Dalam beberapa hari terakhir, selaku praktisi pada laboratorium biomolekuler rumah sakit, beberapa kali saya menerima laporan tentang adanya perbedaan hasil swab antara laboratorium pada rumah sakit yang berbeda.
Misalnya seorang pasien mendapatkan hasil positif SARS-CoV-2 (virus penyebab COVID-19) pada laboratorium A, kemudian karena merasa tidak puas pasien tersebut kembali melakukan pemeriksaan di tempat lain (laboratorium B), dan hasil yang keluar adalah negatif SARS-CoV-2, atau sebaliknya.
Untuk memahami adanya perbedaan hasil tersebut berikut saya berikan ulasan untuk kita ketahui bersama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengenal Pemeriksaan
Pertama, kita perlu mengenal pemeriksaan RT-PCR COVID-19. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas (gold standart) dalam mendeteksi keberadaan virus SARS-CoV-2 yang ada pada sampel yang diperiksa, baik sampel tersebut berasal dari swab tenggorokan, swab hidung, dahak, atau sampel lainnya. Artinya, metode ini memberikan hasil yang sangat akurat dalam mendeteksi keberadaan virus dibandingkan pemeriksaan lainnya.
Namun demikian, menurut kepustakaan metode tersebut memiliki akurasi sensitivitas sekitar >80% dan spesifisitas >99%. Artinya, jika didapatkan hasil positif, maka dapat dipastikan yang terdeteksi adalah benar virus SARS-CoV-2, namun jika negatif hasil tersebut masih memiliki peluang kesalahan sebesar 20% atau negatif palsu.
Kemudian, pada pemeriksaan RT-PCR COVID-19, adapun komponen yang dideteksi adalah gen target dari virus. Virus SARS-CoV-2 sendiri memiliki banyak gen seperti gen yang mengkode protein replikase (ORF1a/ORF1b), spike (S), envelope (E), membrane (M), nucleocapsid (N), sehingga kit/bahan RT-PCR yang digunakan oleh laboratorium akan sangat bervariasi tergantung dari ketersediaan bahan dari masing-masing laboratorium.
Ada kit PCR COVID-19 yang hanya mendeteksi gen N1 dan N2, ada kit RT-PCR yang mendeteksi dua gen sekaligus (misal gen ORF1ab dan N), dan ada pula kit RT-PCR yang mendeteksi tiga gen sekaligus (misal gen ORF1ab, RdRp, dan E). Semakin banyak gen yang dapat dideteksi tentu selaras dengan hasil pemeriksaan yang menjadi lebih akurat.
Selain adanya variasi kit/bahan RT-PCR, pemeriksaan RT-PCR COVID-19 juga dipengaruhi oleh waktu dan teknik pengambilan serta transportasi sampel. Virus yang akan dideteksi ini jumlahnya dapat berfluktuasi dari waktu ke waktu, sehingga untuk mendapatkan hasil positif diperlukan kadar virus (viral load) yang cukup (memenuhi ambang batas alat) pada sampel yang diperiksa.
Jika pada saat pemeriksaan virus yang terambil cukup kadarnya, maka akan memberikan hasil positif atau terdeteksi pada pemeriksaan RT-PCR. Sebaliknya jika pada saat pengambilan sampel, virus yang terambil tidak cukup (baik karena dinamika kadar virus yang sedang menurun atau kurang optimalnya teknik sampling yang dilakukan), maka pada pemeriksaan RT-PCR akan memberikan hasil yang negatif palsu (virus sebenarnya ada, namun tidak dapat terdeteksi).
Selain adanya kemungkinan perbedaan kit/bahan RT-PCR yang digunakan dan adanya perbedaan waktu swab yang dapat menyebabkan fluktuasi kadar virus, masih terdapat beberapa hal lain yang dapat mempengaruhi perbedaan hasil RT-PCR COVID-19 seperti kualitas sampel yang diambil, kualitas media transport (untuk penyimpanan sampel), perbedaan teknik isolasi gen, keterampilan operator, dan lain-lain.
Dengan demikian artinya banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan RT-PCR COVID-19. Terlebih lagi jika sampel yang diambil sudah pada waktu yang berbeda, maka akan sangat mungkin ditemukan adanya perbedaan hasil tersebut.
Menerima Hasil
Masyarakat selaku konsumen sebaiknya bisa menerima hasil laboratorium dengan bijak. Masyarakat harus lebih mawas diri dengan gejala yang dialami dan mentaati protokol kesehatan yang ada. Jika hasil swab positif dan kita bergejala, segera lakukan pemeriksaan pada fasilitas kesehatan rujukan COVID-19. Namun jika hasil swab positif dan kita tanpa gejala (OTG), laksanakan isolasi mandiri sesuai anjuran pemerintah.
Lebih baik kita mengisolasi diri sehingga dapat mengurangi penularan virus COVID-19 daripada melakukan pemeriksaan di laboratorium lain kemudian mendapatkan hasil negatif sehingga kita mengabaikan proses isolasi mandiri (yang mana sesungguhnya hasil yang kita dapatkan kemungkinan besar adalah negatif palsu akibat perubahan dinamika kadar virus atau faktor lainnya).
Ketika kita abai melakukan isolasi mandiri, maka dapat menyebabkan penularan virus pada keluarga atau lingkungan tempat kita tinggal menjadi tidak terkendali. Stigma buruk jika terkonfirmasi COVID-19 juga perlu dihilangkan dari masyarakat. Karena COVID-19 bukanlah suatu aib, melainkan merupakan penyakit akibat virus yang dapat menginfeksi tanpa menimbulkan gejala dan sebagian besar penderitanya dapat sembuh.
dr. Fajri Marindra, M.Kom, M.Biomed dosen KJF Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Riau, tenaga ahli laboratorium Biomolekuler RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau