Pilkada: Modalitas vs Moralitas
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pilkada: Modalitas vs Moralitas

Selasa, 08 Des 2020 14:10 WIB
MOKHAMMAD SAMSUL ARIF
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi money politics
Ilustrasi: tim infografis detikcom
Jakarta -

Demokrasi secara aktual dan sampai kapan pun akan didefinisikan sebagai pemilu yang bebas dan adil (free and fair election). Oleh sebab itu, jika dalam Pilkada 9 Desember besok keterpilihan seorang kandidat masih ditentukan oleh kekuatan modal finansial, maka sesungguhnya pemilihan tersebut sama sekali tidak menggambarkan demokrasi.

Pada awal dimulainya masa kampanye, masyarakat tiba-tiba dikejutkan oleh pernyataan KPK dan Menko Polhukam; keduanya berpendapat bahwa mayoritas calon kepala daerah tidak lepas dari sokongan sponsor atau cukong. Bahkan praktik itu diklaim telah berlangsung lama sejak pilkada pertama kali dipilih oleh rakyat.

Jika KPK dan Menko Polhukam benar, maka ada benang merah antara praktik kartel politik dengan dengan pendapat yang menuding pilkada langsung berbiaya mahal. Dengan demikian, tidak diperlukan lagi kajian yang menyoal mengapa pilkada langsung perlu biaya besar, mengingat label "mahal" sejatinya berangkat dari kandidat sendiri, khususnya para kandidat yang tidak yakin atas peluang memenangi kontestasi sehingga harus menggunakan cara haram dengan membeli suara pemilih. Atau, demi mengimbangi kekuatan incumbent, seorang kandidat harus melakukan promosi dini jauh sebelum pemilihan dilaksanakan demi membangun popularitas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Potensi adanya ketidaksetaraan persaingan antarkandidat secara regulatif sebenarnya sudah diantisipasi oleh penyelenggara pemilihan. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 KPU di daerah berupaya membangun kesetaraan persaingan dengan antara lain memfasilitasi penyebaran visi-misi dan program setiap peserta pemilu secara berimbang, memasang APK (alat peraga kampanye), serta memfasilitasi pemasangan iklan kampanye di media.

Intervensi penyelenggara dalam hal fasilitasi kampanye tidak lain untuk mencegah segala tindakan malpraktik demi menciptakan equal playing field dan fair competitive. Namun, setelah penyelenggara pilkada memfasilitasi media kampanye apakah kemudian segala bentuk manipulasi pilihan masyarakat dapat lenyap begitu saja? Tentu saja jawabnya tidak.

ADVERTISEMENT

Hal itu tidak lepas dari setelah pemilih membentuk preferensi mereka; idealnya mereka dapat dengan bebas mengekspresikan pilihan mereka pada saat hari pemilihan. Namun, pada tahap inilah seringkali dimanfaatkan oleh "kandidat nakal" sebagai momentum untuk menekan serta mempengaruhi pilihan mereka dengan sebuah imbalan. Pilkada yang demokratis secara ideal seharusnya dapat mendorong hubungan rasional berbasis programatik antara kandidat dengan pemilih.

Pilkada merupakan sebuah siklus di mana pemilih yang memberikan suara berdasarkan preferensinya menjadi wujud evaluasi atas dampak pemilihan sebelumnya. Namun ketika "logistik" menjadi "modalitas" utama persaingan meraih suara pemilih, maka rasionalitas tidak cukup membendung gelombang mobilisasi praktik jual-beli suara yang pada umumnya menyasar masyarakat dengan tingkat ekonomi dan pendidikan bawah. Sehingga tidak ada jalan lain, pada titik ini diperlukan cara-cara frontal guna memutus tradisi tidak memilih kalau tidak ada uangnya, atau tidak menang kalau tidak keluar modal besar.

Dari hasil survei oleh Founding Father House untuk Pilkada 2015 dan 2017 serta survei Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi (TIME) jelang Pilkada 2018, secara keseluruhan hasil survei menunjukkan lebih dari 60 persen responden menyatakan politik uang sebagai sesuatu yang wajar, dan mereka tidak menolaknya. Apabila melihat tren survei tiga kali pelaksanaan Pilkada Serentak, maka dapat disimpulkan jika pengaruh politik uang masih sangat dominan, terlebih pada Pemilu Serentak 2019, survei LIPI semakin mempertegas jika masyarakat memandang uang bagian dari kontestasi yang tidak perlu dipermasalahkan.

Berkaca dari tiga kali pertemuan antara "modalitas" dengan moralitas pada Pilkada Serentak, pada 9 Desember besok sudah hampir pasti kans "modalitas" kembali bertengger sebagai jawara terbuka lebar. Apalagi kontestasi diselenggarakan di tengah resesi yang berimbas pada merosotnya kondisi ekonomi masyarakat terutama sektor informal. Apakah kemudian politik uang tidak dapat dicegah dan dihentikan? Tentu saja bisa, namun tidaklah mudah.

Mengubah pola perilaku memilih yang sudah hampir menjadi kenormalan baru, entah itu pada pilihan kepala desa, pimpinan parpol, kepala daerah serta jabatan-jabatan publik lainnya membutuhkan kerja sama ekstra dari seluruh elemen masyarakat. Dalam sebuah pemilihan, setidaknya ada dua tipikal pemilih rasional. Pertama, pemilih datang ke TPS karena didorong oleh keyakinan akan jaminan sebuah pemilihan yang bebas dan adil. Kedua, tipikal pemilih pragmatis yang terbentuk oleh tradisi memilih karena ada imbalan, apakah itu berbentuk "pra-bayar" ataupun "pasca-bayar".

Cara untuk mengubah mindset perilaku memilih sekali lagi tidaklah mudah, namun sedikitnya ada dua cara yang perlu untuk dicoba. Pertama, dengan pendekatan sosial budaya. Meski terdengar bukan suatu gagasan baru, nyatanya cara ini terbukti efektif menanamkan pemahaman dan kesadaran. Ambil saja program KB sebagai contoh. Ketika mendapatkan resistensi yang begitu besar dari masyarakat, para opinion leaders entah itu tokoh masyarakat ataupun pemuka agama secara heroik dapat mengubah pola pikir masyarakat secara drastis, sehingga yang awalnya ada penolakan pada akhirnya dapat menerima semua.

Opinion leaders itu adalah orang-orang yang secara kultural dihormati dan suaranya lebih didengar dibanding dengan petugas atau aparat. Secara teoretik, jarak antara knowing ke doing itu jauh sekali, sehingga peran perantara langsung sangat dibutuhkan untuk menggugah cara berpikir masyarakat. Situasi ini tidak lepas dari kecenderungan jika setiap orang biasanya baru akan peduli kalau sudah tahu risikonya, dan orang yang paling memiliki pengaruh untuk menanamkan persepsi ini adalah para tokoh masyarakat.

Cara kedua menghalau berkembangnya politik uang adalah dengan menggerakkan pemilih pemula. Pemilih pemula adalah kelompok yang paling familier dengan penggunaan informasi dengan platform digital. Kelebihan ini harus segera dilihat oleh penyelenggara pilkada sebagai basis kekuatan yang dapat mempelopori gerakan memilih dengan moralitas. Artinya, penyelenggara pilkada harus mendorong agar pemilih pemula berani mengekspresikan hak pilihnya secara bersih dan berdaulat, bukan memilih karena tekanan dan pengaruh yang tidak semestinya.

Pemilih muda memiliki tanggung jawab mendobrak tradisi dengan menjadi penunjuk arah bagi pemilih pragmatis yang telah dikuasai tradisi buruk demokrasi. Pemilih pemula bukan terlahir untuk menjadi "budak-budak politik" baru; kaum milenial memiliki bargaining position power yang besar yang dapat saja mengubah budaya demokrasi lokal saat ini. Dengan kata lain, para pemuda adalah blocking segala praktik manipulatif yang dapat mengurangi kredibilitas pemilihan.

Pemberian imbalan seringkali diasosiasikan sebagai kearifan lokal, sehingga kalau calon tidak memberikan sesuatu, maka calon tersebut langsung dicap sebagai personal yang pelit, gak bondo alias tidak modal.

Sebagai booster perlawanan terhadap iming-iming imbalan dari kandidat nakal, tidak ada salahnya jika penyelenggara pilkada juga menginisiasi pemberian penghargaan bagi setiap individu yang berani memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai dugaan pelanggaran pilkada berupa praktik jual beli suara. Cara yang kurang lebih hampir sama seperti dilakukan KPK dan pemerintah dalam mengapresiasi warga masyarakat yang berani melaporkan segala tindak pidana korupsi.

Mokhammad Samsul Arif mahasiswa S2 Tata Kelola Pemilu FISIP Universitas Airlangga

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads