Bagaimana kalau kenyataannya kita yang tiap hari teriak-teriak menginginkan korupsi hilang dari muka bumi, sebenarnya juga melakukan korupsi atau setidaknya turut serta menyuburkannya? Mampukah kita menuntut diri kita sendiri untuk berhenti melakukannya?
Tidak, saya tidak sedang berencana menggembosi hujatan untuk para koruptor. Tidak dalam perbincangan kita kali ini dan tidak akan pernah pada kali-kali lain juga. Korupsi adalah extraordinary crime. Pelakunya memang harus dihujat. Tidak peduli Anda juga diam-diam melakukannya, saya akan tetap meminta Anda turut menghujat koruptor.
Bangsa ini butuh hujatan itu sebagai standar moral dan integritas. Untuk terus mengingatkan diri sendiri maupun masyarakat luas betapa merusak dan karenanya jadi menjijikkan perilaku korupsi itu. Iya, menjijikkan. Merampok uang negara yang semestinya bisa digunakan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat itu menjijikkan. Terus, sebut saja itu menjijikkan supaya semakin jijik kita mendekatinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertanyaan saya di awal tadi sebenarnya lebih bernada retoris dan hopeless, hampir putus asa. Tiap kali ada skandal korupsi proyek terbongkar, selalu muncul pertanyaan sinis di kepala. Alah berapa banyak sih proyek pemerintah yang bersih dari korupsi?
Masalahnya pertanyaan itu membawa konsekuensi yang berat. Jika jawabannya tidak banyak proyek pemerintah yang bersih, artinya banyak orang di pemerintahan yang tidak bersih. Ini tuduhan yang membuat miris. Berat hati saya melontarkannya. Tapi di lain pihak berat hati juga saya untuk berprasangka baik bahwa proyek pemerintah itu lebih banyak yang bersih daripada yang tidak.
Saya pernah berada di dunia itu belasan tahun lalu. Masih teringat jelas ketika pertama kali mengerjakan administrasi proyek, waktu pencairan termin, pejabat pembuat komitmennya mengingatkan, "Mbak, jangan lupa potongannya ya!"
Karena sebelumnya tidak ada pesan apa-apa dari kantor, saya menduga-duga sendiri apa yang harus saya persiapkan selanjutnya. "Pakai kuitansi ndak ya, Bu?" tanya saya. Bendahara lelang yang juga ada di tempat langsung nyamber; bukannya menjawab malah bertanya balik, "Anda anak baru ya? Baru berapa bulan kerja?"
Saya diam saja tak menjawab karena mereka juga langsung balik badan. Akhirnya saya mengalami sendiri hal-hal yang sebelumnya hanya terdengar dari obrolan para mahasiswa yang sama-sama belum pernah terjun langsung di dunia kerja. Oh, begini rupanya cara mainnya, batin saya.
Hari demi hari kemudian saya juga jadi tahu bahwa hal seperti itu jamak terjadi. Sekian persen untuk anggota dewan, sekian persen untuk dinas, sekian persen untuk bendahara lelang. Tidak perlu ada kuitansi. Tidak boleh dan tidak ada yang akan mau tanda tangan juga. Amplopnya saja, sudah.
Berbagai pertanyaan terlintas mencoba mengurai realitas yang ada di hadapan. Apa yang salah? Kalau tidak ada yang salah mengapa harus sembunyi-sembunyi? Apakah sistemnya yang buruk? Atau moral dan etika yang hilang? Dari mana harus diperbaiki semua itu?
Waktu seorang calon presiden berbicara tentang kebocoran anggaran yang ia tengarai sampai 500 triliun, saya berada di kubu seberangnya. Turut mentertawakan pernyataannya. Ironisnya, ketika dia akhirnya gagal di pemilu, ujung-ujungnya dia masuk dalam kabinet pemerintahan itu juga. Berjalan bersama dengan orang-orang yang sebelumnya ia tuduh menyebabkan uang negara "bocor, bocooor". Malahan belakangan anak didiknya yang duduk bersamanya dalam kabinet dicokok KPK karena terlibat membocorkan uang negara. Bocor pangkat tiga.
Sistem politik multipartai yang mahal dan berbiaya tinggi seringkali dituduh sebagai biang kerok semua tindak korupsi yang sistemik ini. Itu benar. Tapi yang dikorupsi untuk dipakai membiayai gaya hidup juga tak kalah banyak. Kecil-kecil, tapi terjadi di hampir seluruh lini dari pusat hingga daerah. Dan buruknya lagi, dianggap biasa saja. Orang cenderung tidak merasa bersalah ketika melakukannya karena sudah seperti bancakan saja. Dilakukan bersama-sama.
Apa yang bukan pejabat publik lantas tidak melakukannya? Ya, sama saja. Orang-orang swasta seperti saya juga rentan jatuh ke perilaku korup. Kalau tidak melakukan korupsi langsung, ya turut serta menyuburkannya. Rekanan-rekanan swasta yang hidup dari proyek ke proyek siap menyambar proyek apa saja yang ada di hadapan. Sembari mengurangi rasa bersalah dalam dada dengan pembelaan "yang penting saya tetap mengerjakan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya." Pura-pura buta saja kalau ada uang negara yang digarong di depan mata.
Sudah lama sekali saya keluar dari dunia proyek karena menikah dan harus ikut suami. Banyak kesempatan terbuka untuk kembali ke dunia yang pada dasarnya saya senangi itu. Tapi selalunya saya didera keraguan tiap kali menimbang untuk kembali. Sudahlah, tempatku di sini. Begitu biasanya saya mengakhiri acara timbang-menimbang itu.
Mengikuti kasus skandal korupsi proyek bansos Menteri Juliari membuat saya berpikir, mungkin pernikahan itulah yang telah menyelamatkan saya dari hal-hal yang entah apa dan bagaimana tak dapat saya kendalikan di depan sana. Saya tidak tahu. Kata seorang tokoh sebelum jadi menteri, malaikat saja masuk ke dalam sistem di negeri ini jadi setan dia.
Seorang dosen saya bercerita, selama 25 tahun mengajar hanya sekali saja ia terlibat proyek pemerintah. Itu pun karena ada alasan-alasan personal yang membuatnya dengan agak terpaksa melakukan itu. Kebetulan sekali, tepat sehari sebelum kasus Juliari mencuat, ia menuliskan sebuah refleksi di dinding Facebook-nya:
Sejauh ini pilihan tersebut (pilihannya untuk fokus mengajar dan tidak mroyek) tidak menimbulkan konsekuensi yang gimana-gimana. Sebaliknya, jalan ninja ini sepertinya menyenangkan, menenangkan pikiran, dan membuka pintu mata hati sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu.
Saya tahu, tidak gimana-gimana yang ia maksud itu kira-kira, menghabiskan waktu yang sangat lama tinggal di rumah kontrakan karena tidak sanggup membeli rumah-tanah sendiri. Bertahan lama menggunakan mobil jurusan yang tanpa AC, yang usianya mungkin sudah seusia saya, ongkelan kacanya sudah dol, dan tentu saja tidak power steering, sebelum akhirnya bisa terbeli Avanza. Ini baru yang bisa saya lihat saja. Ya, memang tidak gimana-gimana juga sih.
Ada orang-orang yang punya kesempatan untuk menguntungkan diri sendiri dari hal-hal yang sebenarnya sudah disepakati tidak benar berdasarkan standar moral. Bukan karena kehidupan sudah lebih mudah tanpa semua itu. Tapi karena etika dan moral yang jadi panglima. Kepada orang-orang seperti mereka saya menjura dan menaruh hormat setinggi-tingginya.
Selebihnya, sembari kita menghujat para koruptor, sembari kita terus meneriakkan betapa merusaknya korupsi bagi cita-cita mewujudkan kesejahteraan sosial yang adil dan beradab, selayaknya kita terus menuntut diri untuk tidak melakukan hal-hal biadab. Sepertinya tidak akan gimana-gimana juga asal standar moral, bukan keinginan-keinginan yang jadi panglima.
Nia Perdhani kini pelaku usaha kecil mikro bidang makanan