Peringatan Presiden Jokowi saat pengumuman anggota kabinet Indonesia Maju pada Oktober 2019 tak berbukti. Saat itu Jokowi mengingatkan agar jangan korupsi dan menciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi.
Baru setahun menjabat, dua menteri Jokowi dari unsur partai politik dalam dua pekan ini harus mengenakan rompi oranye KPK. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo digelandang ke KPK terkait perizinan ekspor benih lobster (25). Sementara itu, Menteri Sosial Juliari Batubara harus menyerahkan diri ke KPK terkait kasus pengadaan paket sembako COVID-19 (5/12). Keduanya memanfaatkan jabatan dan kewenangan untuk keuntungan pribadi.
Kelakuan korup dua menteri tersebut tidak saja menyakiti hati publik, tetapi juga seperti "menampar" wajah Presiden Jokowi yang memilih mereka menjadi bawahannya di kabinet. Mereka berdua jelas telah mengkhianati kepercayaan publik dan Presiden.
Dua menteri dari dua partai besar (Gerindra dan PDIP) yang ditangkap KPK tersebut bukan yang pertama. Kemungkinan juga bukan menjadi yang terakhir di masa pemerintahan Jokowi, jika tidak ada upaya pencegahan yang serius.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada periode sebelumnya, dua menteri Jokowi dari unsur parpol, Idrus Marham (Golkar) dan Imam Nahrawi (PKB) juga terlibat korupsi. Sudah jadi fakta bahwa menteri yang selama ini terjerat korupsi baik di era Jokowi maupun pada era presiden sebelumnya hampir semuanya berasal dari partai politik. Ini jadi pelajaran bagi Jokowi untuk menentukan menteri-menteri saat reshuffle kabinet nantinya.
Kasus Edhy dan Juliari juga buah dari kelalaian Jokowi yang memilih menteri tanpa mekanisme uji integritas terlebih dahulu. Saat pertama kali menjabat (periode pertama), Jokowi membuka ruang uji publik bagi pengusulan nama-nama menteri dan melibatkan KPK untuk menelisik integritas calon. Kemudian ada dorongan kuat untuk mengutamakan figur profesional non parpol dalam kabinet (zaken cabinet). Political will seperti ini tak tampak saat pemilihan menteri periode kedua.
Penentuan menteri dari kalangan parpol tak benar-benar murni hak prerogatif presiden. Sistem presidensial multipartai memungkinkan presiden harus berkompromi dengan partai-partai untuk berkoalisi atau membentuk kabinet. Menteri dari unsur parpol hampir tak mungkin jadi menteri tanpa restu pimpinan partai seperti ketua umum. Akibatnya menteri dari parpol sudah pasti punya ikatan dan beban politik yang kuat.
Mereka punya beban politik bawaan, apakah terkait dengan parpol tempat ia bernaung atau political cost secara pribadi. Pada akhirnya menteri yang dari parpol mudah terjebak dalam godaan pencarian rente, seperti kompensasi atau fee pada setiap paket kebijakan. Studi Marcus Mietzner (2007) menguatkan bahwa partai semakin gencar mengeksploitasi lembaga legislatif dan eksekutif sebagai sumber pendapatan alternatif.
Keseriusan pemerintahan Jokowi untuk menekan potensi korupsi tengah diuji. Operasi penangkapan KPK terhadap pelaku korupsi yang melibatkan dua menteri dari parpol layak diapresiasi. Tetapi performa KPK pimpinan Firli Bahuri dengan UU KPK yang baru masih harus diuji seiring waktu. Jika dibanding KPK era sebelumnya, pada tahun pertama menjabat, performa KPK saat ini belum bisa dianggap luar biasa. Publik masih menunggu giat penindakan berikutnya, baik dalam pengembangan kasus yang sudah ada maupun pengungkapan kasus-kasus baru.
Kasus Edhy dan Juliari sudah semestinya jadi momentum bagi Jokowi untuk melakukan reshuffle menteri. Jokowi perlu menunjukkan kepada publik bahwa keseriusan mencegah korupsi tidak berhenti sebatas imbauan. Maka Jokowi sebaiknya segera melakukan audit internal kementerian-lembaga dan segera mereshuffle menteri yang (berpotensi) bermasalah.
Pos menteri yang ditinggal menteri korup dari parpol sebaiknya diganti dengan figur berintegritas dari kalangan profesional non-parpol. Ini sebagai peringatan keras Jokowi bagi parpol untuk ikut tanggung jawab mencegah menterinya terlibat korupsi.
Parpol harus ikut bertanggung jawab atas kadernya di kabinet. Mereka pun harus rela kehilangan jatah menteri bila kadernya terlibat korupsi. Ini sebagai bukti tanggung jawab publik, bahwa mereka tidak saja mengincar jabatan, tetapi bertanggung jawab bila terjadi penyalanggunaan kekuasaan.
Belajar dari periode kedua Presiden SBY, badai skandal korupsi selain merusak citra dan integritas pemerintahan, juga menimbulkan kerugian negara yang besar. "Kutukan" periode kedua semacam ini sudah harus dihentikan Jokowi sebelum bermunculan kasus baru yang lebih besar.
Bene Dalupe pengajar FISIPOL Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta