hingga di emperan pelabuhan.
Ada pula yang sehari-hari hanya berjongkok-jongkok di pinggiran kompleks perumahan sambil memegang gawai bersama teman-teman. Entah apa yang mereka saksikan. Tapi bisa dipastikan mereka bukan sedang menonton video pembelajaran.
Lain lagi fenomenanya yang saya dengar dari kalangan remaja. Seorang teman yang berprofesi sebagai dokter anak berkisah bahwa perilaku remaja semakin tidak terkontrol selama PJJ diberlakukan.
Dia tidak sedikit menerima pasien remaja yang terjerumus dalam perilaku seks bebas atau menjadi pengguna narkoba. Sungguh membuat orangtua auto meriang hingga kejang-kejang.
Namun melepas mereka kembali ke sekolah untuk bertatap muka dengan modal persiapan singkat tentu tak lebih dari sekadar memigrasikan mereka dari satu masalah ke masalah berikutnya.
Menggelar sebuah hajatan saja membutuhkan persiapan yang tidak boleh dilakukan dengan gegabah. Apalagi membuka kembali sekolah dalam kondisi sedang wabah.
Meragukan Protokol Kesehatan
Kasus Covid-19 di Indonesia masih terus menanjak sehingga belum terlihat puncaknya. Bahkan menurut IDAI sebagai ahlinya kesehatan anak, kematian Covid-19 pada anak di Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Pasifik. Itulah faktanya.
Menggunakan magic words "dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat" sebagai syarat pembelajaran tatap muka sudah tentu tidak bisa dipercaya. Protokol kesehatan sensasi rasanya lebih kuat ke pembenaran daripada aturan.
Sudahlah. Kita sama-sama tahu kenyataannya. Masyarakat sudah melupakan 3M secara perlahan-lahan. Mereka memperlakukannya tak lebih dari sebuah onggokan akronim dalam pikiran.
Selain meragukan penghayatan dan pengamalan protokol kesehatan di sekolah, ada banyak hal yang patut dipertanyakan. Sanggupkah sekolah dalam satu bulan ke depan melakukan modifikasi pada anatomi bangunan, ruang kelas, fasilitas cuci tangan, toilet, UKS, hingga SOP-SOP yang diperlukan?
Belum lagi urusan skrining warga sekolah. Hingga saat ini saja banyak daerah yang jumlah kapasitas tesnya masih di bawah standar yang diharapkan. Apakah daerah mampu membiayai skrining sebelum PTM diberlakukan? Jika tidak, mau dibebankan kepada siapa? Orangtua siswa?
Tapi, bukankah ini kebijakan terserah? Jadi terserah Anda mau memilih yang mana. Kondisi kita tidak akan pernah sama.
Tidak perlu melabel orangtua yang belum mengizinkan anak tatap muka sebagai orangtua kurang iman, yang terlalu takut dengan Corona hingga menuding mereka tidak yakin dengan kuasa Tuhan.
Tidak perlu juga melabel orangtua yang mengizinkan anak tatap muka sebagai orangtua yang gegabah, egois, tidak mau repot mengasuh anak atau dengan sederet kesimpulan sepihak lainnya.
Tidak perlu berdebat karena sekali lagi ini kebijakan terserah. Jadi sudah tentu kita tidak akan bisa satu kata. Namanya saja terserah. Mau berdebat hingga mulut berbusa pun pilihan kita pasti akan berbeda-beda.
Desember masih tersisa. Bola panas telah ditendang kepada pemda dan orangtua. Akankah mereka bersedia memainkannya? Atau menendangnya kembali untuk menolak bermain hingga musim berikutnya?
Desember masih tersisa. Semuanya terserah saja. Tidak boleh ada pihak yang memaksa. Yang perlu dipastikan adalah putuskan yang terserah itu dengan bijaksana. Bersikaplah terbuka, singkirkan ego yang ada. Ingat, orangtua yang akan bertanggung jawab sepenuhnya.
Selamat bergundah gulana!