Siapkah Kembali Membuka Sekolah?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kang Hasan

Siapkah Kembali Membuka Sekolah?

Senin, 14 Des 2020 12:10 WIB
Hasanudin Abdurakhman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
kang hasan
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Pemerintah sedang menjajaki kemungkinan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Harapannya kegiatan itu dapat dimulai bulan Januari nanti. Kenapa Januari? Ini sebenarnya pertanyaan penting yang jawabannya harus berbasis pada alasan yang sangat kuat.

Saya khawatir Januari dipilih berdasarkan pertimbangan sederhana, yaitu awal semester. Kalau hanya itu alasannya, jelas sangat tidak patut. Ingat, keputusan untuk mengalihkan pelajaran dari sistem tatap muka menjadi sistem belajar daring pada April lalu dibuat karena adanya pandemi.

Waktu itu pertambahan pasien harian secara nasional masih di angka puluhan orang. Kini pertambahannya lebih dari 5000 orang per hari. Secara nalar tidak ada alasan yang membenarkan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tatap muka dalam situasi ini. Konyol sekali kalau pada saat penambahan harian kita memilih untuk menutup sekolah, tapi membukanya kembali pada saat penambahan pasien harian berjumlah ribuan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lalu apa syarat yang harus dipenuhi agar sekolah boleh buka kembali? Apa boleh buat, kita harus menunggu sampai pandemi benar-benar berakhir. Apa kriteria berakhirnya pandemi? Rendahnya jumlah pasien aktif maupun pertambahan harian. Kapan itu bisa dicapai? Untuk situasi Indonesia sepertinya keadaan itu baru bisa dicapai kalau vaksinasi sudah benar-benar terlaksana secara nasional, dan berhasil.

Tidakkah cukup kita tetapkan saja syarat protokol kesehatan? Tidak. Faktanya, tidak ada pihak yang benar-benar bisa menerapkan protokol kesehatan. Di pabrik, kantor, lembaga pemerintah yang mengklaim menerapkan protokol, terbukti tidak terlaksana, dan tempat-tempat itu menjadi tempat-tempat penularan.

ADVERTISEMENT

Pejabat negara yang seharusnya menjadi pucuk komando penerapan protokol, seperti menteri, kepala daerah, serta kepala kantor justru tertular virus Covid-19. Kalau orang dewasa saja gagal menjaga protokol kesehatan, mustahil kita berharap anak-anak sekolah bisa menerapkannya.

Berbagai kegiatan percobaan atau simulasi penerapan kegiatan belajar mengajar tatap muka sudah menunjukkan bahwa mustahil dicapai tanpa penularan virus. Itu sudah cukup menjadi bukti bahwa kegiatan belajar mengajar tatap muka belum bisa dilakukan.

Banyak orang merasa bahwa pelajaran anak-anak sudah terbengkalai karena kegiatan belajar mengajar daring dianggap tidak efektif. Memang betul, ada banyak kendala dalam sistem ini. Di berbagai daerah dengan infrastruktur yang minim, kegiatan belajar mengajar melalui daring sungguh tidak efektif. Tapi sekali lagi harus diingat bahwa cara itu ditempuh karena ada alasan darurat. Jangankan belajar, kegiatan mencari nafkah pun banyak yang terhenti karena pandemi ini.

Ketimbang terburu-buru berharap bisa melaksanakan kegiatan belajar mengajar tatap muka, seharusnya pemerintah mempersiapkan protokol baru untuk kegiatan itu pascapandemi. Meski nanti sudah berhasil melakukan vaksinasi, kemungkinan terjadinya wabah lain tetap terbuka. Selama ini kita sama sekali abai terhadap kemungkinan ini. Banyak kebiasaan yang mengabaikan pencegahan penularan penyakit. Banyak perilaku tidak disiplin yang tidak diupayakan pengubahannya.

Di antara negara-negara di Asia Tenggara, kita paling parah kena dampak pandemi ini. Poin terpentingnya, kita tidak pernah berhasil menurunkan pertambahan harian secara nasional. Yang berhasil kita lakukan hanyalah menahan laju pertambahan pasien aktif. Itu pun tidak berhasil dengan baik.

Negara-negara lain seperti Thailand dan Vietnam berhasil mengerem penyebaran virus hingga ke tingkat yang sangat minim. Malaysia dan Singapura, meski terkena serangan gelombang kedua, pernah berhasil menurunkan jumlah pasien hingga tingkat minimum.

Persoalan utama kita adalah rendahnya disiplin. Masyarakat tidak disiplin, aparat pemerintah juga tidak disiplin. Inilah tantangan dunia pendidikan kita.

Sekolah-sekolah harus menumbuhkan kedisiplinan agar generasi muda kita sanggup berperilaku setara dengan negara-negara tetangga. Adanya pandemi ini harus dijadikan momentum untuk memulai perubahan itu.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus memikirkan soal ini. Inilah saatnya merancang, sistem apa yang bisa membuat anak-anak kita bisa menjadi lebih disiplin. Saat ini kita baru saja melewati masa kritis akibat ketidakdisiplinan kita. Mumpung akibatnya masih terasa membekas di benak kita masing-masing.

Sekali lagi, ketimbang buru-buru memaksakan anak-anak masuk sekolah, sebaiknya siapkan dulu sekolah kita untuk menjadi tempat-tempat penumbuhan disiplin.

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads