Di balik dilema yang membayangi, terdapat kerisauan perihal kualifikasi ideal pemimpin di level lokal untuk menjawab tantangan ke depan yang makin berat dan tidak pasti. Asumsinya, kualifikasi pemimpin yang dilahirkan dalam suasana krisis seharusnya tidak cukup sebagaimana dalam kondisi "normal". Melainkan mereka yang mampu melampaui normalitas pra-krisis, yakni sosok pemimpin yang memiliki sensitivitas krisis (sense of crisis) dengan tanpa mengabaikan koridor norma yang ada.
Dengan kata lain, tidak lagi memadai lazimnya kualitas pemimpin seperti jujur, baik, dan bertanggung jawab sebagaimana dikehendaki oleh masyarakat dalam keadaan normal. Lebih dari itu, karakter berani, cepat, dan akurat dalam mengambil tindakan dan kebijakan, misalnya, sangatlah diperlukan dalam kepemimpinan kekinian dan ke depan.
Tiga Konsep
Kebutuhan untuk itu memang tidak didasarkan dari hasil survei sebagaimana umumnya selama ini. Namun hal ini berangkat dari konteks kemelut krisis yang melatarbelakangi lahirnya pemimpin lokal tersebut. Kondisi krisis yang melanda kita idealnya mampu melahirkan sosok pemimpin yang mampu mengakomodasi tuntutan rakyat, khususnya mereka yang tengah berada dalam situasi kritis, maupun sebagian yang masih menaruh kepedulian (kritis) dengan melayangkan masukan maupun kritik bagi pemimpin.
Tiga konsep yang implisit melingkupi kepemimpinan di masa krisis sebagaimana disebut yaitu sensitivitas krisis, kritis dan kritik. Sensitivitas krisis dari sosok pemimpin mengandaikan bahwa ia terlahir dan menjadi bagian dari krisis yang sedang menerpa rakyatnya. Oleh karena itu, segala hal yang dihasilkan dari model dan gaya kepemimpinannya, mulai dari pernak-pernik citra dan sikap yang nampak, hingga kebijakan-kebijakan yang ditelurkan hendaknya mampu berjalan dalam satu tarikan napas dengan rakyat sekaligus mampu menjawab kompleksitas dan kemendesakan tuntutan krisis.
Kepemimpinan sensitif krisis mengandaikan karakter seorang pemimpin yang prihatin, rela menahan diri dari kemudahan-kemudahan fasilitas kekuasaan, mampu menyelami akar rumput secara lebih mendalam untuk memotret problem-problem yang melilit warganya secara lebih akurat. Dari situlah ia mendapatkan bahan mentah untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang dapat mengentaskan masyarakat dari kubangan krisis secara akurat dan reliabel.
Ia juga harus mempunyai proyeksi visioner untuk meneropong masa depan, setidaknya dalam satu dekade. Sebagaimana banyak diberitakan, bahwa tantangan utama kita dalam waktu dekat sekurang-kurangnya adalah kesehatan, pangan, pekerjaan, dan infrastruktur.
Pandemi dan resesi ekonomi yang kini menghadang kita telah membelalakkan mata betapa problem kesehatan tidak bisa dianggap remeh. Efek domino yang diakibatkan begitu dahsyat dan multidimensi. Begitupun persoalan pangan karena masifnya industrialisasi yang mengarah pada kelangkaan lahan pertanian akibat alih-fungsi lahan maupun makin sedikitnya tenaga kerja di sektor pertanian.
Di sisi lain, digitalisasi kehidupan telah memaksa sejumlah pekerjaan raib digantikan oleh perangkat lunak, mesin, dan robot. Namun bersamaan dengan itu juga melahirkan sejumlah pekerjaan baru yang kompatibel dengan teknologi digital.
Laporan World Economic Forum pada Oktober 2020 bahkan mengidentifikasi bahwa pada 2025 terdapat 85 juta pekerjaan yang digantikan oleh mesin. Sementara pada saat yang sama, bermunculan 97 juta pekerjaan baru yang menyandingkan manusia, mesin dan algoritma. Berikutnya, problem infrastruktur, baik yang bersifat fisik maupun digital, yang tidak luput menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin untuk semakin diakselerasikan.
Mental, Pikiran, Tindakan
Pemimpin sensitif krisis seharusnya memiliki karakter mental yang makin merakyat sekaligus karakter pikiran dan tindakan yang mampu secara berani, cepat, dan akurat dalam mengurai dan memecahkan kompleksitas problem yang melingkupi. Ia juga dituntut mampu mendesain fondasi bagi transformasi kehidupan menuju cakrawala masa depan. Sekaligus ia juga harus bersedia membuka mata dan telinga lebih lebar untuk menangkap segala aspirasi kritis dari masyarakat, termasuk kritik bagi diri dan gaya kepemimpinannya.
Bagaimanapun, ketidakmenentuan krisis terkadang memaksa langkah-langkah kebijakan yang sudah direncanakan dengan matang harus dikoreksi bahkan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga lebih relevan dalam menanggulangi perubahan yang makin cepat. Penting juga ditekankan bahwa keberanian, kecepatan ,dan akurasi sosok pemimpin dalam mengambil keputusan jangan sampai menggelincirkan dirinya ke dalam gaya kepemimpinan tangan besi (otoritarian), eksklusif, apalagi anti-kritik.
Walhasil, di era new normal rakyat membutuhkan sosok pemimpin yang "baru". Sosok pemimpin yang tidak hanya work as usual, melainkan yang mampu melampaui normalitas sebelumnya, dengan tanpa tergelincir menjadi abnormal atau bahkan cacat baik secara etik, moral maupun koridor aturan bernegara secara demokratis.
Harapan saya sebagai pemilih yang mungkin juga mewakili harapan umumnya pemilih, bahwa kita membutuhkan pemimpin yang sensitif krisis, berikut tawaran-tawaran program yang lebih berani, metode pembangunan yang relevan dan ketersediaan data yang akurat. Sekaligus ia yang rela membuka panca indera, hati, dan pikiran terhadap alternatif-alternatif kritis maupun kritik yang barangkali luput dari perhitungan. Semoga!
Fahrul Muzaqqi Koordinator Bidang Kajian Isu Strategis di Lakpesdam NU Jawa Timur, dosen di Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga Surabaya
(mmu/mmu)