Mengandaikan segala sesuatu yang baik, ideal, atau seharusnya dicapai tetapi tidak tercapai atau gagal diwujudkan adalah dosa. Maka, nampaknya Perguruan Tinggi (PT) kita memiliki sejumlah dosa sampai saat ini. Menjadi dosa besar pula ketika disadari bahwa yang ideal tersebut sebenarnya bisa diwujudkan, tetapi pada kenyataannya selalu jatuh pada kesalahan dan kekurangan yang sama.
Keharusan-keharusan atau ideal-ideal tersebut mencakup, (1) lulusan dengan kualifikasi (a) lulusan PT seharusnya bekerja dan berkarir atau tidak boleh jadi penganggur; (b) lulusan PT seharusnya menjadi teladan dalam banyak kebaikan dan keutamaan seperti pengetahuan, keterampilan, dan sikap-sikap tangguh, jujur, tidak koruptif, pembelajar, dan berkontribusi bagi kemajuan diri, keluarga, dan masyarakat;
(2) PT dengan tridarmanya seharusnya mampu menjawab dan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat seperti kemiskinan, pengangguran, dan pelanggaran hukum; dan (3) PT seharusnya mampu bersaing dengan PT luar negeri dan berada pada posisi terhormat di dalam pemeringkatan internasional dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan melihat angka statistik jumlah pengangguran lulusan PT yang semakin tinggi, pelaku pelanggaran hukum, khususnya korupsi, yang adalah lulusan PT, menumpuknya persoalan masyarakat yang tidak terselesaikan, serta rendahnya peringkat PT Indonesia dalam pemeringkatan global, maka setidak-tidaknya itulah tiga dosa besar PT Indonesia.
Pada tingkat yang lebih rendah terdapat juga sejumlah kekurangan yang berkecenderungan menjadi dosa, antara lain kecenderungan komersialisasi dan mahalnya pendidikan. Selanjutnya adalah kecenderungan makin eksklusifnya PT di mana hanya mereka yang mampu secara ekonomi atau yang di kotalah yang masuk PT.
Terlalu berorientasi pada ranking dunia dan kurang berakar pada konteks lokal kemasyarakatan merupakan kesalahan lain. Ini tidak dimaksudkan dalam konteks keilmuan yang memang punya karakter mencapai kebenaran universal - setidak-tidaknya dalam bidang sains dan teknologi, tetapi lebih pada, (1) kemanfaatan untuk mengatasi persoalan sosial-kemasyarakatan setempat dan (2) mengangkat potensi-potensi lokal (baik itu sumber daya alam maupun kearifan-kearifan lokal) ke tataran global.
![]() |
MBKM - Decoupling atau Recoupling
Ada harapan bahwa MBKM akan decoupling PT dari kemapanan sistemik. Khususnya melalui Permendikbud No 5 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Dikti yang memberi tiga semester kepada mahasiswa untuk belajar di luar prodi dan PT sendiri, persoalan mismatch antara PT dengan dunia usaha dan industri dapat diatasi.
Lulusan PT tidak lagi gagap memasuki dunia kerja, karena ketika menempuh studi pun sudah memiliki pengalaman lewat magang atau praktik kerja di industri. Lebih dari itu, dengan berbekal pengetahuan dan keterampilan kerja, terutama sikap adaptif dan terbuka untuk terus belajar, mereka serta-merta menjadi bagian dari proses kerja yang produktif dan konstruktif.
Korporasi atau lembaga pun mendapatkan tenaga kerja yang memang dapat meningkatkan kinerja perusahaan atau lembaganya. Tidak saja masa tunggu kerja yang diperpendek melalui magang dan praktik kerja, tingkat pengangguran lulusan PT pun dapat ditekan serendah mungkin.
Proses decoupling juga berlangsung dengan terbukanya PT untuk berkolaborasi dengan industri dan makin dekatnya PT dengan persoalan riil yang ada di masyarakat. Melalui program pembangunan desa atau Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik, satu demi satu persoalan dapat diatasi.
Pola hidup sehat, ketertiban sosial, dan kepatuhan hukum dapat ditingkatkan melalui program kerja yang tidak saja berkelanjutan, tetapi juga meluas. Kegiatan produksi ekonomi pun dapat berkembang dengan aplikasi manajemen dan teknologi tepat guna.
KKN tematik tidak sakadar program pengumpulan kredit (sks), tetapi juga bagian dari darma penelitian dan pengabdian masyarakat. Hasil penelitian tidak berakhir semata dengan publikasi Scopus tetapi bermuara pada dampak nyata (impactful).
![]() |
Kebijakan MBKM sejauh ini baru mewajibkan PT untuk menawarkan kepada mahasiswa untuk menempuh 3 semester di luar prodi dan PT-nya, tetapi belum mewajibkan mahasiswa untuk mengambil dan melaksanakannya. Tetapi, nampaknya ini merupakan langkah jitu mas Mendikbud untuk merombak dan melepaskan (decoupling) Prodi dan PT dari kemapanan sistemiknya. Sinyalemen Presiden atas kelambanan dan ketidakfleksibelan Prodi dan PT ingin dijawab dengan memberi peluang kepada mahasiswa keluar dari stagnasi (status quo) yang nampaknya turut dipelihara oleh Prodi dan PT, baik oleh pimpinan, staf dosen, maupun asosiasi penyelenggara yang ada. Seandainya kewajiban itu diturunkan kepada mahasiswa, perubahan yang radikal dan fundamental akan segera dapat disaksikan. Artinya, 2 atau 3 semester yang ditawarkan kepada mahasiswa wajib dilaksanakan oleh mahasiswa.
Bersaing dengan PT asing barangkali bukan kesia-siaan. Tetapi bersaing dengan menggunakan aturan main yang ditetapkan sendiri oleh "lawan" adalah sebuah kesialan dan awal kekalahan. Standarisasi pendidikan tinggi dan pemeringkatan PT yang beresensi kapitalisasi, apalagi berkarakter imperialisme, sangat tidak dapat diterima.
Bahwa PT Indonesia mampu mencerdaskan warga negara dan mengatasi persoalan-persoalan nasional, itulah yang hakiki. Dan bahwa lulusan, peneliti, dan PT nasional kemudian mampu berbahasa Inggris, menguasai dan mengembangkan formula-formula iptek, semua itu adalah kelebihan.
Berdaya saing secara global di bidang ketenagakerjaan, industri, dan iptek tentulah membanggakan. Akan tetapi, mengatasi persoalan-persoalan lokal dan nasional diiringi dengan peningkatan potensi dan kearifan lokal ke tataran global adalah sebuah keharusan. Ini merupakan program decoupling yang lebih jauh.
Kebijakan MBKM bukannya steril dari kekhawatiran, termasuk jika justru yang terjadi adalah recoupling dengan cara yang lain. Seperti halnya dalam UU Dikti dan juga dalam kebijakan MBKM, daya saing lulusan dan PT seringkali tampak lebih dominan daripada kualifikasi dan kompetensi lain yang ingin diraih, yaitu mandiri, inovatif serta kontributif bagi kemajuan bangsa, peningkatan peradaban dan kesejahteraan manusia.
Seperti telah disebutkan di atas, selama kita mengadopsi aturan main dan standar ditetapkan secara sepihak oleh pihak lain untuk mengukur kinerja PT nasional, maka proses decoupling PT tidak pernah akan terjadi.
Pandemi COVID-19 nampaknya memperkuat harapan terjadinya decoupling PT yang diusung oleh mas Mendikbud lewat kebijakan MBKM yang tidak saja memaksa adopsi dan adaptasi teknologi, tetapi juga mengembalikan PT pada konteks sosial kemasyarakatan Indonesia yang lebih nyata. Dengan kata lain, PT Indonesia harus mampu menjawab persoalan-persoalan nasional serta mampu menawarkan alternatif-alternatif peradaban.
Mangadar Situmorang, Rektor Universitas Katolik Parahyangan
(akn/ega)