Mengatur Tugas TNI Mengatasi Terorisme
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mengatur Tugas TNI Mengatasi Terorisme

Selasa, 01 Des 2020 11:00 WIB
FAHMI PANE
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Fahmi Alfansi P Pane, MSi(han)
Jakarta - Setelah beberapa kali menggelar rapat konsultasi dengan DPR, pemerintah akan membahas rancangan Peraturan Presiden tentang pelaksanaan tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme secara internal. Peraturan Presiden tersebut dibuat sesuai perintah Pasal 43I ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Terlebih, UU mengamanatkan Peraturan Presiden tersebut tuntas setahun setelah diundangkan (Pasal 46B).

Dalam rapat konsultasi 25 November, DPR menyampaikan masukan antara lain pembentukan dewan pengawas dan perlunya kehati-hatian TNI dalam tindakan preventif terhadap aksi terorisme (detikcom, 25/11). Pembentukan dewan pengawas adalah perintah Pasal 43J, meski dewan tersebut bertugas mengawasi penanggulangan terorisme secara keseluruhan; tidak hanya dalam pelaksanaan tugas TNI.

Adapun saran DPR untuk kehati-hatian dalam tindakan preventif sangat tepat. Pencegahan terorisme telah diatur dalam UU Nomor 5/2018, dan diperjelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan. Cakupan materi pencegahan terorisme cukup luas dan detail.

Namun, berbeda dengan rancangan Perpres, UU Nomor 5/2018 dan PP Nomor 77/2019 menempatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai lembaga sentral penanggulangan terorisme. Maka, keikutsertaan TNI, sebagaimana Polri dan kementerian/lembaga terkait lainnya, berada dalam koordinasi BNPT. Melalui BNPT, aparat TNI berperan mencegah tindak pidana terorisme, baik dalam pembentukan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi maupun deradikalisasi.

Pemerintah perlu mengkaji lebih komprehensif saat merancang penangkalan TNI dimasukkan ke dalam substansi Perpres. Secara leksikal istilah penangkalan mirip dengan pencegahan. Masalah akan timbul jika rumusan penangkalan dalam rancangan Perpres berbeda atau melampaui rumusan pencegahan yang sudah diatur dalam UU Nomor 5/2018 dan PP Nomor 77/2019.

Problem bisa muncul dalam bentuk uji materiil ke Mahkamah Agung dan/atau pelaksanaan di lapangan. Selain itu, Perpres tersebut tidak boleh bertentangan dengan UU Nomor 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Bila penangkalan mencakup operasi intelijen dan informasi, maka dapat mencakup lembaga-lembaga keuangan dan beragam bentuk pendanaan, seperti aset bergerak/tidak bergerak, berformat digital atau elektronik, kredit bank dan sebagainya. Nantinya implementasi pencegahan juga harus menghindari duplikasi aparat, anggaran, dan organisasi terhadap objek dan kegiatan yang sama.

Salah satu pencegahan terorisme adalah pembentukan kesiapsiagaan nasional. Pada Pasal 4 PP Nomor 77/2019 disebutkan kesiapsiagaan nasional dilakukan melalui peningkatan kemampuan aparatur (TNI, Polri, dan ASN), selain pemberdayaan masyarakat dan seterusnya. Pemberdayaan masyarakat adalah mendorong kelompok dan ormas untuk aktif mencegah, meningkatkan kapasitasnya, termasuk menyampaikan dan menerima informasi (Pasal 5 PP Nomor 77/2019).

Karena itu, jika ada rumusan yang mirip dengannya seperti penggalangan untuk kegiatan/operasi intelijen, pemerintah perlu sangat berhati-hati agar tidak terjadi duplikasi kewenangan antara BNPT dan TNI.

Kehati-hatian juga diperlukan untuk penggunaan istilah terorisme, aksi terorisme, dan tindak pidana terorisme dalam peraturan perundang-undangan. Dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 7 ayat (2) disebut salah satu tugas pokok TNI adalah mengatasi aksi terorisme. Hal itu ditegaskan kembali dalam Pasal 43I ayat (1) UU Nomor 5/2018.

Namun, makna "aksi" harus dikembalikan kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu gerakan, tindakan, atau sikap. Ketiga arti tersebut sudah tercakup dalam definisi terorisme yang berarti perbuatan kekerasan (gerakan atau tindakan) dan ancaman (sikap). Karena itu, "terorisme" dan "aksi terorisme" merupakan dua istilah semakna.

Pembedaan definisi kedua istilah itu dalam peraturan perundang-undangan juga rentan gugatan hukum karena belum tentu ada aksi terorisme saat TNI menjalankan fungsi penangkalan dan pemulihan. Adapun istilah tindak pidana terorisme dipakai dalam proses penegakan hukum, terutama sejak proses penyidikan.

Fokus Operasi

Sebaiknya, TNI dirancang menindak aksi terorisme berskala tinggi, seperti berdimensi transnasional, bersenjata api/ bahan peledak, menguasai daerah tertentu di Indonesia, atau berpusat di luar negeri tetapi dapat mengontrol kelompok proksi (agen) di Indonesia, dan terlatih bertempur. Kelompok tersebut biasanya didukung dana dan logistik yang besar dan teratur karena berjejaring internasional. Aksi teror di laut, baik permukaan maupun bawah laut, serta aspek udara, seperti di bandara, pesawat dan lalu lintas penerbangan sipil dan militer, juga dapat dipertimbangkan.

Operasi tersebut dapat dilakukan dalam kerangka penegakan hukum; TNI membantu Polri seperti selama ini. Namun, mengingat keterbatasan aparat Densus 88 dalam menuntaskan kelompok bersenjata di Poso dan Papua, pemerintah perlu merancang Perpres yang memberi landasan hukum bagi TNI untuk menjalankan operasi militer selain perang dalam menindak kelompok-kelompok tersebut.

Terlebih, TNI yang terbukti mampu menetralisasi antara lain Santoso dkk pada 2016, lalu dua anggota Ali Kalora (pengganti Santoso) pada November 2020, membebaskan seribu lebih warga di Kimbeli dan Banti pada 2017 dan membebaskan kapal kargo nikel MV Sinar Kudus dari pembajak di perairan Somalia pada 2011.

Dengan Perpres Pelaksanaan Tugas TNI dalam Mengatasi Terorisme nantinya Kopassus TNI AD, utamanya Sat-81/ Gultor (Penanggulangan Teror) bersama dengan satuan komando dan teritorial TNI dapat menindak kelompok teror-separatis Egianus Kogoya yang membantai puluhan pekerja Trans Papua di Nduga tahun 2018. Perpres tersebut juga memperkuat Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI. Pada Pasal 61 tertera Kopassus bertugas menyelenggarakan operasi komando, sandi yudha ,dan penanggulangan teror.

Isi Perpres tersebut juga harus memerhatikan dinamika masa depan. Sungguh pun terpilihnya Joe Biden dan Kamala Haris untuk memimpin Amerika Serikat (AS) dapat menurunkan tensi antarnegara besar, tapi persaingan dalam membuat dan menguji senjata tercanggih tidak terlihat menyurut. Rusia dan China berpacu mengembangkan rudal antarbenua yang paling cepat, jauh dan efektif menghadapi AS dan NATO.

Rivalitas pengaruh dan akses sumber daya di kawasan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik juga meningkat seiring dengan dinamika Laut China Selatan karena klaim kewilayahan, kebebasan akses laut/udara dan minat eksplorasi migas.

Ancaman hibrida juga muncul dari pembauran kelompok teroris, bandar narkoba, peretas jaringan komputer, dan lain-lain. Risiko penyalahgunaan kendaraan tanpa awak (drone) yang beramunisi dan senjata api juga dapat meningkat. Risiko itu melaju seiring dengan kemajuan keteknikan digital (digital engineering) dan teknologi pencetak tiga dimensi (additive manufacturing). Konsekuensinya, TNI perlu terlibat dalam mengatasi terorisme, tetapi harus terfokus sehingga tidak mengurangi kesiagaannya dalam mengantisipasi ancaman militer dan hibrida yang lebih besar.

Fahmi Alfansi P Pane alumnus Magister Manajemen Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia

(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads