Pilkada 9 Desember kemarin adalah pilkada istimewa. Selain diselenggarakan di tengah pagebluk, juga bertepatan dengan Hari Antikorupsi Sedunia. Akankah pilkada yang diselenggarakan dengan biaya lebih mahal dan berisiko tinggi itu menghasilkan kepala daerah antikorupsi yang berujung pada kesejahteraan daerah?
Atau, pilkada istimewa ini sami mawon kayak pilkada-pilkada sebelumnya?
Apakah rakyat sebagai pemilih hanya akan memilih orang-orang yang tidak pernah mereka lihat kinerjanya, tak pernah hadir mendatangi pemilihnya selama 5 tahun menjabat, dan tiba-tiba mereka lihat menjadi menjadi tersangka KPK di televisi?
Sejak pilkada langsung diselenggarakan pada 2005, sudah 300 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi; 124 di antaranya ditangani KPK. Secara kerangka hukum tidak banyak yang berubah untuk penyelenggaraan pilkada kali ini, kecuali terkait protokol kesehatan yang ketat. Maka, patut diduga masih ada faktor sistemik yang membuat kepala daerah berpotensi besar menjadi "pasien" KPK. Namun, hal ini bisa diminimalisasi dengan memilih figur personal kepala daerah yang berintegritas.
Faktor Sistemik
Korupsi politik di Indonesia seolah terus menjadi lingkaran setan. Secara sistem ada dua hal yang menyebabkan lingkaran setan korupsi kepala daerah, yakni dominasi pemerintah pusat dan politik biaya tinggi.
Pertama, dominasi pemerintah pusat. Bila kita perhatikan, mengapa pemilihan kepala daerah tidak terlalu semarak dengan kampanye gagasan? Hal ini karena desain otonomi daerah tidak diimbangi oleh perimbangan keuangan pusat-daerah. Akibatnya, para calon kepala daerah tidak bisa menawarkan berbagai program dan kebijakan yang menarik karena terbatasnya anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Menurut data BPS, tingkat kemandirian daerah menunjukkan 26 provinsi dengan tingkat kemandirian yang rendah dan rendah sekali; hanya 8 provinsi kategori sedang. Tingkat pendapatan daerah menunjukkan ketimpangan yang ekstrem; pendapatan negara mencapai Rp 1.958 triliiun, sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) provinsi hanya 168 triliun. Pun demikian dengan PAD kota/kabupaten hanya Rp 127 triliun.
Hal ini mendorong kepala daerah mencari sumber pendapatan daerah dari dana perimbangan. Ini tercermin dari komponen pendapatan daerah provinsi, PAD (pajak daerah, retribusi, BUMD) mencapai 46,03%, sedangkan dana perimbangan (bagi hasil pajak dan non pajak, DAU dan DAK) juga mencapai 46,46%.
Bila kita tilik datanya lebih jauh, porsi PAD dalam pendapatan daerah selain DKI Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan Timur berada di bawah 50%. Sebut saja misalnya Papua 7%, Aceh 16%, ataupun Riau 40%. Komposisi penerimaan pemerintah kabupaten/kota juga bermasalah. Menurut data 2019, PAD hanya berkisar 15%, sisanya 65% mengandalkan dana perimbangan.
Alhasil, ini akan mendorong kepala daerah dan birokrasi daerah berlomba-lomba melobi DAU dan DAK ke pemerintah pusat. Pada akhirnya, hal ini menjadi celah potensi korupsi dalam masa kepemimpinan kepala daerah untuk mencukupi kebutuhan anggaran merealisasikan janji kampanye.
Kedua, politik biaya tinggi seolah menjadi rahasia umum. Besarnya biaya kampanye baik iklan, reklame, door to door, rapat umum, mahar politik, biaya saksi, dan tim pemenangan. Biaya ini semakin tinggi jika pasangan calon tidak memiliki modal sosial yang kuat. Nahasnya, besarnya biaya pemenangan ini tidak linier dengan kemampuan finansial calon yang dilaporkan dalam LHKPN. Biaya ini semakin besar dengan praktik politik uang.
Lusinan ilmuwan politik baik dari dalam maupun luar negeri menyoroti praktik money politics di Indonesia. Berbagai istilah yang digunakan antara lain Democracy for Sale (Aspinall & Berenschot, 2019) dan Kuasa Uang (Muhtadi, 2020). Sistem pemilihan kepala daerah kita secara regulasi harus diakui masih mengarah high cost politic.
Ironisnya, menurut riset dari KPK, 56,3% calon kepada daerah menyadari adanya konsekuensi dari sumbangan dana kampanye. Sebanyak 75,8 % calon kepala daerah akan memberikan balasan ketika terpilih. Bahkan, 60,2% harapan penyumbang dana kampanye tersebut diungkapkan secara eksplisit dalam bentuk lisan maupun perjanjian tertulis.
Imbal balik tersebut dalam bentuk: (1) kemudahan perijinan dalam bisnis (65.7%); (2) kemudahan terlibat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah (64.7%); (3) keamanan dalam menjalankan bisnis (61.5%); (4) kemudahan akses untuk menjabat di pemerintah daerah/BUMD (60.1%). Maknanya, sejak awal banyak calon kepala daerah secara rasional menyadari betul praktik politik biaya tinggi dan konsekuensi dari sumbangan dana kampanye tersebut bukan "makan siang gratis".
Integritas Personal
Integritas personal (calon) kepala daerah adalah faktor dominan. Bagaimanapun, kepala daerah memiliki kekuasaan yang besar sebagai raja-raja kecil di daerah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jack Bologne merumuskan GONE Theory sebagai penyebab suburnya korupsi. Yakni greed (keserakahan), opportunity (kesempatan), need (kebutuhan), dan expose (pengungkapan).
Besarnya kekuasaan yang dimiliki kepala daerah dalam kebijakan program dan alokasi anggaran bisa mendorong keserakahan (greed) untuk korupsi. Hal ini semakin kuat jika adanya kesempatan (opportunity) dengan semakin lemahnya kontrol baik dari legislatif maupun dari publik.
Faktor kebutuhan (need) dimotivasi banyak hal, misalnya mengembalikan modal kampanye, merealisasikan janji pada pemberi modal kampanye, maupun karena gaya hidup hedonistik dan materialistik. Faktor rendahnya ekspose atas konsekuensi hukum bagi pelaku korupsi semakin mendorong kepala daerah berani melakukan korupsi.
Pilkada serentak yang digelar di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang diikuti 100 juta pemilih menjadi kesempatan penting bagi publik di daerah untuk memilih pemimpin berintegritas.
Problem sistemik yang mendorong praktik koruptif memang membutuhkan proses perbaikan undang-undang. Hal ini memerlukan political will dari para politisi di parlemen. Namun, dengan memilih kepala daerah berintegritas pada pilkada istimewa di Hari Antikorupsi bisa menjadi jalan keluar "sementara" untuk menghasilkan pemimpin daerah yang berpihak pada rakyat.
Pencermatan terhadap rekam jejak personal, motivasi seseorang menjadi kepala daerah, hingga kapasitas managerial menjadi utama. Seperti kata Bung Hatta: Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, namun tidak jujur itu sulit diperbaiki. Sambil, kita menunggu perbaikan sistem ke depan.
Dody Wijaya alumni Sekolah Demokrasi LP3ES, pegiat Penyuluh AntiKorupsi KPK
(mmu/mmu)