Tengah malam itu, saat saya sedang ngopi-ngopi bersama dua kawan saya, telepon genggam berdering. Saya mengangkatnya. Karena saya selalu menyetel volume tinggi, dari seberang sana terdengar suara istri saya berkata keras sekali. "Paaak! Tuh anakmu ternyata belum ngerjain PR! Padahal besok pagi harus dikumpul! Pusing aku gini terus!"
Di depan saya, tawa langsung meledak dari mulut kawan-kawan. Bukan karena menertawai nasib saya yang diprotes istri karena tidak ikut mengingatkan anak saya tentang PR-nya. Tapi karena belum kering benar ludah kami selepas membicarakan topik yang sama. Bahwa sekolah daring anak-anak dari kedua kawan saya tadi pun amburadul. Mekanisme kontrol untuk kegiatan belajar anak-anak susah dijalankan. Belum lagi suasana rumah memang tidak menyediakan atmosfer sempurna untuk belajar, melainkan lebih cocok untuk bermain dan bercengkerama.
Kemarin, terjadi lagi peristiwa yang agak sama. Saya bertugas mengingatkan anak saya untuk kelas Zoom-nya. Sementara, istri saya yang belakangan rajin berolahraga demi perang melawan corona itu keluar untuk bersepeda. Ketika satu jam kemudian terdengar pintu garasi terbuka saat istri saya pulang, saya terlonjak kaget dan panik. Saya lupa mengingatkan anak saya buat nge-Zoom!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kontan, segera saja saya dicecar dalam majelis pengadilan yang langsung digelar istri di tempat kejadian perkara. Saya melakukan kelalaian fatal yang tak termaafkan di hadapan hukum rumah tangga. Sampai kemudian dengan lunglai saya menjawab, "Mbok sudah, yang lain-lain juga gitu kok. Temannya toh banyak. Hehehe."
Temannya banyak. Dua kata itu ternyata cukup menenangkan hati, setidaknya buat saya sendiri. Dan memang, banyak orangtua yang belepotan dalam memberikan dukungan maksimal kepada anak-anak mereka terkait sekolah daring itu. Itu fakta. Bukan cuma terkait kedua kawan saya. Namun saya juga menyimak lini masa berikut cerita dari puluhan orangtua lainnya.
Ya, temannya banyak. Pada masa-masa normal, senjata "temannya banyak" itu membuat kita cenderung jadi jenis manusia yang minimalis, gemar ikut-ikutan, nggak ada idealis-idealisnya, serta pasrah mengikuti arus selera kerumunan. Namun sekarang, agaknya ia justru menjadi jurus sakti yang membawa kita kepada ketegaran jiwa dan kedamaian batin yang lebih hakiki.
Ukuran-ukuran ideal memang penting, sebagaimana ajaran-ajaran dalam paradigma pendidikan kita yang beraroma industrial itu. Tapi yang kadang dilupakan, idealita selalu dipancangkan di atas konteks medan yang dihadapi. Begitu, bukan?
Di masa muda orangtua saya, jumlah guru sangat sedikit. Maka, ketika mereka masuk SPG alias Sekolah Pendidikan Guru, kemudian menjadi guru, kelas sosial mereka terdongkrak cepat. Menjadi guru itu sangat ideal. "Wah, sudah jadi pegawai," begitu kata orang-orang dengan kagum. Di lingkungan dusun, segala omongan bapak saya pun didengarkan orang. Tapi coba sekarang. Guru bukan lagi profesi istimewa, tidak lagi sangat ideal. Apalagi sekadar jadi "pegawai", di negeri yang mengalami over-populasi ASN ini.
Beberapa waktu lalu, istri saya bercerita tentang seorang kolega dari koleganya yang doktor lulusan luar negeri. Dalam bayangan banyak orang, kalau doktor lulusan luar negeri (atau mereka lebih berbangga hati kalau disebut PhD), tentu hidupnya sudah jelas enak sekali. Tapi nyatanya Mbak Doktor itu pontang-panting mencari pekerjaan di sini. Dulu kala, sekolah tinggi sampai jadi doktor itu istimewa dan sangat ideal. Tapi hari ini, ibaratnya jalan beberapa puluh meter di lini masa medsos saja sudah ketemu belasan doktor.
Di Jakarta, mobil keluaran awal 90-an terlihat jadul dan so yesterday. Barangkali Anda tidak akan cukup pede membawa mobil setua itu. Tapi kalau Anda orang Kuba, misalnya, tentu tak akan masalah menyetir mobil yang bahkan keluaran tahun 70-an di jalanan Havana. Lha gimana, wong mayoritas mobil saja produksi akhir tahun 50-an.
Semoga Anda menangkap maksud saya dengan contoh-contoh di atas. Tapi kalau gagal paham ya tidak apa-apa, jangan dianggap masalah. Toh kemungkinan temannya yang sama-sama nggak paham juga banyak.
Ringkasnya, kita selama ini memang hidup ala pacuan kuda. Prestasi-prestasi ditekankan. Capaian-capaian hidup dipamerkan. Semua itu membentuk mental obsesif, yang pada gilirannya kita turunkan kepada anak-anak kita. Anak-anak, yang tanpa sadar sering kita posisikan sebagai aset ekonomi dan sosial itu, kita pecut biar bisa memenuhi standar-standar ideal yang disepakati oleh lingkungan. Sialnya, situasi sekarang ini membuat segala ukuran ideal jadi sulit dijalankan. Penyebabnya tentu karena segenap aspek pendukung tak lagi menyajikan kesempurnaan.
Maka, strategi survival yang paling bisa diterapkan ya menata ulang ukuran ideal itu. Sebab ukuran idealnya juga sudah turut berubah, seiring situasi yang juga serba tidak ideal. Dan sekali lagi: tak usah khawatir, temannya banyak.
Dengan teman yang banyak, tak perlu pula kita membayangkan bahwa persaingan masa depan bagi anak-anak kita akan sangat keras. Lha wong yang sama-sama tidak bisa belajar dengan ideal juga banyak kok. Bahkan saya yakin satu Generasi Corona ini mengalami yang serba tidak ideal itu. Mereka yang sangat banyak itulah yang akan menjadi kawan bersaing anak-anak kita kelak.
Di sinilah pentingnya kemampuan spiritual secara komunal dalam menurunkan standar. Siapa tahu, itulah satu-satunya life skill yang akan membuat kita terus bertahan waras di masa yang kian sulit dinalar.
Iqbal Aji Daryono bapak dua anak
(mmu/mmu)