Pesta demokrasi kali ini bukan hanya berlangsung di tengah kedukaan panjang akan pandemi, namun juga di tengah resesi moral. Dua kasus besar korupsi oleh pejabat kementerian menandai suasana Indonesia mencapai kilmaks dari kulminasi amoral.
Kita tentu tidak mungkin menutup mata dan telinga atas korupsi di Kementerian Sosial terkait bansos. Kasus ini dapat menjadi bukti sebuah sikap apatis lama yang lahir dari masyarakat kaum bawah bahwasanya cita-cita luhur dan tujuan-tujuan terpuji para politisi tidak lebih dari sekadar kamuflase belaka bagi kepentingan mereka yang sebenarnya, yaitu kekuasaan.
Masyarakat sangat mungkin akan meledak emosinya buah dari akumulasi kekecewaan pada penjabat negara. Hal ini secara langsung membawa sebuah apriori negatif masyarakat kepada calon yang sedang berjuang di Pilkada hari ini.
Demokrasi mengalami disorientasi dengan adanya rentetan korupsi yang semakin membabi buta. Tentu ini bukanlah yang diharapkan. Lantas bagaimana mengembalikan marwah demokrasi dan negara yang telah dinodai oleh sebagian dari pejabat negara sendiri? Dan, oleh karena itu apa sebab muncul disorientasi demokrasi yang akhirnya meluas di setiap individu?
Disorientasi
Disorientasi adalah situasi ketika seseorang mulai kehilangan esensi, prinsip, dan rasionalitas bijak. Situasi cenderung ke arah destruktif. Pada kasus tindakan korupsi yang terakhir ini adalah buah dari disorientasi diri yang cenderung memburu materialistis pribadi dengan oportunisme yang brutal dan serakah. Gejala ini merupakan dampak dari kerancuan dan kedangkalan paradigma kultural yang kita alami.
Paradigma kultural versi Pitirim Sorokin membagi dinamika budaya ke dalam tiga jenis orientasi nilai, yakni ideational, sensate, dan idealistik. Sangat dimungkinkan bangsa ini sedang bergerak dari orientasi ideasional menuju orientasi sensate. Dan fase di antara itu disebut fase idealistik.
Dalam orientasi ideasional, fase tertinggi dalam hidup adalah nilai spiritual atau keagamaan; hal-hal simbolik transendental yang non-material. Sementara pada orientasi sensate kebalikannya, nilai tertinggi adalah nilai materialistis, keterikatannya pada sensualitas, dan materialitas, terpesona pada bentuk eksotisme dan ilusi fantastik.
Indonesia sedang dalam masa peralihan yang penuh ketegangan antara kedua orientasi tersebut. Keduanya tumpang tindih dan masih belajar untuk menyeimbangkan dengan harmonis. Sehingga tidak heran, pandemi ini malah semakin memperlihatkan sebuah disorientasi nilai; korupsi menjadi buta dan seolah tak mengenal keadaan.
Di lain pihak, situasi yang mencuatkan disorientasi adalah mudahnya individu yang terpengaruh pada kelompok. Kedirian sebagai individu sangat mentah; pikiran pribadi hanyalah pantulan dari pikiran kelompok. Sehingga korupsi sangat dimungkinkan lahir bukan pertama-tama dari hasrat individu, namun juga ketakberdayaan akan pengaruh dari kelompok.
Seperti halnya ungkapan pakar filsafat budaya Bambang Sugiharto (2019) bahwa manusia Indonesia masih berada dalam kerangka di mana orientasi nilai pribadi hanyalah gema dari orientasi kelompok. Oleh karena itu korupsi kerap disebut aktivitas berkelompok, karena rantai produksinya sangat kolektif.
Kini kita menghadapi kenyataan pahit. Hak atas keadilan dikebiri melalui praktik korupsi, dan ironisnya terjadi pada saat pandemi, ketika semua orang sedang berjuang untuk hidup dan demi keluarga.
Negara tentu bukan hanya memberikan kasus ini pada ranah hukum, namun negara harus turun ambil sikap atas resesi moral pada pejabat dan pemimpin. Masalah ini memang'"lagu lama" bangsa ini, namun bukan berati membiarkan menjadi "tradisi". Resesi moral tampaknya lebih berbahaya daripada resesi ekonomi yang kerap digaungkan itu.
Optimisme
Adakah yang tersisa dari sikap optimisme dari rentetan kenyataan pahit yang dihadapi? Titik terang optimisme itu adalah bersama-sama membangun paradigma bahwa demokrasi dibangun atas dasar prinsip egalitarian, bukan perkara komoditif dan keuntungan sepihak.
Kita terlalu lama hidup dalam prinsip komoditif karena pengaruh modernitas, sehingga pesta demokrasi kita kerap bukan agenda pilihan pemimpin yang profesional, tapi agenda transaksi. Membangun paradigma tersebut bukanlah halnya mudah, perlu kerja koletivitas, integritas, dan lebih penting adalah kejujuran.
Setidaknya kita perlu membangun sebuah moralitas umum di mana orang diharapkan kembali merasa malu kalau bertindak dengan tidak jujur. Optimisme akan Indonesia maju lahir dari individu jujur.
Mungkin kejujuran terasa klise dalam pandangan umum yang semakin pragmatis dan instan ini, namun efek ketidakjujuran para pejabat negara kita semakin fatal dalam masyarakat yang masih sangat dipengaruhi oleh budaya panutan.
Pilkada kali ini kita berharap melahirkan kembali pemimpin yang jujur. Itu sudah sangat cukup, sebab itulah fondasi utama moralitas kita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Damar Tri Afrianto staf pengajar di Institut Seni Budaya Indonesia Sulawesi Selatan
(mmu/mmu)