Korupsi Bansos yang Memalukan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Korupsi Bansos yang Memalukan

Selasa, 08 Des 2020 11:34 WIB
Umbu TW Pariangu
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ribuan paket bansos didistribusikan kepada masyarakat terdampak pandemi COVID-19. Paket bansos itu didistribusikan kepada masyarakat di wilayah Jabodetabek.
Paket bansos untuk warga terdampak pandemi (Foto: Istimewa)
Jakarta -

Saat membuka Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah via konferensi video di Istana Merdeka (15/6), Presiden Joko Widodo meminta para pengawas dan penegak hukum (BPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung hingga KPK) untuk menindak tegas dan "menggigit" penyelenggara negara yang terindikasi atau terbukti melakukan korupsi anggaran penanganan dampak virus corona.

Arahan tersebut pun langsung disambut Ketua KPK Firli Bahuri yang siap "menggigit" mereka yang berniat mengkorupsi anggaran sebesar Rp 677,2 triliun tersebut. Sayang peringatan tersebut dikangkangi oleh menterinya sendiri. Minggu (6/12) dini hari, KPK melakukan OTT terhadap Menteri Sosial Juliari P Batubara terkait dana Bansos Covid-19. Terkait itu, KPK sebelumnya juga sudah menangkap Pejabat Kementerian Sosial sejak Jumat (4/12) sampai Sabtu (5/12).

Harus diakui dana-dana bansos selalu menjadi ajang korupsi oknum-oknum tak bertanggung jawab untuk memperkaya dirinya, tak terkecuali bagi seorang menteri. "Mentalitas lele" atau mentalitas mengail di air keruh ini telah "memotong" hak-hak masyarakat yang tidak mampu, yang membutuhkan sokongan untuk bisa bertahan hidup terlebih di masa-masa krisis akibat pandemi corona. Ini tentu sangat memalukan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pandemi telah memicu krisis daya tahan masyarakat khususnya di bidang ekonomi dan pekerjaan. Menurut Survei Jobstreet Indonesia (7/10), sebanyak 35 persen pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan 19 persen dirumahkan sementara. Pekerja paling terdampak dari pemberhentian kerja permanen atau sementara yakni sektor hospitality/catering 85 persen, pariwisata/travel 82 persen, pakaian/garmen/tekstil 71 persen, makanan dan minuman 69 persen, dan arsitektur/bangunan/konstruksi 64 persen. Ini tentu saja berpotensi memicu peningkatan angka kemiskinan masyarakat.

Menurut simulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPENAS) dengan skenario terburuknya, pandemi bisa menjerembabkan 3,6 juta warga ke lembah kemiskinan baru serta yang terdampak di sektor informal.

ADVERTISEMENT

Takut Lapar

Masyarakat kini tidak lagi takut pada virus corona, tapi lebih takut terhadap kemiskinan dan kelaparan. Hasil riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) beberapa waktu lalu menunjukkan, memasuki minggu kedua Juni 2020, masyarakat lebih takut terhadap kesulitan ekonomi ketimbang virus corona. Riset tersebut salah satunya merujuk pada survei VoxPopuli Center (26 Mei-1 Juni) yang menyatakan 67,4 persen masyarakat lebih takut kelaparan dibandingkan virus corona (25,3 persen).

Itu sebabnya tanggung jawab kemanusiaan negara menyelamatkan masyarakat dari terpaan krisis akibat pandemi menjadi sebuah keniscayaan. Intervensi negara mengucurkan bansos sebagai kebijakan sekuritas-kemanusiaan merupakan kesempatan untuk menjaga harapan hidup masyarakat dari krisis multisektor.

Sayangnya, penyaluran bansos kerap dinodai oleh tangan-tangan kotor yang tidak bertanggung jawab. Survei lembaga penelitian Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tentang efektivitas bansos wabah Covid-19 (12 Mei) menyebutkan, 60 persen masyarakat menganggap penyaluran bansos tidak tepat sasaran karena mereka melihat ada warga lain yang berhak tetapi belum menerima bantuan. Sedangkan 29 persen mengatakan bahwa bansos diberikan kepada yang tidak berhak. Dan, dari 34 persen warga Indonesia yang berhak mendapat bansos, baru 21 persen warga yang menyatakan sudah menerima.

Temuan itu serupa dengan hasil survei Indikator Politik Indonesia (16-18 Mei); sebanyak 60,3 persen masyarakat menyebut bansos tidak tepat sasaran dan 29,7 persen menyebut tepat sasaran, sisanya 10 persen masyarakat menjawab tidak tahu. Beberapa kasus penyelewengan dana bansos terjadi di Banten dan Sumatera Utara. Di Banten, pendataan dan penyaluran bansos masih terjadi carut-marut. Di Simalungun, Sumatera Utara, misalnya, ditemukan pemotongan jatah beras sebanyak 2 kilogram per penerima (Kontan.co.id 19/6).

KPK sudah menerima 118 keluhan terkait penyaluran dana bansos melalui aplikasi JAGA yang ditujukan kepada 78 pemerintah daerah yang terdiri dari 7 pemerintah provinsi dan 71 pemerintah kabupaten/kota. Instansi yang terbanyak menerima keluhan adalah Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Indramayu (masing-masing 5 laporan), Pemkab Tangerang dan Pemkab Bandung (4 laporan), Pemkab Aceh Utara dan Subang (masing-masing 3 laporan).

Mayoritas keluhan soal banyaknya mereka yang tidak menerima bantuan walau sudah mendaftar, termasuk kurangnya jumlah bantuan dana yang diterima dari yang seharusnya. Keluhan lain yakni bantuan yang tidak dibagikan oleh aparat kepada penerima bantuan, penerima fiktif, memperoleh bantuan lebih dari satu, bantuan yang berkualitas buruk, seharusnya menerima bantuan tetapi tidak menerima.

Tak Dievaluasi

Data-data di atas tentu berpotensi meningkat menjelang momentum Pilkada 9 Desember. Manipulasi dana bantuan sosial di berbagai daerah selama ini seperti kentut yang tak bisa terdeteksi sumbernya selain baunya. Belum lagi kasus-kasus penyimpangan dana bantuan yang tidak berujung di meja hukum karena kongkalikong. Tampaknya preseden penyimpangan tata kelola bansos tidak pernah menjadi bahan evaluasi oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah dari waktu ke waktu.

Persoalan data kesejahteraan sosial terpadu (DTKS) misalnya tidak pernah rutin di-upadate, divalidasi secara berkala hingga ke tingkat RT/RW. Kriteria yang dibuat pemerintah daerah terhadap warga calon penerima bansos pun selalu tidak akurat, cenderung subjektif, sehingga membuka peluang terjadinya sejumlah warga yang semestinya tidak layak mendapatkan bansos justru menerimanya.

Inisiatif pemerintah daerah menyosialisasikan jenis, peruntukan, dan waktu penerimaan bansos kepada rakyat, termasuk membuat kanal pengaduan juga masih minim. Dengan kata lain, kultur birokratisme pemanfaatan anggaran masih merajai. Belum lagi fenomena persiapan pilkada, yang digunakan elite-elite lokal dengan memanfaatkan bansos untuk kepentingan politik elektoral.

Kita mendukung penuh KPK yang serius mengawasi penyaluran dana bansos. Ancaman hukuman mati bagi penyeleweng dana bansos harus dibuktikan lewat kerja proaktif dengan menggandeng BPK, Ombudsman, termasuk publik. KPK harus fokus pada penyisiran area dominan korupsi bansos sesuai temuannya beberapa waktu lalu, yakni pengadaan barang dan jasa, refocusing dan realokasi anggaran Covid-19 pada APBN dan APBD, pengelolaan filantropi atau sumbangan pihak ketiga bukan gratifikasi, serta penyelenggaraan bansos.

Titik-titik tersebutlah yang perlu dikapitalisasi pengawasannya. Intinya, KPK harus memastikan bahwa kejadian luar biasa pandemi tidak membukakan ruang bagi perilaku korupsi bansos yang berusaha menjadikan diskresi sebagai tamengnya. Ini merupakan ujian reputasi KPK jika ingin kembali menoreh kepercayaan dari masyarakat.

Umbu TW Pariangu dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang; penulis buku Elite Maling dan Politik Kapital

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads