Pada 15 November lalu, Indonesia dan 14 negara lain yang terdiri dari 9 negara ASEAN, China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru menandatangani perjanjian dagang Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
RCEP merupakan kemitraan dagang terbesar kedua dunia setelah WTO di mana total Produk Domestik Bruto (PDB) RCEP mencapai 30,2 persen dari PDB dunia; Foreign Direct Investment (FDI) 29,8 persen; penduduk 29,6 persen; dan perdagangan 27,4 persen. Dengan terintegrasinya Indonesia dalam blok dagang ini, akan ada angin segar baru yang akan berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun tidak sepenuhnya perjanjian ini membawa manfaat bagi Indonesia. Secara teoritis, dalam hubungan Internasional akan selalu terselip kepentingan nasional negara-negara pesertanya entah itu dari segi militer, ekonomi atau budaya. Kepentingan nasional ini berkaitan erat dengan power entah itu sebagai tujuan ataupun instrumen untuk mencapai kepentingan nasional.
Dengan demikian, ketika orientasi sudah mengarah kepada penggunaan power dan bertujuan untuk power, konsekuensinya adalah kompetisi, perimbangan kekuasaan, konflik, hingga perang. Barangkali dasar pemikiran inilah yang membuat India belakangan mundur dari RCEP setelah menghitung untung-ruginya perjanjian tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila berangkat dari adanya kompetisi dalam mengejar kepentingan nasional, Indonesia harus lebih agresif dalam mempersiapkan diri menghadapi RCEP. Tidak bisa dengan tenang dan santai saja bermodal keyakinan RCEP untuk tujuan bersama. Pasalnya, negara mitra yang notabenenya mayoritas lebih siap dalam perdagangan bebas bisa saja malah memberikan efek samping yang negatif bagi Indonesia.
China misalnya yang mempunyai ambisi menyelesaikan mega proyek Belt-Road Initiative (BRI). Jika China berhasil mendominasi di dalam kemitraan ini dengan power yang dimilikinya sebagai negara kekuatan ekonomi baru dan BRI dapat terealisasi melalui RCEP, hal ini akan menimbulkan ketergantungan Indonesia pada China dari segi ekonomi.
Tidak menutup kemungkinan juga ada konflik kepentingan dalam perjanjian dagang besar ini yang akan menghambat manfaatnya bagi negara-negara lainnya jika Jepang dan China memasukkan sentimen hubungannya yang sedang memanas akibat konflik Laut China Timur. Ibarat dua kutub yang sama dalam magnet, mereka tidak dapat bersatu dan cenderung membuat "blok baru" di dalam blok yang sudah ada.
Persiapan
Indonesia yang sudah terlanjur "tercebur" dan bahkan menjadi aktor utama dalam menggagas Kemitraan dagang ini kecil kemungkinannya untuk mundur dalam waktu dekat. Belum ada alasan pula mengapa harus mundur sebab perjanjiannya baru akan diratifikasi beberapa tahun mendatang dan dampaknya belum terlihat apa-apa.
Untuk sekarang ini, fokus utama yang harus dilakukan adalah melaksanakan persiapannya dalam menatap era baru RCEP. Bukan tidak disadari oleh pemerintah, dampak negatif selanjutnya dari RCEP adalah membuka peluang membanjirnya produk impor di dalam negeri.
Tidak menutup kemungkinan juga bila Jepang dan China sebagai negara dengan banyaknya perusahaan multinasional (ditambah ambisi mengejar pengaruh di negara-negara Asia Tenggara) akan benar-benar memanfaatkan perdagangan bebas yang didasari pada pemangkasan tarif hingga 92% untuk memperluas pangsa pasarnya.
Jika sudah demikian, ketika barang impor sudah membanjir di dalam negeri, persaingan akan terasa lebih berat khususnya bagi produk industri UMKM untuk bersaing di pasar dalam negeri ditambah adanya kecenderungan masyarakat Indonesia relatif lebih tertarik mengonsumsi barang yang berasal dari luar negeri.
Menjanjikan
Sebenarnya, RCEP cukup menjanjikan bagi UMKM untuk terintegrasi dalam global value chain (GVC) atau rantai nilai global di kawasan ini untuk membuka kembali jangkauan pasar yang lebih luas. Tetapi, UMKM yang merupakan kontributor terbesar bagi perekonomian nasional memiliki beberapa persoalan yang harus diselesaikan jika ingin memiliki daya saing di era RCEP, salah satunya kapasitas produksi yang terbatas.
Kemampuan UMKM memproduksi barang dan jasa masih pada tingkatan yang tergolong kecil. Hal ini berimplikasi pada ketidakmampuan UMKM menerima permintaan yang besar. Faktor kunci dari terbatasnya produksi adalah minimnya penggunaan teknologi yang mampu menciptakan kondisi efisiensi sebab kurangnya akses permodalan bagi UMKM.
Bila membandingkan dengan Malaysia dan Thailand, Indonesia tertinggal dalam hal persiapannya. Malaysia sudah memulai strategi untuk mendorong UMKM masuk dalam GVC sejak 1970-an dengan meningkatkan kapasitas dan keahlian sumber daya manusianya yang berorientasi menjadi pemasok pada industri elektronika. Sedangkan Thailand, pada 2000-2002 telah mengeluarkan program semisal SME promotion plan dan mendirikan Small and Medium Enterprise Development Bank of Thailand yang bertujuan untuk mendorong UMKM nya masuk dalam GVC di industri otomotif.
Hal ini kemudian menjadikan UMKM di Indonesia masih tergolong rendah bila dibandingkan dua negara di atas soal tingkat partisipasinya di dalam GVC bahkan cukup kontras dengan Indonesia hanya mencatatkan angka 6,3% sementara Malaysia dan Thailand secara berturut-turut mencatatkan angka 46,2% dan 29,6%.
Selain itu, kontribusi UMKM Indonesia dalam kegiatan ekspor berada di angka 14% pada 2020 ini masih kalah bila dibandingkan Thailand dan Singapura yang pada 2013 menunjukkan kontribusi UMKM bagi ekspor secara berturut-turut sebesar 25,5% dan 19%. Belum lagi jika kita memasukan China, Korea Selatan, dan Jepang yang sudah berpengalaman lebih dulu dalam mendorong UMKM-nya masuk dalam GVC dan memiliki pasar yang kuat di dalam negerinya.
Dengan demikian, Indonesia masih harus mengejar ketertinggalannya dalam peningkatan daya saing UMKM untuk menembus pasar internasional khususnya dalam kawasan RCEP setelah masuk dalam era kesepakatan perdagangan multilateral ini.
Menatap Era Baru
UMKM sebagai sektor usaha yang mendominasi di Indonesia akan menatap era baru ini. Edukasi dan pelatihan harus terus ditingkatkan secara agresif untuk menciptakan SDM pelaku UMKM yang berdaya saing.
Selain itu, literasi dan inklusi keuangan bagi pelaku UMKM juga hal penting yang perlu terus ditingkatkan. Hal ini dapat membawa manfaat bagi permodalan pelaku UMKM yang akan menunjang meningkatnya efisiensi dan kapasitas produksi industri UMKM di Indonesia di tengah persaingan yang semakin kompetitif.
Renaldo Gizind Koordinator Wilayah Sumatera Bagian Selatan Ikatan Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Indonesia (IMEPI)