Judul: Supersense: Mengapa Kita Mempercayai Hal Tak Masuk Akal; Penulis: Bruce Hood; Penerjemah: Hendy Wijaya; Penerbit: Global Indo Kreatif, Manado, 2020; Tebal: 420 Halaman
Meski telah bergumul dengan kemajuan sains dan teknologi, manusia tampaknya masih belum bisa menanggalkan kepercayaan mereka terhadap hal-hal gaib. Malahan, fenomena ini terlihat semakin menguat.
Mengapa kita begitu meyakini hal-hal gaib? Mengapa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masih tidak mampu merontokkan elemen tersebut dalam diri kita?
Mungkin kita tidak percaya hantu, tapi mampukah kita mengatakan kepada kekasih kita bahwa pertemuan dengannya merupakan hasil peristiwa acak, bukan hasil dari garis takdir yang sudah diatur oleh kekuatan Ilahiah (keyakinan supernatural)?
Apakah kita sanggup menanggalkan keyakinan kita terhadap roh, unsur yang menghidupkan jasad? Beranikah kita melepaskan keyakinan kita terhadap keberadaan Tuhan? Tampaknya sulit. Hal ini memperlihatkan bahwa keyakinan supernatural benar-benar sudah mendarah daging dalam diri kita.
Lagi-lagi, pertanyaannya, mengapa semua keyakinan itu tertancap kuat sehingga sulit untuk dilepaskan? Kehadiran buku Bruce Hood berjudul Supersense ini akan membantu kita menjawab pertanyaan menarik di atas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama-tama, keyakinan supernatural yang dimaksud dalam buku ini tidak hanya sebatas keyakinan yang diproduksi oleh agama. Lebih luas daripada itu, ia juga menyebutkan adanya keyakinan supernatural yang bersifat sekuler, yaitu keyakinan irasional yang tidak berlandaskan pada ajaran agama, seperti keyakinan terhadap telepati dan ramalan.
Keyakinan supernatural tidak hanya khas bagi orang-orang beragama, tetapi juga dapat bercokol di dalam kepala orang-orang yang tidak atau bahkan anti terhadap agama.
Tesis Bruce Hood dalam buku ini ialah bahwa keyakinan supernatural merupakan hasil dari desain pikir alamiah manusia. Sementara kultur dan agama bagi Bruce Hood hanya bertugas untuk "memfasilitasi keyakinan-keyakinan supernatural yang sudah ada dalam pikiran kita sendiri."
Gagasan tersebut serupa dengan pandangan Ludwig Feuerbach yang meyakini bahwa Tuhan adalah hasil "reka cipta" manusia. Reka cipta yang disebut Feuerbach itu dalam penjelasan Bruce Hood rupanya berlangsung dalam desain pikir otak manusia.
Desain pikir manusia adalah gambaran terkait bagaimana cara otak manusia bekerja. Secara alamiah, otak manusia gemar membayangkan sekaligus mengorganisasi pola-pola di balik sebuah peristiwa. Sulit baginya untuk membiarkan peristiwa yang ada di hadapannya sebagai sesuatu yang berantakan dan tanpa tujuan.
Melalui desain pikir yang seperti itulah, terutama ketika faktor penyebab suatu peristiwa gagal ditemukan, manusia kerap kali jatuh dalam keyakinan supernatural; mereka menyimpulkan adanya kekuatan tersembunyi di balik galibnya sebuah peristiwa.
Sebenarnya keyakinan terhadap adanya suatu penjelasan di balik peristiwa tidak hanya dipegang oleh mereka yang percaya pada hal-hal gaib. Para ilmuwan pun melakukan apa yang disebut oleh Bruce Hood sebagai "lompatan logika" untuk menghasilkan teori-teori ilmiah yang menjelaskan berbagai fenomena alam.
Hanya saja, hipotesis yang dikemukakan oleh para ilmuwan dapat diuji melalui eksperimen dan observasi. Sementara untuk keyakinan supernatural, ia hanya berlandaskan pada intuisi dan pengalaman pribadi.
Kembali lagi pada persoalan desain pikir sebagai penyebab munculnya keyakinan supernatural, Bruce Hood juga melihat bahwa keyakinan supernatural merupakan hasil dari desain pikir khas yang dimiliki oleh anak-anak. Secara naluriah, mereka meyakini bahwa benda yang ada di hadapan mereka memiliki ruh, kekuatan, dan perasaan layaknya manusia. Keyakinan seperti ini disebut Jean Piaget (tokoh psikologi kognitif) dengan istilah animisme.
Anak-anak juga mengadopsi pandangan dualisme, yaitu sebuah keyakinan akan keterpisahan tubuh dan pikiran. Dualisme hampir sama dengan pemahaman esensialisme; setiap makhluk hidup memiliki esensi atau energi hidup yang bersemayam di dalam tubuh. Kedua pemahaman ini membayangkan roh, esensi yang bersarang di tubuh tadi, sebagai sesuatu yang abadi dan dapat menetap di tempat-tempat tertentu.
Malangnya, keyakinan yang khas dari anak-anak itu dapat muncul kembali pada orang dewasa. Seperti kata Bruce Hood, "supranaturalisme orang dewasa adalah residu miskonsepsi masa kecil yang tidak benar-benar hilang."
Dari pandangan dualisme dan esensialisme itu pula, banyak orang yang meyakini adanya tempat, pakaian, dan berbagai benda keramat. Praktik ganjil dualis dan esensialis berikutnya juga terlihat dalam obsesi manusia mengoleksi berbagai benda.
Para kolektor meyakini barang koleksi mereka menyimpan esensi-esensi tertentu, entah itu roh, kekuatan, ataupun kenangan. Selain itu, masih ada banyak lagi ritual dan keyakinan irasional yang lahir dari pandangan ini. Untuk lebih lanjut, Anda dapat membaca sendiri dan menemukan bagaimana aktivitas biologis seperti berhubungan seksual juga bisa dihiasi oleh keyakinan tak masuk akal.
Karena alamiah dan bersifat bawaan, semua keyakinan itu menjadi sulit untuk dihilangkan. Bruce Hood sendiri hanya mampu memberikan sedikit solusi untuk mengendalikannya, yaitu dengan cara mengoptimalkan kerja otak depan kita. Bagian otak inilah yang menjadi tempat berlangsungnya sistem kognitif seperti memori kerja, perencanaan, inhibisi, dan evaluasi. Jika sering diasah, ia akan berkembang dan menggantikan sistem berpikir anak-anak.
Namun, Bruce Hood tampak pesimis dan mengatakan bahwa "kita bisa meninggalkan semua hal kekanakan, namun kita tidak pernah benar-benar membuatnya hilang dalam benak kita."
Menurut saya, kita memang tidak perlu membabat habis supersense dalam diri. Bukan hanya karena ia bersifat kodrati, tetapi juga karena khasiat yang diberikannya kepada kita. Bruce Hood sendiri tahu bagaimana keyakinan ini mampu memberikan "rasa tenang" kepada manusia ketika mereka berhadapan dengan ketidakpastian.
Keyakinan itu juga bisa menjadi perekat dalam kehidupan sosial. Hanya saja, kita juga mesti berhati-hati, sebab keyakinan terhadap hal-hal gaib juga bisa menimbulkan fanatisme dan ekstremisme yang bisa merusak ketertiban. Efek mengerikan seperti inilah yang tidak kita inginkan.
Oleh karena itu, kita juga perlu melakukan kontrol terhadap supersense yang melekat dalam diri kita. Semua upaya ini tentu saja harus diawali dengan cara mengenal supersense kita masing-masing.
Ahmad Yazid pengajar di IAIN Pontianak